Oleh Abdullah Aniq Nawawi
Kita ini adalah muslim yang kagetan-Gus Mus-
Barangkali ada benarnya perkataan Gus Mus itu. Kita memang kagetan. Ada Lady Gaga kaget. Ada Irshad Manji kaget. Itu dulu. Sekarang? Ternyata masih berlanjut. Hobi gampang kagetan itu nampaknya memang sulit dihilangkan. Saya bertanya: apa penyebab utamanya? Kita mungkin punya jawaban yang berbeda. Tetapi jawaban saya hanya satu: kita semua kurang “baca”.
Dulu, ketika Syekh Muhammad Abduh mengunjungi Eropa, beliau sempat ngendiko: “ra’aytu al-islma huna wala nara al-muslima, wa ra’aytu al-muslima hunaka wala ara al-islama” saya melihat islam di sini (Eropa), meskipun tak ada muslim. Dan saya melihat muslim di sana (Dunia Arab), tetapi tidak melihat Islam. Kira-kira seperti itu beliau ngendiko. Tentu saja perkataannya itu dalam wadah totem pro parte, atau ithlaqul kull wa urida bihi al-ba’dh, tetapi dawuh beliau ini bukan asal-asalan. Kita, mungkin muslim. Tapi apakah sudah menerapkan nilai-nilai islam? Sepertinya belum.
George Washington University pernah melakukan suatu penelitian untuk melihat Negara mana yang paling islami. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), kebersihan. Keadilan, toleransi, dan semua nilai-nilai islam yang terkandung dalam Al-Qur’an juga akhlak Nabi SAW. Indikator-indikator tersebut mereka sebut sebagai islamicity index. Mereka lalu datang ke lebih dari 200 negara untuk mencari siapa negara paling islami. Hasilnya? Selandia Baru adalah Negara paling islami. Indonesia? Kita berada di urutan 140. Lalu Negara-negara Arab lainnya? Ya Tidak jauh beda. Antara 100-200. Kesimpulannya: Abduh tidak keliru.
Kita harus sadar bahwa kita masih memerlukan plang bertuliskan an-nadzafatu minal iman agar tak buang sampah sembarangan. Tetapi masih tetap seperti itu. Sementara di Selandia Baru atau negara-negara Eropa yang islami, mereka tak butuh plang “annadzafatu minal iman” agar tak buang sampah sembarangan. Di negara Arab tempat saya berkuliah banyak tembok yang bertuliskan “la tabul huna / jangan kencing di sini”. Tetapi tiap hari tembok itu akrab dengan bau pesing. Itu contoh sederhana bagimana kita adalah seorang muslim tanpa menerapkan nilai-nilai islam.
Nah, budaya kagetan itu sepertinya karena kita tak menjalankan nilai Islam yang utama: Membaca. Saya rasa tidak ada satupun kitab suci yang permulaan wahyunya berisi seruan untuk membaca selain Al-Qur’an. Tetapi sekarang siapa yang paling banyak melaksankan seruan itu? Bukan kita. Kita yang katanya Negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia menempati urutan ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. Bagaimana mungkin Negara dengan jumlah muslim terbanyak, yang awal wahyu di kitab sucinya berisi seruan untuk membaca berada di urutan kedua terbawah soal minat membaca? Kita hanya lebih baik dari Bostwana.
Sekarang kita bersama Slank. Siapa yang tak kenal Slank. Grup band legendaris Indonesia itu belum lama ini dinobatkan sebagai duta santri oleh RMI (rabithah ma’had islamiy). Ada sebagian kalangan yang mengkritik langkah RMI ini. Mereka bilang: “kok bisa orang yang pernah foto hampir telanjang dijadikan duta santri”.
Sekali lagi, budaya kagetan muncul. Kenapa? Ya karena kita kurang baca. Karena kalau kita membaca sejarah, bagaimana orang-orang kafir Quraish yang punya kelakuan lebih buruk dari slank oleh nabi dijadikan duta muslim. Bagaimana Umar yang pernah membunuh putrinya sendiri kemudian menjadi tokoh Islam. Kalau kita membaca sejarah kita pasti faham arti ‘afallahu ‘amma salaf. Bahwa kesalahan masa lalu tak penting. Karena yang terpenting adalah ketika kita berusaha memperbaikinya.
Slank memang pernah foto hampir bugil. Tapi kan itu dulu. Kaana wala yakun. Justru barangkali, dengan dijadikan duta santri, itu akan menjadi wasilah (perantara) bagi Slank untuk menjadi lebih baik. Setidaknya kalau kita membaca, kita tak akan terlalu kaget dan bisa mencari hikmah dari kejadian ini. Sekali lagi: kalau kita baca.
Kita nampaknya memang akan selalu kagetan jika kita masih tidak membaca, masih mendahulukan belanja emosi dari menyicil buku, dan masih suka menghujat terlebih dahulu daripada menganalisa dan mencari fakta sebenarnya. Sudah saatnya kita membaca lagi, sinau lagi, belajar lagi. Tentu saya juga begitu.
Abdullah Aniq Nawawi, PCINU Maroko