A. Mustofa Bisri
Alhamdulillah, kita kaum muslimin, berkat pertolongan Allah, telah dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadan dengan selamat. Tentu saja, seperti halnya menjalani kehidupan ini secara umum, dalam menjalani kehidupan Ramadan, setiap orang berbeda dengan yang lain. Masing-masing sesuai ‘maqam’nya.
<>Seperti hal dalam menjalani kehidupan berpolitik, misalnya, meski dalam tampilan seperti sama, sebenarnya selalu ada perbedaan penyikapan sesuai ‘maqam’. Sesuai latar belakang pendidikan, tingkat penalaran dan kesadaran, niat dan tujuan, dan lain sebagainya. Ada yang berpolitik karena mempunyai gagasan besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara; ada yang karena menganggap kekuasaan politik adalah alat paling ampuh untuk mencapai cita-cita; ada yang merasa diri berbakat di bidang politk; ada yang karena terseret euphoria; ada yang hanya latah ikut-ikutan; dlsb. Mereka yang berkecimpung di dunia politik ini, ada yang menganggap demokrasi adalah segala-galanya; ada yang ingin melaksanakan syareat demokrasi secara pas; ada yang baru paham demokrasi sebatas namanya; ada yang sama sekali tak mengerti abc-nya demokrasi; dlsb. Tapi semuanya ternyata bersama-sama meramaikan kehidupan politik kita.
Demikian pula dalam ‘kehidupan Ramadan’, kaum muslimin berbeda-beda dalam menyikapi dan menjalaninya. Ada yang menganggap Ramadan sebagai bulan suci bagi mensucikan diri; ada yang menganggapnya sebagai kesempatan bagi mengejar ketinggalan di bidang ibadah; ada yang sudah merasa puas dengan berpuasa sebagai pelaksanaan salah satu rukun Islam; ada yang memuasainya sebagai pelaksanaan kewajiban; ada yang hanya mengubah jadwal makan minum; dlsb. Dalam berpuasa pun ada yang sekedar menghindari makan dan minum di siang hari (meski ada yang malamnya ‘balas dendam, makan minum melebihi takaran); ada yang menghindari juga hal-hal yang diharamkan di siang hari (meski ada yang merasa bebas lagi ketika malam tiba). Dan jangan lupa, ada juga yang menganggap Ramadan sebagai musim panen, seperti para artis dan ustadz-ustadz di tv-tv itu. Tapi semuanya ternyata bersama-sama meramaikan ‘syiar’ Ramadan.
Bagi mereka yang ‘kencengjiwa ritual’-nya, mungkin akan selalu terngiang di benaknya, sabda Rasulullah SAW, “Kam min shaaimin …” (“Banyak orang yang puasa hanya mendapakatkan haus dan lapar.”). Bila mereka ini kemudian menjadikan sabda pemimpin agung mereka itu sebagai cambuk untuk menyempurnakan puasa mereka, itulah bagus. Tapi kalau kemudian sabda itu hanya dijadikan bahan khotbah atau sekedar untuk menilai orang lain, inilah bahaya. Seperti halnya dalam aspek kehidupan lain; bila sesuatu kekurangan atau cacat umum digunakan untuk mengoreksi diri, tentulah akan sangat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Akan tetapi bila hal itu hanya untuk mengoreksi orang lain, tentu hanya capek yang akan diperolehnya.
Yang berbeda adalah dengan siapa kita bergaul dan berhubungan. Dalam ibadah ritual seperti puasa bulan Ramadan, kita berhubungan dan ‘bergaul’ dengan Ar-Rahman, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Arif termasuk kepada hamba-hambaNya. Ia Mahatahu belaka akan kekuatan dan tingkat kemampuan masing-masing hambaNya. Bergaul dan berhubungan denganNya, jadinya lebih enak bagi mereka yang mengerti (Al-‘Ulamaa, istilah santrinya). Ia begitu paham dengan kedaifan kita –karena memang Ia yang menciptakan kita. Karenanya Ia tidak mudah menghukum kita; suka memaafkan dan gampang memaklumi kekurangan kita; seiring dengan banyaknya ‘lembaga pengampunan’Nya. Tidak sebagaimana berhubungan dan bergaul dengan sesama manusia yang terkadang sangat sulit. Manusia, misalnya, sangat sulit memaklumi dan memaafkan kesalahan lawan bergaulnya. Bahkan sering kali manusia sok merasa wakil Tuhan –atau bahkan merasa Tuhan itu sendiri. Menjatuhkan vonis kepada sesama yang sebenarnya merupakan hak dan wewenang Tuhan semata.
Oleh karena itu, setelah menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan, marilah kita berhusnuzhzhan kepada Allah: kita berbaik sangka kepadaNya bahwa ibadah kita bagaimana pun rupanya, Ia terima dengan keridhaanNya yang agung; bahwa dosa-dosa kita sesuai janjiNya --melalui RasulNya—telah diampuniNya semua. Tinggallah tanggungan kita antar sesama yang relatif lebih sulit, marilah kita upayakan lebur pula dengan saling menghalalkan dan saling meminta maaf. Dengan demikian kita bisa berharap di hari bahagia, Idul Fitri ini, kita ben
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua