Opini

Sharing Economy dan Warga NU

NU Online  ·  Ahad, 27 Maret 2016 | 04:00 WIB

Oleh Sukamto Javaladi

Tulisan ini diilhami oleh adanya hiruk-pikuk dan silang-sengketa antara sopir taksi regular dan taksi berbasis aplikasi.  Saya tidak akan memberikan analisis tentang siapa di antara keduanya yang paling benar, tetapi  hanya akan menyampaikan gagasan tentang dahsyatnya kekuatan warga NU dalam sharing-economy. Pertanyaannya adalah apa sih yang dimaksud dengan sharing-economy?

Sebelum saya memberikan definisi sharing-economy yang singkat, saya ingin memberikan gambaran implementasi sharing-economy di lingkungan kita. Pada hari kerja, banyak sekali pengguna angkutan di pinggiran Jakarta yang menumpang (nunut) mobil milik orang lain—bukan mobil angkutan umum berplat kuning—dengan membayar. Orang yang menumpang tidak perlu memiliki mobil tetapi bisa menikmati mobil bagus saat berangkat kerja. Fenomena ini tampaknya sudah mewabah di berbagai pinggiran DKI Jakarta pada pagi hari saat banyak warga berangkat ke kantor.

Pada saat banyak sekali warga yang ingin menumpang dan juga ada pemilik mobil yang ingin memberi tumpangan, ada pihak lain yang bertindak sebagai mak comblang dengan menggunakan teknologi informasi (TI). Mak comblang ini mempertemukan—tentu via dunia maya—si pencari tumpangan dan pemilik mobil.  Penggunaan teknologi informasi inilah, khusus untuk pengguna taksi, yang belakangan dikenal sebagai pesan taksi berbasis aplikasi. 

Jadi sharing-economy, sering juga disebut sebagai share-economy, atau collaborative consumption, adalah model pasar hybrid yang memberikan akses terhadap barang dan jasa yang dikoordinasikan melalui jasa online berbasis komunitas. Dengan share economy, perilaku konsumen berubah dari ingin memiliki ke share (patungan), konsumen memperoleh kemudahan dalam mencari barang/jasa, dan produsen lebih cepat terhubung dengan konsumen.

Secara teoritis, sharing economy akan mengoptimalkan penggunaan sumber daya di berbagai wilayah, memudahkan redistribusi barang dan jasa, dan menyalurkan produk dari unit bisnis yang kelebihan produksi. Di sisi lain, share-economy juga akan menjungkir-balikkan watak ekonomi yang kapitalistik ke ekonomi kerakyatan. Dari dugaan para pakar, potensi share-economy di berbagai lingkungan permukiman adalah: penggunaan tempat parkir, penggunaan mini truk, penggunaan kamar tidur, organ/alat music, gudang, alat gunting rumput, dll.

Kembali ke ikhwal warga NU, dimana kedahsyatannya dalam  share-economy? Jika diasumsikan bahwa warga Nahdliyin di Indonesia berjumlah 80 juta jiwa, maka berapa juta kilogram beras untuk suplai makan mereka, berapa juta meter kain untuk kebutuhan sandang mereka, berapa juta meter persegi rumah untuk tempat tinggal mereka, dan seterusnya. Pertanyaan sejenis bisa dikaitkan dengan soal transportasi, soal obat-obatan, soal sandal/sepatu, soal meja/kursi, dll. Alangkah dahsyatnya jika warga NU ini bahu-membahu dalam memanfaatkan barang dan jasa yang dimilikinya. Alangkah dahsyatnya jika warga NU membentuk pasar hybrid tersendiri dengan model sharing-economy.

Karena terlalu banyak kedahsyatan potensi warga NU sebagaimana tersebut di atas, saya akan mencoba memberikan salah satu alternatif saja  dalam membangun share-economy, yakni membangun pusat-pusat kawasan agro-industri di berbagai wilayah sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing. Pusat kawasan agro-industri ini bisa dimulai dengan beras, kentang, jagung, minyak sawit, kakao, kopi, teh, kedelai, tomat, cabe, sayur-mayur, dan lain-lain. Bagaimana memulainya? Himpun data warga NU seluruh Indonesia, gunakan data sekunder yang ada, bentuk jaringan Universitas Nahdlatul Ulama di berbagai daerah, dan lakukan pemetaan awal untuk menentukan keunggulan komparatif wilayah.

Penulis adalah dosen UNU Indonesia