Oleh: Muhammad Muhibbuddin*
Ibadah qurban pada hari raya Idul Adha merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Hal ini seperti telah disinggung secara eksplisit oleh al-Qur’an dalam surat al-Kautsar:2 yang berbunyi”maka bersholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah”.
Selain mempunyai landasan normatif di atas, ibadah qurban juga mempunyai landasan historisnya. Salah satunya adalah yang telah dilakukan oleh bapaknya agama-agama samawi yakni nabi Ibrahim. Seperti yang tercatat dalam sejarah Islam bahwa Ibrahim adalah sosok nabi yang mempunyai perasaan cinta yang tinggi kepada Allah. Perasaan cintanya kepada Allah itu ia implementasikan dengan menyantuni para faqir miskin dalam bentuk qurban. Karena besarnya cintanya Ibrahim kepada tuhannya itu, bukan hanya seluruh binatang ternaknya yang ia jadikan qurban, bahkan putranya yang sangat ia cintai pun, Ismail, juga rela ia jadikan qurban demi persembahan cintanya kepada Allah SWT. Namun meskipun demikian, karena Tuhan bukan sosok yang haus darah manusia, maka Ismail yang hendak di buat qurban tersebut akhirnya diganti dengan kambing.
Sebagai upaya menegakkan keadilan sosial
Pada prinsipnya ibadah qurban yang sudah mentradisi ratusan tahun ini bukan hanya sebuah ritual suci tahunan yang hampa dari nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Justru kalau kita bercermin dari jejak Ibrahim di atas qurban merupakan sebuah ibadah sosial yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai tauhid. Ia merupakan salah satu dimensi tauhid yang mempunyai akar ilahiyah yang sifatnya vertikal –transendental tetapi pada taraf implementasinya ia justru berorientasi pada wilayah kemanusiaan yang sifatnya sosial-horisontal. Artinya, di dalam qurban tersirat makna bahwa tauhid dan nilai-nilai keimanan kepada Tuhan harus diejawantahkan dalam bentuk kesadaran sosial. Dengan demikian, Tauhid bukan hanya sekedar konsep teologis yang melangit dan melulu mengurusi Tuhan secara an sich, tetapi lebih dari itu juga bisa membumi dan menjadi faktor dominan untuk melakukan transformasi sosial.
Dalam maknanya yang lebih luas, spirit sosial ibadah qurban di atas harus diorientasikan untuk menegakkan keadilan sosial di tengah kehidupan masarakat. Sebab dalam konteks ekonomi-politik sekarang ini terlihat jelas banyakanya aksi ketidakadilan sosial yang memicu maraknya patologi sosial dalam masarakat. Makna keadilan seperti yang diintrodusir oleh Harun Nasution (1995) adalah tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang, memberi perlakuan dan jaminan yang sama, menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Lawan kata dari kata adil adalah zalim yaitu sebuah sikap atau tindakan yang tidak adil, bengis, kejam dan tidak mengenal kasih sayang.
Kalau kita melihat realitas sosial sekarang, semangat keadilan sosial nampaknya masih jauh panggang dari api. Yang sering terjadi dan bahkan yang telah melembaga menjadi tradisi adalah kezaliman atau ketidakadilan. Maraknya patologi sosial seperti KKN yang sulit dibrantas, kemiskinan struktural, pengangguran yang merajalela, penggusuran, kesewenang-wenangan kepada wong cilik dan yang lainnya adalah cermin betapa perkasanya semangat kezaliman di negeri kita. Tindakan-tindakan yang ironis tersebut semestinya menjadi sesuatu yang aneh dan mengkhawatirkan dikarenakan sangat tidak manusiawi dan melanggar norma-norma hukum dan agama, namun di kehidupan kita sekarang ini, justru menjadi sebuah tontonan dan sesuatu yang lumprah terjadi. Setiap hari bahkan setiap jam kita hampir selalu disuguhi berbagai macam tindakan dan kebijakan yang mencerminkan ketidakadilan di atas. Contoh yang baru saja muncul, misalnya, kebijakan dari para dewan tentang pemberian tunjangan 13 juta per anggota dewan untuk biaya renovasi rumah. Padahal banyak sekali anggota masarakat yang masih tidak punya rumah dan harus rela tidur di kolong –kolong jembatan.
Sementara di bidang ekonomi, kita lihat begitu lebarnya kesenjangan yang terjadi dalam masarakat kita. Coba kita buka mata lebar-lebar, ketika anak kita banyak yang putus sekolah karena ketidakberdayaan ekonomi dan rakyat yang sulit mencari makan, justru ada sekelompok elit manusia menjual pulau. Kalau kita pandang dengan akal sehat dan kejernihan hati nurani, hukum apa yang bisa mengabsahkan bahwa itu adalah sesuatu yang benar. Ini adalah fenomena ketidakadilan sosial yang sudah jelas bertentangan dengan spirit ajaran-ajaran Islam khusunya spirit qurban. Karena di dalamnya mengandung unsur penimbunan dan penghambur-hamburan harta. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Asghar Ali Engineer (2000) bahwa al-Qur’an bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk faqir miskin, janda-janda dan anak-anak yatim) namun juga menentang kemewahan dan tindakan-tindakan yang menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak orang miskin yang membutuhkannya).
Di sinilah perlunya spirit qurban dalam fungsinya sebagai penegak keadilan sosial digaungkan lagi sebagaimana yang pernah terjadi di era Ibrahim. Untuk menjadikan qurban sebagai penegak kedilam sosial, maka aktualisasi qurban tidak cukup kita manifestasikan dalam wujud penyembelihan hewan ternak setahun sekali pada hari raya Idul Adha. Prinsip dasar dan tujuan utama dari keadilan sosial adalah hilangnya kesenjangan ekonomi dan pemerataan harta kekayaan untuk para faqir miskin. Dengan semangat ini maka yang terpenting dari ibadah qurban adalah terwujudnya kesadaran sosial kita terhadap saudara-saudara kita yang tidak mampu.
Kesadaran sosial tersebut diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan konkrit yang bisa meringankan beban mereka. Sebuah bantuan yang bernilai solutif terhadap problematika kehidupan mereka. Kesadaran sosial semacam itu merupakan bentuk dari substansi qurban yang erat kaitanya dengan keadilan sosial. Oleh karena itu semangat sosial seperti itulah yang penting dan perlu dipraktikkan dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan sehari - hari oleh umat Islam, khususnya mereka yang tergolong mampu.
Mudah-mudahan qurban kali ini bisa mengetuk hati nurani kita untuk bisa berbuat adil dengan sesama. Sehingga dengan ini kehidupan kita nantinya tidak lagi dihiasi oleh kesenjangan ekonomi, kemiskinan struktural, pengangguran yang merajalela dan sejumlah patologi sosial lainnya.
*Muhammad Muhibbuddin adalah pegiat diskusi filsafat “Linkaran ‘06” dan kontributor Jaringan Islam Kultural (JIK).
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua