Opini

Strategi Baru Amerika Jinakkan Indonesia?

NU Online  ·  Kamis, 8 Februari 2007 | 00:00 WIB

Hendrajit

Di tengah-tengah gencarnya gelombang kecaman dan serangan terhadap kebijakan baru Presiden George W Bush terhadap Irak dan kawasan Timur Tengah, bahkan dari kongres yang dikuasai oleh Partai Demokrat, Akhir Januari lalu kalangan penentu kebijakan luar negeri di Washington menawarkan sebuah kerjasama strategis yang cukup menarik kepada Indonesia.

Betapa tidak. Saat ini pemerintah Amerika sedang mempersiapkan perjanjian investasi dengan Indonesia sehingga perdagangan bilateral kedua negara diharapkan akan meningkat sampai 40 persen. Dan perjanjian ini dibuat dalam kerangka kesepakatan perdagangan bebas FTA (free trade agreement) dengan Indonesia. Dan menurut informasi, ini merupakan salah satu kebijakan prioritas Amerika Serikat di Asia Tenggara un<>tuk tahun 2007.

Dan isyrat ini nampaknya memang cukup serius mengingat informasi ini dinyatakan oleh David Katz, Direktur Urusan Asia Pasifik pada kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat. Artinya, arahan kebijakan Bush untuk menjalin perjanjian investasi dengan Indonesia diinformasikan kepada public dari sumber yang cukup otoritatif.

Bahwa tren ini mengindikasikan pencapaian politik yang penting bagi Amerika dalam hubungan luar negeri dengan Indonesia, namun pada saat yang sama ini mengindikasikan bahwa Amerika Serikat saat ini sangat membutuhkan Indonesia sebagai sekutu yang bisa diandalkan(reliable ally).

Strategi baru Bush untuk menambah sekitar 21.500 personil militer ke Irak, dan adanya isyarat untuk meningkatkan eskalasi konflik kepada Iran dan Suriah, nampaknya Amerika memang sangat membutuhkan dukungan politik dan diplomasi dari kawasan Asia Tenggara. Dan untuk itu, dukungan dari Filipina dan Thailand yang selama ini menjadi sekutu tradisional Amerika, agaknya dirasa kurang cukup bagi para perancang  strategi dan politik luar negeri di Gedung Putih.

Tak pelak lagi, Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim sekitar 90 persen lebih, tentunya menjadi salah satu pertimbangan utama. Namun ironisnya, kultur keislaman masyarakat Indonesia yang moderat dan menghargai keanekaragaman budaya dan bahkan toleransi yang cukup tinggi terhadap keberadaan agama-agama lain, nampaknya justru bukan menjadi faktor yang cukup positif bagi Amerika. Karena bagi Amerika, karakteristik keislaman masyarakat Indonesia yang moderat dan mendukung pluralisme budaya tidak akan ada artinya jika tidak bisa dijadikan sekutu andalan Amerika baik dalam kerjasama strategis di bidang politik maupun militer. Apalagi jika harus menjadi sekutu Amerika untuk ikut memerangi musuh-musuh Amerika seperti Iran, Suriah atau bahkan Korea Utara.

Sekadar ilustrasi, Saudi Arabia dan Pakistan, merupakan dua negara Islam yang selama ini dianggap merepresentasikan paham keislaman yang cukup keras dan puritan. Baik Saudi maupun Pakistan, merupakan negara Islam berpaham Wahabbi yang agenda utamanya adalah memurnikan ajaran-ajaran Islam yang meniru mentah-mentah Islam ala Timur Tengah. Bukan saja dalam hal mengondisikan Islam sebagai ideology negara, tapi bahkan sampai ke ritual maupun gaya berpakaian.

Namun Amerika pada kenyataannya sama sekali tidak terganggu dengan kecenderungan Pakistan maupun Saudi Arabia untuk mengadopsi Islam berhaluan Wahabi. Bahkan ketika Afghanistan masih diduduki Uni Soviet secara militer, berbagai kelompok perlawanan bersenjata yang didominasi oleh Kelompok Taliban yang berhaluan Islam puritan dan Pro Pakistan yang merupakan negara Islam berhaluan keras berpahamkan Wahabi, toh Amerika tetap menganggap mereka sebagai sekutu. Karena waktu itu bagi Amerika yang penting adalah: Baik Pakistan maupun kelompok Islam Taliban yang berbasis di Afghanistan, bersepakat untuk melawan pendudukan pasukan Uni Soviet di Afghanistan. Bahwa Pakistan maupun Taliban merupakan kelompok Islam radikal, Amerika sama sekali tidak ambil pusing.

Jadi, adalah salah kaprah untuk mengatakan bahwa Amerika sangat perduli untuk menegakkan paham keislaman liberal atau moderat pro pluralisme di negara-negara Islam seperti Indonesia. Selama bisa dijadikan sekutu Amerika, Islam radikal atau Islam puritan tidak menjadi dasar penyikapan Gedung Putih untuk menggariskan politik luar negerinya kepada negara-negara berpenduduk mayoritas Islam.

Dalam sejarah hubungan bilateral Indonesia-Amerika, sebenarnya ada satu contoh yang cukup menarik. Ketika Amerika menghadapi negara-negara blok komunis seperti Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina di kawasan Asia Tenggara dalam periode perang dingin sekitar 1960-an, termasuk Indonesia, Amerika untuk menghadapi ancaman Partai Komunis Indonesia(PKI), terpaksa harus menjalin persekutuan dengan beberapa partai atau kekuatan politik yang dianggap anti PKI.

Maka, selain Angkatan Darat, Amerika memutuskan untuk bersekutu dengan Partai Islam Masyumi yang berhaluan modernis dan cenderung ideologis dalam menerapkan paham keislamannya. Sebenarnya dalam perspektif Amerika yang sangat liberal dan pendukung pluralisme dan bahkan termasuk negara sekuler, dukungan taktis kepada Masyumi ketika itu sebenarnya tetap merupakan sebuah keanehan atau anomaly. Tapi karena strategi membendung pengaruh komunis di kawasan Asia Tenggara merupakan prioritas kebijakan luar negeri Amerika, maka persekutuan aneh semacam itu pun dianggap wajar-wajar saja.

Yang jadi pertanyaan kemudian, benarkah ini semata-mata perhitungan politik taktis Amerika dalam menjalin persekutuan dengan negara-negara Islam? Atau memang ada hal yang jauh lebih strategis dalam perhitungan para arsitek strategi dan politik luar negeri Amerika. Misalnya, suatu kekhawatiran bahwa adanya suatu kekuatan Islam yang sangat mengakar secara kultural di kalangan masyarakat suatu negara, justru dianggap sebagai ancaman Amerika yang lebih nyata.

Karena kalau kita mengamati prototype dan profil berbagai komunitas Islam berhaluan puritan yang berpahamkan Wahabi maupun Ihwanul Muslimin ala Mesir yang merujuk pada tokoh pergerakan Islam Muhammad Qutub, meski mereka puritan dan radikal dalam paham keagamaan, namun pada dasarnya banyak dari kalangan kelas menengah terdidik yang berbasis dan berkultur kota-kota besar. Artinya, meski mereka radikal dalam paham keagamaan, namun tidak mungkin berkembang menjadi revolusioner dalam dalam pandangan politik, ekonomi dan hukum. Ditambah lagi, sebagai komunis Islam puritan namun berbasis di kota-kota besar, pada hakekatnya mereka tidak punya kontak intensif dengan kultur pedesaan yang umumnya masih menganut Islam berbasis tradisi dan budaya lokal.

Dengan kata lain, para ahli strategi dan politik luar negeri Amerika sudah punya kalkukasi politik bahwa seberapapun besarnya kekuatan Islam puritan yang berbasis Wahabi maupun model Ihwanul Muslimin yang merujuk pada Muhammad Qutub, tetap saja merupakan sebuah Political Enclave(Kantong politik) yang basis kekuatan maupun pengaruhnya tetap terbatas dan terukur.

Dengan kondisi semacam itu, Amerika pada sayap yang lain, dengan mudah akan menciptakan sebuah kelas baru baik di bidang intelektual/akademisi, teknologi, ekonomi dan militer, yang sekilas sehaluan dan seaspirasi dengan arus keislaman yang puritan dan radikal dari kelompok-kelompok seperti itu, namun sebenarnya merupakan kelas lain yang tidak ada kaitannya dengan agenda-agenda keislaman kelompok puritan tersebut. Melainkan sepenuhnya merupakan sebuah kelas sosial baru yang melayani skema dan agenda-agenda politik Amerika baik di bidang politik, ekonomi dan hukum.

Masalahnya, meski Amerika sejauh ini telah melakukan, atau setidaknya telah memberi angin untuk terciptanya suatu kondisi dan konstalasi semacam itu di Indonesia, namun pada prakteknya tidak sepenuhnya berhasil sebagaimana yang dilakukan Amerika di Saudi Arabia maupun Pakistan.

Di Saudi Arabia, jika kita menyimak film documenter karya Michael More berjudul Fahrenheid, di situ terungkap fakta menarik bahwa sejak era George Bush Senior, keluarga Bush sebenarnya sudah menjalin kerjasama bisnis dengan beberapa keluarga Kerajaaan Saudi Arabia, bahkan dengan beberapa anggota keluarga Osama bin Laden. Sehingga meski Osama pada perkembangannya telah menjadi pemberontak terhadap keluarga Kerajaan Saudi, namun hubungan bisnis yang terjalin antara Bush dan keluarga Osama bin Laden tentunya tetap menjadi pertanyaan besar. Bahkan ketika gedung WTC dan Pentagon dibom oleh teroris yang diklaim Gedung Putih dilakukan oleh Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden.

Artinya, ada suatu masa ketika Amerika pernah mentolerir dan bahkan bekerjasama dengan paham keislaman yang radikal seperti yang diadopsi oleh keluarga Kerajaan Saudi maupun Osama bin Laden.

 
Di Pakistan, meski kelompok Islam radikal ala Wahabi mendominasi kehidupan masyarakat, namun secara riil politik Amerika sebenarnya bersekutu dengan kelompok militer di bawah pimpinan Jenderal Musyaraf sebagai sebuah kelas sosial yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agenda-agenda keislaman dari berbagai kelompok Islam puritan yang mendominasi kehidupan sosial dan budaya di Pakistan.

Dengan demikian, Amerika menjalin persekutuan strategis dengan Pakistan sembari tetap memberi angin sampai tingkat tertentu yang tidak membahayakan kepentingan strategis Amerika dan kelompok militer Pakistan. Mengapa hal itu bisa dilakukan oleh Amerika dengan sedemikian mudah? Karena keberadaan kelompok Islam yang puritan tersebut tidak memberi situasi yang kondusif bagi masyarakat untuk membuat suatu opini yang kritis terhadap penguasa, apalagi menggalang suatu kekuatan warga masyarakat melawan rezim yang otoriter.

Begitu juga di Saudi Arabia, disamping tidak terkondisi terciptanya suatu opini publik yang kritis terhadap penguasa, maka tetap sulit dari kalangan masyarakat, bahkan dari kalangan internal elit istana yang kritis dan pro pembaharuan, untuk menggalang suatu kekuatan perlawanan terhadap kerajaan Saudi.

Dan pada saat yang sama, seperti juga langkah strategis yang diterapkan Amerika terhadap Pakistan, para arsitek politik luar negeri di Washington menjalin suatu aliansi strategis dengan anggota-anggota terkemuka dari Kerajaan Saudi yang dianggap sebagai pemain kunci.

Di Indonesia, Amerika harus diakui sampai saat ini mengalami kesulitan untuk menjalin persekutuan strategis dan permanen dengan Indonesia. Meski ada kelompok Islam puritan seperti yang umumnya tergabung dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun dalam hal pengaruh keislaman yang mereka bangun masih sangat terbatas dan terukur. Artinya masih banyak pengimbang lain baik Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasis Islam tradisional NU, dan bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) yang meskipun berhaluan modernis dan berbasis perkotaan, namun secara intelektual dan paham keislaman masih tergolong toleran dan moderat.

Belum lagi adanya beberapa elemen Islam moderat dan berbasis kultural yang masih punya pengaruh yang cukup kuat baik di Partai Golkar maupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang notabene masih merupakan dua partai terbesar yang mendominasi kursi DPR, setidaknya hingga pemilu 2009 mendatang.

Banyaknya lapisan pemain yang menentukan kebijakan politik maupun penguasaan berbagai lembaga politik negara, membuat Amerika mengalami kesulitan untuk menerapkan “kebijakan luar negeri satu pintu” di Indonesia.

Maka, tawaran perjanjian investasi dengan Indonesia, kiranya harus dicermati lebih lanjut perkembangannya. Sebab, dalam klausul perjanjian investasi tersebut akan diarahkan untuk mengembangkan perdagangan di sektor pertanian, jasa, sekaligus juga hak kekayaan intelektual.

Ini menarik, mengingat sektor agrobisnis dan jasa saat ini memang merupakan sektor bisnis yang menjadi basis usaha berbagai kelompok kelas menengah Muslim di Indonesia. Bahkan fakta menarik yang harus dicermati adalah, bahwa Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak dulu dikenal sebagai basis kelompok Mahasiswa Islam yang berhaluan Puritan seperti yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan HAMAS.

Sementara di sektor jasa Teknologi Informasi, misalnya, saat ini merupakan basis kelas menengah Muslim dari berbagai spektrum paham keislaman.

Karenanya, optimisme Gary Clyde Hufbauer dari Peterson Institute for International Economics bahwa perjanjian investasi tersebut bisa meningkatkan perdagangan kedua negara hingga 40 persen, aganya masih perlu dipelajari secara lebih terperinci lagi.

------ 
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Institute (IFI) dan Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI)