Oleh Zastrouw Al-Ngatawi
Waktu terus beranjak dari dini hari menuju fajar. Suasana GBK yang semula ijo royo-royo perlahan mulai berubah menjadi putih. Berada di tengah lapangan bola GBK menjadi seperti berada di tengah awan putih yang bergelombang. Di luar stadion jamaah semakin banyak berdatangan, mengalir deras bagai bendungan yang baru dibuka pintu airnya.
Suasana benar-benar menggetarkan ketika imam mulai berdiri dan menyampaikan shalat tahajud akan segera dimulai. Serentak pasukan putih yang semula diam mulai bangkit berdiri, gerakannya seperi ombak laut di musim timur, lembut dan senyap tapi menyimpan tenaga yang dahsyat. Suasana hening dan mistis.
Udara fajar yang dingin mulai merayap, menembus kain pembalut tubuh para jamaah. Angin bertiup semakin kencang membuat kain mukena yang dikenakan ibu-ibu jamaah sedikit berkibar sehingga udara dingin semakin kuat menusuk. Para jamaah tetap khusyu' bermunajat tanpa menghiraukan dinginnya angin fajar.
Di tengah kekhususkan shalat, hujan rintik-rintik mulai turun. Para jamaan tetap aja bergeming, seolah tak merarasakan terpaan gerimis dan angin yang dingin. Saking dinginnya air gerimis yang turun pada saat itu, kulit terasa seperti ditusuk-tusuk jarum kecil yang tajam. Gerimis turun makin besar. Tepat ketika sujud, gerimis kecil berubah menjadi hujan lebat.
Subhanallah, jamaah tetap tenang seolah tak merasakan turunnya hujan. Mereka tetap khusyu' melaksanakan shalat di tengah guyuran air hujan. Saat bangun dari sujud, aku melihat seperti benih-benih tetumbuhan yang tumbuh saat turun hujan. Gerakannya seperti gelombang laut. Subahanllah.
Suasana benar-benar menjadi hening karena panitia mematikan semua sound system dan jaringan listrik yang ada di lapangan. Dalam sinar lampu stadion GBK terlihat lautan awan putih di tengah siraman hujan. Suara dzikir mengalun lembut. Tanpa sound system getarannya menjadi semakin kuat. Aku merinding, dan perlahan bergeser keluar stadion.
Di luar massa semakin banyak berdatangan. Mereka terus berjalan menuju pintu masuk GBK menembus gerimis saat hujan mulai reda. Ada beberapa yang bergelombol di bawah pohon menunggu anggota rombongan agar tidak terpisah saat masuk GBK. Setelah berada di dalam, mereka langsung melaksanakan shalat tahajud dan hajad sendiri-sendiri karena sudah ketinggalan shalat jamah. Selesai melaksanakan shalat mereka bergabung dalam dzikir dan khatmil Qur'an.
Aku tertegun di salah satu sudut ruangan GBK membayangkan dahsyatnya kekuatan jiwa para ibu-ibu. Mereka tetap teguh dan kokoh seperti batu karang melawan hempasan badai, gelombang dan cuaca. Meski tubuh mereka terlihat ringkih dan renta namun mampu bertahan di tengah guyuran hujan dan cuaca dingin dalam kondisi letih.
Melihat ini aku teringat wejangan para sufi mengenai kekuatan spiritual, kekuatan batiniah yang melampaui keseluruhan alam semesta sebagai menifestasi Tuhan yang ada dalam jiwa dan hati manusia yang bersih (Said Hawa, 1995). Sebagai manifestasi dari Tuhan, menurut Pudmond, spiritalitas memilkki dimensi transenden yang melampaui ruang dan waktu kemudian teraktualisasi dalam sikap menjaga relasi dengan lingkungan dan sesama (Waggles Worth, 2005).
Jika dilihat dari latar belakang sosial ekonomi, mayoritas ibu-ibu Muslimat NU adalah golongan masyarakat menengah ke bawah. Selama 32 tahun pemerintah Orba, mereka disisihkan. Selama hampir 20 tahun era reformasi mereka diabaikan. Mereka tak peduli hiruk pikuk politik dan caci maki. Yang mereka tahu adalah dhawuh para kiai untuk mencintai negeri ini den mengamalkan Islam melalui laku utama, akhlakul karimah. Inilah yang mereka yakini dan jalani.
Mereka tidak protes ketika amalan mereka dinista, dianggap bid'ah dan kafir. Mereka sabar ketika kiai yang mereka hormati dihina dengan caci maki. Bahkan ketika agama dan nama mereka sebagai ummat dicatut oleh para ulama karbitan dan provokator untuk merebut kekuasaan mereka tetap sabar dan diam.
Bukan berarti mereka bodoh dan tidak tahu, mereka tahu dan bisa merasakan semua itu. Kesabaran dan keikhlasan telah membuat hati mereka jernih dan jiwa mereka bersih sehingga bisa membedakan kriminal dan ulama. Mereka mampu memilah kriminalisasi ulama dan ulamaisasi kriminal.
Melalui momentum Harlah ke-73 Muslimat NU ini mereka bersikap, menggerakkan potensi spiritualitas untuk merespon caci maki dan pandangan pejoratif terhadap kelompok mereka. Meski tanpa caci maki, tanpa teriakan agitasi dan provokasi yang gaduh tapi gerakan ibu-ibu ini cukup menggetarkan hati.
Kekuatan spiritual memang tidak berisik dan gaduh tapi dia mampu melindas siapa saja yang menghadangnya. Apalagi jika kekuatan itu berasal dari kaum perempuan, ibu-ibu yang di bawah telapak kakinya ada surga. (Bersambung)
Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta