Opini

Sikap Mengambang Presiden Jokowi dan Misi Haji Indonesia Tahun 2020

Jum, 22 Mei 2020 | 03:30 WIB

Sikap Mengambang Presiden Jokowi dan Misi Haji Indonesia Tahun 2020

Seharusnya Presiden Jokowi secepatnya mengambil kebijakan demi keselamatan jiwa ratusan ribu jamaah berikut ribuan petugas di luar Kementerian Agama.

Sudah mendekati akhir Ramadhan (akhir bulan Mei), pemerintah sampai saat ini belum juga memastikan kebijakan haji, apakah akan tetap memberangkatkan misi haji Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya atau menundanya (meniadakan).

Pemerintah sendiri masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah kerajaan Arab Saudi yang sampai sekarang belum juga memastikan tentang kepastian penyelenggaraan musim haji 2020 yang sedianya akan digelar pada akhir Juli mendatang. Sedangkan jadwal pemberangkatan (penerbangan) kloter pertama jamaah haji Indonesia sudah harus take off 26 Juni.

Waktu yang semakin mendesak dan mepet membuat sejumlah pihak khususnya jamaah haji gelisah. Pemerintah Arab Saudi saat ini masih berjibaku melawan pandemi Covid- 19 yang masih mewabah di negara tersebut.

Ketidakpastian tersebut berimbas pada persiapan Kementerian Agama RI sebagai leading sector penyelenggara ibadah haji. Berbagai persiapan yang seharusnya telah selesai atau sudah dalam proses belum bisa dijalankan.

Adapula yang sudah dijalankan tapi tidak optimal sebagaimana dalam ‘kondisi normal’ sebelum Covid-19 merebak. Sebut saja misalnya manasik (pelatihan tata cara ibadah) bagi jamaah, penyiapan dokumen paspor dan visa, koordinasi panitia pusat dan daerah, dan pembekalan petugas menjadi tidak maksimal.

Bahkan kontrak-kontrak pemenuhan berbagai kebutuhan di Arab Saudi seperti pemondokan, pengadaan katering, dan transportasi belum bisa dijalankan karena pemerintah Arab Saudi sendiri meminta semua negara pengirim misi haji untuk menunda kontrak-kontrak bisnis terkait agenda haji. Maklumat tersebut sampai sekarang belum dicabut. Padahal penyelenggaraan haji semakin dekat dan sudah di depan mata.

Bila ternyata penyelenggaran ibadah haji tetap dilaksanakan dikhawatirkan Kemenag tidak memiliki waktu yang cukup, sehingga persiapan tidak matang karena buru-buru, hal mana bisa berakibat fatal karena layanan tidak optimal.

Dengan situasi tersebut, maka sangat sulit mewujudkan kegiatan haji yang ideal. Merujuk pada jadwal penyelenggaraan haji tahun-tahun sebelumnya, ketika memasuki akhir Ramadhan biasanya berbagai persiapan kebutuhan dan keperluan yang fundamental biasanya sudah mampu diselesaikan oleh Kemenag. Setelah idul fitri (lebaran) Kemenag tinggal malakukan finalisasi persiapan-persiapan teknis dan petugas di negara Arab Saudi siap menyambut kedatangan jamaah.

Berdasarkan fakta-fakta ini Komnas Haji dan Umrah mendorong agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Agama segera mengambil kebijakan tegas dengan menunda pengiriman misi haji Indonesia tahun 2020 karena pandemi Covid-19 masih menjadi gejala global dan belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir, termasuk di Indonesia maupun di negara tuan rumah, Arab Saudi.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia yang mendapat kuota terbanyak, yaitu 221 ribu jamaah, tentu sangat berkepentingan untuk melindungi keselamatan jiwa warganya dari ancaman virus mematikan (hifzhun nufus).

Tanpa menunggu keputusan pemerintah Arab Saudi, seharusnya Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan dari sebuah negara yang berdaulat secepatnya mengambil kebijakan demi keselamatan jiwa ratusan ribu jamaah berikut ribuan petugas yang berasal dari berbagai instansi di luar Kemenag seperti tenaga medis dari Kementerian Kesehatan, Kepolisian, TNI, Polri, Kementerian Perhubungan dan unsur petugas daerah.

Siapa yang akan bertanggungjawab dan bisa menjamin bila ratusan ribu orang tersebut tidak terinveksi Covid-19 baik dalam proses di tanah air maupun mana kala berada di Arab Saudi akibat berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara yang juga belum bebas dari Covid yang berpotensi membawa virus?

Sangat sulit menerapkan strategi social dinstancing maupun physical distancing pada saat penyelenggaraan ibadah haji, terutama pada saat agenda-agenda krusial seperti thawaf, wukuf, sa’i, lempar jumrah di mana 1,3 juta orang dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada saat yang bersamaan. Untuk saat ini, pemberangkatan jamaah masih sangat berisiko.

Selain alasan-alasan di atas ada beberapa hal lain yang bisa menjadi landasan Presiden (pemerintah) menunda (meniadakan) pelaksanaan rukun islam kelima pada tahun 2020 adalah; Pertama, pemerintah masih belum mencabut status darurat bencana nasional akibat pandemic Covid-19 sebagaimana tertuang melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional yang diberlakukan sejak 13 April 2020.

Oleh karenanya segala ketentuan dan pendekatan mestinya menggunakan perspektif kebencanaan. Dengan kata lain penundaan pemberangkatan misi haji bisa merujuk beleid tersebut bukan karena keinginan pemerintah, akan tetapi terhalang oleh bencana nonalam berupa Covid-19 yang melanda dunia sehingga tugas dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan haji terhalang oleh bencana atau dengan kata lain terjadi force majeur.

Hal ini penting dikemukakan karena pihak Kemenag mungkin saja merasa khawatir bila haji ditunda akan mendapatkan gugatan dari berbagai pihak termasuk gugatan class action dari jamaah. Keinginan untuk menunda tentu saja bukan dari pemerintah, tetapi karena situasi yang membahayakan jiwa jamaah.

Kedua, aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) masih berlaku di berbagai daerah. Jika pemerintah konsisten terhadap aturan PSBB maka larangan berkumpul atau ‘pengarahan massa’ juga berlaku terhadap kegiatan apapun tak terkecuali prosesi pemberangkatan jamaah haji yang melibatkan ratusan ribu orang. Hal ini tentu belum termasuk kehadiran keluarga dan kolega jamaah yang biasanya turut mengantar bisa menjadi sumber pengumpulan massa sehingga bertentangan dengan PSBB.

Ketiga, akan keluar biaya/anggaran ekstra jumbo minimal terkait dua sektor penting yaitu penerbangan (transportasi udara) dan kesehatan. Peraturan Menteri Perhubungan mengizinkan perusahaan maskapai hanya mengangkut 50 persen dari daya tampung karena harus memberlakukan social distanscing di dalam pesawat sehingga untuk keperluan haji harus menyediakan dua kali lipat angkutan pesawat yang sudah dijadwalkan, baik untuk pemberangkatan maupun pemulangan.

Ilustrasinya, jika sebuah pesawat berkapasitas 500 penumpang, maka ia hanya boleh diisi setengahnya. Di sektor kesehatan juga itu harus ada anggaran tambahan untuk berbagai keperluan kesehatan seperti fasilitas, peralatan, dan kebutuhan medis mencegah dan mengobati jamaah dari Covid-19. Biaya-biaya lain untuk menyesaikan dengan situasi juga bisa timbul.

Pertanyaannya dari mana anggaran akan diambil? Apakah dari APBN, dibebankan kepada jamaah atau menambah subsidi dari manfaat dana jamaah haji tunggu (waiting list) yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)? penyediaan dana-dana semacam ini akan sangat rawan penyimpangan.

Keempat, tenaga kesehatan (nakes) seperti dokter, perawat, dan tenaga kesahatan lainnya juga harus ditambah secara signifikan untuk menjaga kesehatan jamaah dan petugas. Padahal saat ini peran mereka tengah difokuskan untuk membantu penanganan Covid-19 di dalam negeri yang masih fluktuatif, bahkan diprediksi setalah lebaran akan ada lonjakan pasien positif Covid-19 yang signifikan akibat kurangnya kepatuhan masyarakat terhadap aturan PSBB. Bila tenaga kesehatan ditarik lebih banyak untuk mengawal penyelenggaraan haji di tanah suci, maka tentu saja hal ini akan mengurangi pelayanan penanganan Covid-19 di tanah air.

Kelima, jamaah haji yang berjumlah 221 ribu orang dikhawatirkan berpotensi terinveksi selama prosesi haji sebagai cluster baru, baik selama proses di tanah air maupun di tanah suci karena berinteraksi dengan jutaan jamaah lainya dari berbagai negara sehingga manakala pulang ke tanah air sangat potensial menjadi klaster baru Covid-19, tentu saja semua pihak tidak menginginkan ini akan terjadi.

Terlebih-lebih 1 persen (sekitar 2 ribu orang) porsi jamaah diperuntukkan bagi jamaah usia lanjut usia (lansia) sehingga berisiko tinggi (risti) dan rentan mengalami gangguan kesehatan. Masih ingat dalam ingatan publik salah satu klaster penyebaran Covid-19 tanah air berasal dari klaster acara Jamaah Tabligh di Kabupaten Gowa di mana puluhan ribu orang berkumpul mengabaikan PSBB. Dengan demikian, “kloter” (kelompok terbang) jamaah haji yang berasal dari berbagai daerah dikhawatirkan berubah menjadi “kelompok terinveksi.”

Keenam. Kesiapan mental dan fisik petugas haji (di luar petugas medis) karena kurikulumnya tidak disiapkan dan didesain sejak awal untuk menghadapi situasi seperti saat ini mereka harus berjibaku mengahadapi ‘musuh’ tak terlihat seperti wabah Covid-19 sehingga dikhawatirkan dapat berdampak pada pelayanan. Sebab salah satu faktor penentu sukses tidaknya penyelenggaraan ibadah haji adalah kinerja para petugas di lapangan.

Ketujuh, asrama haji Pondok Gede yang selama ini berfungsi sebagai transit untuk keberangkatan dan penampungan jamaah yang cukup besar saat ini diperuntukkan sebagai ‘rumah sakit’ sementara penanganan isolasi pasien covid-19. Jika mencari alternatif tempat lain, maka upaya itu akan menambah biaya ekstra yang cukup besar.

Kedelapan, kondisi Arab Saudi belum aman dan kondusif karena masih dikepung Covid-19. Berdasarkan data Worldometers, sampai 18 Mei 2020, sudah ada 57.345 kasus positif corona di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 320 jiwa meninggal dunia dan 28.748 pasien sembuh. Artinya, masih ada 28.277 pasien Covid-19 yang dirawat di Saudi.

Arab Saudi saat ini menempati peringkat ke-15 dalam daftar negara yang memiliki jumlah pasien Covid-19 terbanyak di dunia. Pemerintah harus mencermati kondisi ini sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan.

Beberapa waktu lalu, pemerintah menawarkan salah satu strategi dan skenario yang disampaikan oleh Kementerian Agama jika haji tetap dilaksanakan dengan hanya akan mengirimkan setengah dari jatah kuota. Namun hal itu bukanlah solusi. Jika dikalkulasi melalui skema ini, berarti akan ada kurang lebih 110 ribu orang yang berangkat ke tanah suci. Dengan gelombang rombongan yang begitu besar tersebut, jamaah dan petugas sangat berpotensi terinveksi Covid-19.

Skenario tersebut sangat berisiko karena tidak ada bedanya dengan pengiriman sesuai kuota. Komnas Haji dan Umrah berharap pemerintah tidak memaksakan diri tetapi melihat secara objektif kondisi saat ini.

Keputusan penundaan haji 2020 tentu saja akan membuat sejumlah pihak tertentu akan merasa kecewa dan tidak happy, baik bagi jamaah yang sudah sangat lama menanti beribadah di tanah suci untuk menyempurnakan rukun Islam maupun pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi atas penyelenggaraan ibadah ini. Tetapi penundaan pemberangkatan haji adalah jalan terbaik saat ini. Penyelamatan ribuan jiwa rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan manapun.
 

Mustolih Siradj, Ketua Komnas Haji dan Umrah