Mendengar kata tarekat, banyak orang beranggapan bahwa gerakan ini merupakan sebuah gerakan yang menjauhi hiruk pikuk kehidupan duniawi. Tidak ada kesan revolusioner, atau peduli terhadap kondisi sosial politik. Kebiasaan melakukan wirid-wirid tertentu dengan bimbingan seorang mursyid, membuat orang yang tidak terjun pada dunia tarekat menganggap bahwa gerakan ini hanya gerakan yang fokus pada tujuan akhirat semata. Harun Nasution mengatakan, tarekat berasal dari kata thariqah (jalan), yaitu jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syeikh, upacara ritual, dan bentuk dzikir sendiri (Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II, 1985:89).
Namun, jika kita menilik sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, gerakan tarekat jutsru yang mula-mula menjadi gerakan paling utama dalam menentang kolonialisasi penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Pada masa penjajahan kolonial, gerakaan tarekat merupakan salah satu gerakan yang ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat itu. Semangat Pan-Islamisme yang menggelora di benak para pengikut tarekat, dibuktikan dengan aksi-aksi pemberontakan yang dipimpin oleh para ulama tarekat.
Agus Riyadi dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014 menyatakan bahwa tarekat dalam tataran fungsional, dapat mengembangkan fungsi-fungsi strategis yang bervariasi, misalnya, sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah Islam, lembaga ekonomi, dan bahkan lembaga sosial-politik yang menampung aspirasi para murid tarekat. Sebagai contoh konkret adalah kasus pemberontakan petani Banten, pada tahun 1888 M, yang disebabkan oleh ketidakpuasan para petani atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menindas. Melalui organisasi tarekat-sufi (Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah) di bawah bimbingan syekh tarekat, mereka menggalang kekuatan kolektif menjadi gerakan massa menentang pemerintah.
Buku Pemberontakan Petani Banten 1888, yang ditulis oleh Prof. Sartono Katodirjo, menyatakan bahwa latar belakang pemberontakan diawali dari kesenjangan sosial-ekonomi, beban pajak yang terlalu tinggi, masuknya budaya barat di kehidupan masyarakat Banten, sampai persoalan keagamaan. Namun, dari sekian motif yang dijadikan alasan pemberontakan, alasan keyakinan adalah yang paling menonjol. Pada saat itu, melalui residen A.J. Spaan (1881-1884) melarang warga setempat untuk melakukan acara-acara keagamaan. Ini yang kemudian menimbulakan reaksi negatif dari masyarakat pribumi terhadap pemerintah.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa gerakan tarekat mampu menjadi sebuah lembaga sosial-politik yang dapat menampung aspirasi pengikutnya atas ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif terhadap hal keyakinan beragama. Tarekat yang semula hanya digunakan sebagai jalan mencari kesalehan individual, ternyata mampu menjadi gerakan kolektif yang digunakan sebagai aksi politik dalam melawan penindasan kaum penjajah Belanda terhadap penduduk lokal pribumi.
Pemberontakan petani Banten pada tahun 1888 merupakan satu dari sekian banyak peristiwa pemberontakan terhadap penjajah Belanda di bumi Nusantara. Contoh lain pemberontakan dalam skala yang lebih luas adalah Perang Jawa tahun 1825-1830 atau yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro. Perang Jawa yang berlangsung selama 5 tahun, membuat Pemerintah Hindia Belanda harus merugi sebesar 20 juta gulden pada saat itu. Pemberontakan ini dimotori oleh Pangeran Diponegoro yang notabene pengikut tarekat Syattariyah yang taat.
Gerakan tarekat yang progresif revolusioner juga terjadi di benua Afrika. Gerakan tarekat Sanusiyah bahkan melahirkan sebuah negara. Tarekat Sanusiyah yang dipimpin Syaikh Muhammad al-Sanusi al-Kabir dan putranya al-Mahdi mampu menjadi jaring pemersatu hingga melahirkan sebuah negara yang kini bernama Libya. Para mursyid tarekatlah yang langsung memimpin gerliya pemberontakan terhadap penjajah Italia. Semangat anti penindasan yang dilandaskan pada semangat Pan-Islamisme tersebut akhirnya membuat bangsa yang kaya akan minyak itu menjadi negara merdeka.
Melihat dari berbagai peristiwa diatas, maka gerakan tarekat selain hanya menjadi jalan menuju pendekatan diri kepada Tuhan, pada kondisi tertentu juga mampu menjadi sebuah lembaga sosial-politik yang mampu mendobrak tatanan atas ketidakadilan yang terjadi ditengah masyarakat. Dalam hal ini, gerakan tarekat juga dapat dikatakan sebagai gerakan massa yang progresif revolusioner.
Penulis adalah warga Nahdliyin tinggal di Jakarta
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
4
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
5
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
6
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua