Oleh Rijal Mumazziq
Dalam kata pengantar buku Gus Dur-Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita karya Muhammad AS Hikam, Romo Frans Magnis Suseno bercerita. Bersama beberapa kawannya, dia mengunjungi Presiden Gus Dur di Istana Negara. Di gedung itu mereka melewati suatu gang ke kamar makan. Di gang tersebut dia melihat ada beberapa kardus yang diikat dengan tali rafia.
Dia pun bertanya kepada seseorang, kok ada bungkus kardus? Jawaban orang itu, besok Presiden akan melakukan kunjungan kenegaraan ke RRC. Romo Magniz geleng-geleng, Presiden RI membawa barang-barang ke kunjungan negara dalam kardus persis masyarakat di kereta api ekonomi? Itu baru Presiden Gus Dur.
Karena itu menonton video seorang santri yang diminta membuka kardus bawaannya dan tas ransel miliknya, saya teringat kesederhanaan Gus Dur. Jiwa santrinya dan kebiasaan ala santri dengan koper kardus terbawa bahkan hingga beliau menjadi seorang RI-1. Dengan video santri yang dengan masygul membuka kardus dan ransel di bawah pengawasan polisi tersebut, kita bisa melihat dampak aksi terorisme. Kita memaklumi ekspresi santri yang kesal karena diminta membuka kardus dan ransel di ruang publik, tapi kita juga memaklumi kewaspadaan aparat.
Pada hari-hari ini tekanan mental dan psikologi para polisi mungkin mencapai titik jenuh. Dengan tugas mengamankan obyek vital dan menjaga keamanan, mereka juga menjadi target aksi terorisme.
Lagipula, saya cek, beberapa fesbuker yang memviralkan aksi "santri, kardus dan polisi" lalu menggiring opini jika santri mulai "dikriminalisasi" ini sebagian besar juga bukan dari kalangan pesantren, kok. Dan, mereka juga tidak memunculkan akhir dari peristiwa yang didramatisir itu, sebab pada akhirnya si santri yang sewot itu berswafoto dengan aparat kepolisian sambil tersenyum. Ini santri, rek!