Opini

Tantangan Dakwah NU di Era Digital dan Disrupsi Teknologi

Ahad, 31 Januari 2021 | 10:30 WIB

Tantangan Dakwah NU di Era Digital dan Disrupsi Teknologi

Ilustrasi era digital dan disrupsi teknologi. (NU Online)

Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi sosial kemasyarakatan yang mencakup segala lini kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan definisi organisasi NU yaitu jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah. Peran keagamaan NU dengan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, khususnya para ulama pesantren sejak dahulu memang mampu memberikan solusi konkret bagi problem kemasyarakatan dan kebangsaan.


Tradisi akademik dan tradisi keilmuan pesantren yang lekat dengan turats (kitab-kitab klasik atau kitab kuning) berbasis teks justru relevan dengan konteks zaman yang terus berubah. Tentu hal ini dipengaruhi oleh keterbukaan pemikiran dan pandangan (inklusivitas) yang dibarengi dengan kemajuan metodologi dalam upaya pengambilan hukum dalam Islam.


Menjelang usianya yang hampir satu abad, banyak hal telah dilalui oleh jamaah dan jam’iyah NU, baik rintangan, tantangan, sejarah, program, jasa untuk umat, bangsa, dan negara hingga saat ini Indonesia masih menjadi satu kesatuan di tengah kemajemukan bangsa.

 


Bahkan, peran global yang sedari awal telah dibangun oleh KH Abdul Wahab Chasbullah melalui pengiriman delegasi bernama Komite Hijaz di Makkah turut memberikan inspirasi bagi Nahdliyin agar tidak terlepas dari problem dunia internasional. Setidaknya, peran NU yang mendunia itu tetap akan menjadi rel dan fondasi kokoh seperti terlihat dalam gambaran bola dunia di logo NU.


Saat ini, perubahan sosial semakin cepat. Hal ini berakibat problem yang ditimbulkan juga semakin kompleks sehingga dengan sendirinya, tantangan dakwah NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia juga mempunyai pekerjaan rumah yang tidak mudah. Apalagi perubahan tersebut disertai kemajuan pesat teknologi informasi dan digital. Dunia dalam genggaman membentuk kampung global (global village).


Seluruh individu, komunitas, kelompok, organisasi, bangsa, dan negara di semua belahan dunia dapat mengakses informasi secara real time. Jarak bukan menjadi persoalan karena individu sudah terhubung satu sama lain secara digital. Bahkan di zaman pandemi Covid-19, masyarakat semakin intens dengan komunikasi, interaksi, dan pertemuan secara daring atau online untuk mencegah penularan wabah mematikan itu.


Kondisi di mana masyarakat lebih banyak berada di rumah, pengajian online pun semakin menjadi primadona. Lebih banyak mengakses melalui YouTube sehingga tantangan dakwah NU secara digital tetap dapat mewarnai sikap dan pemikiran yang ramah terhadap kemajemukan bangsa Indonesia.

 


Dahulu tradisi menuntut ilmu harus didapat dengan mendatangi langsung seorang guru. Saat ini, dengan gadget di tangan, siapa pun bisa belajar lewat transformasi era digital berwujud media sosial, baik tulisan, video, gambar kartun, maupun gambar kutipan (meme). Bedanya, tradisi lama membentuk sekaligus mampu merawat jalinan masyarakat yang kuat dan kokoh secara keilmuan sehingga bisa membentuk budaya baru, sedangkan tradisi baru atau digital membentuk masyarakat virtual yang cenderung kurang humanis.


Namun, melihat realitas sosial saat ini, NU tidak terlalu takjub apalagi kaget. Sebab sedari awal, NU mempunyai prinsip al-muhafadzatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga nilai-nilai tradisi yang berguna buat umat dan mengambil secara selektif terhadap nilai-nilai baru yang lebih berguna untuk umat).


Di usia organisasi yang hampir mencapai satu abad, Nahdliyin juga dituntut mempunyai jiwa inovatif di segala lini kehidupan, tak terkecuali bidang sosial dan agama yang selama ini menjadi concern NU. Langkah inovatif ini harus berjalan terus menerus agar NU tetap menjadi subjek (fa’il/produsen), bukan objek (maf’ul/konsumen) di era disrupsi saat ini.

 

​​​​​​​Baca juga: NU dan Tantangan Ulama Muda


Era disrupsi memungkinkan individu melakukan kemajuan pesat, tetapi di sisi lain juga bisa mengalami kemunduran dalam waktu sekejap. Itulah disrupsi. Sehingga diperlukan inovasi terus menerus dalam menghadapinya.


Langkah itulah yang disebut Mustasyar PBNU KH Ma’ruf Amin dalam Peta Jalan NU Abad Kedua  (2018) sebagai prinsip al-ashlah ilaa ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah (innovative and continous improvement). Jadi, menjaga tradisi merupakan hal penting, mengadopsi dan selektif terhadap tradisi baru juga langkah yang tidak kalah penting, tetapi tetap berinovasi merupakan langkah yang sangat penting sehingga peran NU sebagai subjek akan konsisten atau istiqomah dalam keaktifan memberi manfaat (maslahah) untuk umat di seluruh dunia.


Konsep Islam Nusantara sebagai sebuah karakter dan tipologi Islam khas di Indonesia juga perlu terus digaungkan dalam menghadapi perubahan masyarakat dunia yang berjalan begitu cepat. Sebab, nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara dengan jutaan khazanahnya selama ini mampu menginspirasi warga Muslim dunia untuk bisa adaptif dengan tradisi dan budaya lokal, di mana pun Muslim itu berada.


Dengan prinsip kemasyarakatan yang dikembangkan oleh NU seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus/adil), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengaja pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) menjadikan Islam dapat diterima siapa saja. Alasan fundamental itulah yang menjadikan Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat lokal Nusantara hingga saat ini Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

 

​​​​​​​Baca juga: NU dan Tantangan Radikalisme Kelas Menengah


Sebagai organisasi yang terus mentradisikan kitab-kitab ulama klasik dalam setiap pengambilan hukum, NU juga perlu istiqomah dengan tradisi Bahtsul Masail-nya. Pembahasan problem-problem aktual keagamaan dalam realitas sosial masyarakat itu selama ini mampu memberikan solusi konkret dalam menjawab perubahan zaman. Artinya, tradisi Bahtsul Masail merupakan salah satu fondasi penting dan kebutuhan pokok dalam menjawab problem keagamaan dan sosial di tengah masyarakat digital.


Dalam hal ini, semangat hasil Munas Alim Ulama di Lampung 1992 perlu menjadi rujukan, yakni prinsip istinbath jama’iy untuk menghadapi berbagai dinamika masyarakat yang berubah secara cepat. Jika di abad pertama NU telah membuktikan kecerdasan ijtihadnya untuk mempertemukan paham keagamaan dengan paham kebangsaan yang kemudian melahirkan ideologi Pancasila dan NKRI sebagai sebuah konsep kenegaraan yang sudah final secara hukum agama, maka tantangan NU di abad kedua akan menghadapi hiruk-pikuk perubahan sehingga istinbath jama’iy perlu terus dilakukan.


Istinbath jama’iy ini metode pengambilan hukum secara kolektif dengan menyandarkan diri kepada berbagai pendapat para ulama mazhab. Salah satu poin penting dari keputusan Munas Lampung tersebut ialah pengembangan pengambilan hukum dari secara qauliy (pendapat ulama) ke manhajiy (metodologis).

 

​​​​​​​Baca juga: Santri Milenial dan Tantangan Seabad NU


Metode qauliy mengharuskan pengambilan hukum jika ada pendapat ulama yang menjelaskan. Konsekuensinya, jika pendapat ulama tersebut tidak ada dalam kitab mana pun, maka sebuah hukum tidak bisa diputuskan alias mauquf. Dampak dari metode ini, NU tidak bisa merespon perubahan zaman secara cepat. Maka dari itu, diambillah metode manhajiy yang dititikberatkan kepada metodologi pengambilan hukum. Manhajiy ini yang paling relevan, sebab meskipun pendapat ulama secara sharih tidak ada, namun hukum tetap bisa diputuskan secara metodologis sehingga NU bisa terus merespons perubahan secara cepat pula.


Dalam peringatan Harlah ke-95 NU pada 31 Januari 2021 ini, sebagai jamaah dan jam’iyah yang telah diakui kebesaran dan perannya, menuntut warga NU secara umum untuk tidak jumawa. Karena perubahan dan tantangan ke depan justru makin tidak mudah. Tetapi sejarah panjang NU dalam menghadapi setiap perubahan zaman menjadi modal penting untuk tetap membersamai rakyat Indonesia, terutama masyarakat miskin dan kaum dhuafa. Wallahu a’lam bisshawab.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online