Opini

Santri, Cita-cita dan Pendidikan Karakter

NU Online  ·  Jumat, 15 September 2017 | 00:46 WIB

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Sejarah kita sebagai sebuah bangsa mewariskan kekayaan tradisi yang melimpah. Salah satunya adalah pesantren yang berusia lebih sepuh dari Indonesia. Memang, sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak memiliki formulasi paten, baik secara institusional, kurikuler ataupun intruksional. Setiap pesantren memiliki kekhasannya masing-masing. Dalam pesantren tidak ada standar umum yang berlaku bagi semua pesantren. Inilah kelebihan pesantren.

Karenanya, pesantren dapat berkembang secara alamiah, dengan dasar etika yang sama. Perbedaan antar pesantren sekedar di wilayah tipologi dan penerapan. Landasan etisnya sama. Dari satu landasan etis ini (ilmu keislaman dan akhlak) merambat menjadi berbagai jenis karakteristik yang bermacam-macam. Tipologi ini yang menyebabkan, selesai atau tidaknya pelajaran santri ditentukan oleh pengamatam Kiai atau gurunya, setidaknya di pesantren tradisional.

Sebagian pesantren memilih fokus dalam pengajaran al-Qur’an dan berbagai perangkat ilmunya seperti Pesantren Krapyak, nahwu-sharaf seperti Pesantren Lirap, Kebumen dan berbagai macam jenis lainnya. Sehingga tidak jarang, santri yang telah menyelesaikan pelajaran di satu pesantren tertentu pindah ke pesantren lainnya untuk memperdalam ilmu agama lainnya. Hal ini tidak hanya memperkaya pengetahuan santri, tapi juga memberikan manfaat pada pengembangan dirinya.

Santri—dulunya, mungkin juga sekarang—tidak memiliki cita-cita spesifik ketika menuntut ilmu di pesantren. Maksud spesifik di sini adalah cita-cita yang mengarah pada profesi tertentu dengan gamblang dan jelas, seperti menjadi pilot, dokter, menteri dan seterusnya. Sebab, tekanan inspiratif di pesantren sangat berbeda dengan sekolah umum. Di pesantren, ada doktrinasi budaya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah menghilangkan kebodohan (ngilangake kebodohan).

Bukan berarti santri tidak memiliki aspirasi untuk maju, tidak. Hanya saja aspirasi santri, dari sudut pandangnya yang khas, tidak sekadar kemewahan diri dan keberhasilan individu semata. Kehidupan pesantren yang dilaluinya bertahun-tahun, membangun karakter gotong royongnya yang tinggi.

Diktum ngilangake kebodohan itu menjadi pondasi utama bahwa menuntut ilmu itu tidak ada habisnya, dari mulai lahir sampai ke liang lahat.Kebodohan itu mustahil dihilangkan. Etos belajar semacam inilah yang dipegang santri, belajar tiada akhir. Sikap ini, kemudian, dibawa para santri dalam kehidupan bermasyarakat, entah di lingungan kerja atau lingkungan lainnya, meski sudah tidak lagi tinggal di pesantren.

Nicolaus Cusanus (1401-1464 M) berpandangan bahwa manusia selalu dalam perjalanan. Makin tinggi pengetahuannya, makin sadar apa yang diketahuinya belum seberapa. Dia menyebutnya dengan istilah “de docta ignorantia” (ketidak-tahuan yang terpelajar, learned ignorance), sesuai dengan judul bukunya.

Para santri memahami itu, tidak ada orang pintar, yang ada adalah orang bodoh yang terus belajar. Atas alasan ini Kanjeng Rasul memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Karena luasnya pengetahuan dan pendeknya umur manusia. Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah mengatakan: “al-Insân jâhil bi dzâtihi wa ‘âlim bi kasabihi—manusia itu bodoh secara dzatnya, menjadi tahu dengan berusaha.” (Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, hlm 567)

Yang menentukan seseorang santri atau tidak, bukan profesi atau pekerjaannya, tapi karakter kesantrian yang telah melekat di dalamnya. Dia bisa hidup menjadi apa saja; presiden, dosen, atlet, tukang besi, pengusaha dan seterusnya. Fleksibelitas santri ini, menurut Gus Dur, didasari oleh orientasi ukhrawi yang sangat kuat, yaitu menerima apa saja yang diberikan kehidupan. Walaupun terlihat seperti sikap hidup fatalistis—ditinjau dari standaritas kehidupan dari luar pesantren—pandangan hidup semacam ini mempunyai sisi positif yang besar (Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, LKiS, hlm 8).

Pesantren sebagai tempat pendidikan, dan santri sebagai pengamalnya, telah mengembangkan pendidikan karakter dari zaman dulu, sebelum Full Days School (FDS) diperkenalkan. Pesantren mampu menciptakan sikap hidup universal yang merata dengan tata nilaiyang luhur, bukan aturan tertulis. Bagi santri, melanggar kode etis dalam kultur pesantren tidak berbeda dengan melanggar undang-undang tertulis. Sebab itu, santri akan berusaha sekeras mungkin mempertahankan identitas kultural-moralnya dimanapun dia berada.

Mark Van Doren (1894-1972 M) memandang pendidikan harus menekankan pada integritas holistik, yaitu proses integratif yang mengumpulkan berbagai komponen manusia. Jika pendidikan tidak terkait dengan intelektualitas, psikologi dan spiritualitas manusia secara bersamaan, menurut Mark Van Doren, hal itu tidak bisa disebut pendidikan (Mark Van Doren, Liberal Education, 1959).

Sebagai institusi pendidikan, model yang dikembangkan pesantren mirip dengan teori Mark Van Doren. Dengan melakukan integrasi berbagai elemen manusia. Perbedaannya, sistem pendidikan pesantren beredar di wilayah praksis, belum terskema secara teoritis. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perbedaan pendekatan yang digunakan setiap pesantran. Sebelum masuk lebih jauh, kita harus memahami terlebih dahulu‘siapa itu manusia’menurut definisi yang biasa digunakan pesantren.

Dalam bahasa Arab kata manusia berasal dari al-uns (jinak, harmonis, dan suka cita). Definisi umumnya di kalangan pesantren adalah al-hayawân al-nâthiq (hewan yang berpikir). Menurut Imam al-Ghazali (1058-1111 M) definisi semacam itu baru mencakup aspek psikologis saja (tanâwul nafs), belum menyeluruh. Al-Ghazali memandang manusia memiliki tiga unsur penting, yakni al-nafs (jiwa), al-rûh (nyawa) dan al-jism (fisik), tidak sekedar jiwa dan raga (Abu Hamid al-Ghazali, Mi’râj al-Sâlikîn, dalam Majmû’ah al-Rasâ’il al-Imâm al-Ghazali, hlm 62).

Tiga unsur penting manusia ini digarap secara gradual di pesantren. Pertama, al-Nafs dibagi dua jenis: 1) jiwa atau aspek psikologis yang dibangun melalui aturan pesantren dan cara hidup bersama santri, dan 2) intelektual, proses ajar-mengajar santri di pesantren. Kedua, al-rûh (spiritualitas) dibentuk dengan penghindaran terhadap hal-hal haram, kontinuitas ibadah dan proses pensucian hati bertahap, misalnya tirakat. Kemudian, ketiga, al-Jism (fisik), dengan carapelatihan fisik yang bersifat untuk menajamkan jiwa dan spiritualitas santri, misalnya ro’an (kerja bakti bersama di hari libur pesantren).

Pendidikan Barat tidak memberikan ruang yang cukup untuk spiritualitas,lebih mengutamakan intelektualitas. Akibatnya, telah menghasilkan tragedi yang cukup besar. Dari tahun 2010 hingga sekarang, di Amerika Serikat telah terjadi 120-an kasus penembakan di sekolah dan memakan korban lebih dari 120 orang. Aksi itu sebagian besar dilakukan oleh siswa. Banyak dari mereka mengalami masalah kejiwaan.

Dengan demikian, aspek spiritual sangat penting dalam pendidikan kita. Penguatan pendidikan karakter harus dibarengi dengan pendidikan spiritual yang seimbang. Dalam tradisi kita, biasanya dilakukan di Madrasah Diniyyah sore atau malam. Di samping masjid dan langgar yang membuka pengajian untuk anak-anak setelah maghrib. Hampir semua motor penggerak pendidikan spiritual (agama) itu, di desa-desa, dilakukan oleh para santri yang telah mukim di daerahnya masing-masing.

Poin pentingnya adalah, citra santri dengan cita-cita umumnya (ngilangake kebodohan) membentuk karakter santri yang unik, dalam pengertian yang baik. Setiap hari mereka dituntut disiplin, bangun sebelum shubuh, kemudian harus mengikuti rangkaian kegiatan yang sangat padat. Masuk sekolah sampai siang, madrasah sore dan muhafadzoh (menjaga hafalan bersama-sama), setoran hafalan setelah maghrib (sebagian mengaji al-Qur’an), bandongan dan sorogan setelah shalat Isya hingga jam sebelas malam, lalu sisanya digunakan untuk istirahat atau tidur. Paling tidak, itulah kegiatan salah satu pesantren yang saya ketahui.

Maka dari itu, para santri memiliki fleksibelitas luar biasa. Padatnya jadwal belajar sehari-hari tidak menjadikan mereka seperti robot yang membosankan. Sentuhan spiritualitas-humanistik Kiai dan santri senior, memberikan dimensi baru dalam pendidikan karakternya. Kiai dipandang tidak sekedar sebagai guru, tapi juga uswah, sumber suri tauladan santri. Karenanya, pesantren memiliki jutaan cerita keteladan yang tidak akan habis didengar. Keteladanan yang bermuara pada Sayyiduna wa Maulana Muhammad Saw, bendoro dan pungkasan para nabi.

Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan, dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Kebumen, Jawa Tengah.