Komnas Perempuan Catat 2 Juta Kasus dalam 10 Tahun, UU TPKS Buat Korban Berani Lapor
NU Online · Rabu, 23 Juli 2025 | 17:00 WIB

Diskusi Publik 17 Tahun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Auditorium Lantai 6 Gedung LPSK, Rabu (23/7/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Maria Ulfah Anshor mencatat, pihaknya telah menerima dua juta laporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama 10 tahun terakhir. Menurutnya, jumlah tersebut menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal itu disampaikan Ulfah dalam kegiatan Diskusi Publik 17 Tahun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bertajuk Refleksi 41 Tahun Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Perspektif Perlindungan Saksi dan Korban, di Auditorium Lantai 6 Gedung LPSK, Rabu (23/7/2025).
âSecara umum kekerasan terhadap perempuan kalau kita melihat rentetannya, dalam 10 tahun terakhir ada 2 juta kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, semakin ke sini semakin meningkat,â ujar Ulfah.
Ia menjelaskan bahwa kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dari seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan. Salah satu penyebabnya adalah masih maraknya kriminalisasi terhadap korban, terutama sebelum hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
âDengan hadirnya UU TPKS mereka (korban kekerasan seksual) berani melapor karena ada jaminan secara hukum,â ungkapnya.
Ulfah menambahkan, kekerasan seksual kerap terjadi karena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Dalam banyak kasus, pelaku memiliki posisi yang lebih dominan, sehingga korban tidak memiliki daya untuk melawan atau membela diri.
Senada, Kepala Unit 2 Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan Perempuan dan Anak (Dittipid TPPO dan PPA) Bareskrim Polri, Berry menyampaikan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan kasus yang paling banyak ditangani Polri.
âSaat ini di Tahun 2025 Polri menghadapi banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, ini tinggi sekali. Salah satu program Polri adalah Berani Bicara Selamatkan Sesama, ketika satu orang berani bicara maka secara otomatis kasusnya akan semakin terbuka dan dapat menyelamatkan orang lain,â ujar Berry.
Dalam diskusi tersebut, Berry juga memaparkan sejumlah modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), salah satunya adalah pengiriman pekerja migran non-prosedural. Ia menyebut bahwa sebagian besar korban justru berasal dari kalangan berpendidikan.
âSebagian besar warga negara kita yang terjerat kasus TPPO adalah mereka yang berpendidikan, banyak yang sudah S1, jarang yang tidak sekolah. Alasannya karena ingin kerja dengan gaji yang besar,â papar Berry.
Sementara itu, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Yuniyanti Chuzaifah menjelaskan tiga prinsip utama dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Pertama, non-diskriminasi yaitu sesuatu yang tujuannya baik tetapi berdampak buruk pada perempuan.
Kedua, kesetaraan substantif yang menekankan bahwa kesetaraan harus dinikmati dalam kenyataan, bukan sekadar di atas kertas.
Ketiga, tanggung jawab negara yang mengharuskan pemerintah untuk mengambil tindakan yang tepat, termasuk melalui perundang-undangan, kebijakan, dan program, guna menghapus diskriminasi dan mempromosikan kesetaraan bagi perempuan.
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua