Oleh Mh Nurul Huda*-- Kata “revolusi” dalam judul esai ini barangkali terdengar garang di telinga. Maklum, dalam benak banyak orang, kata sederhana ini mengandung makna perubahan yang sifatnya cepat, radikal, dan mendasar. Di bawah komando sentral seorang pemimpin yang kuat dan kharismatik, roda perubahan itu hendak digerakkan.
<>
Sudah lama sekali sejak awal Orde Baru, kata “revolusi” ini perlahan hilang dari perbendaharaan bahasa para pejabat pemerintah kita. Barulah kemudian Pak Joko Widodo kembali mempopulerkannya lewat frase “revolusi mental”. Masyarakat pemilih (voters) pada masa kampanye pilpres yang lalu dibuat terpana oleh daya magis istilah itu, bersanding dengan keterpesonaan sebagian masyarakat yang lain kepada sebuah“sosok”. Sosok ini dihadirkan pada diri seseorang yang dianggap memiliki wibawa, kuat dan macho pemegang tongkat komando. Baik Pak Jokowi maupun Pak Prabowo menggunakan citra maskulin ini dalam kampanye mereka lewat representasi simbolik yang berbeda.
Belakangan semakin diinsafi bahwa gambaran sosok pemimpin pemerintahan yang kuat dengan kekuasaannya yang “terpusat” dan ditaati secara absolut itu nyaris sudah tak ada lagi. “Pusat” itu telah pudar lewat partisi institusi (dengan lembaga, departemen, kementerian negara yang relatif in(ter)dependen) dan meleleh lewat desentralisasi politik dan administrasi. Demikian pula apa yang disebut “kekuasaan”(power) itu sendiri merupakan sumber daya (resources), wewenang dan pengaruh yang terbagi-bagi.
Seorang teman, pegawai negeri yang bekerja di sebuah kementerian/departemen pemerintah, baru-baru ini bercerita kepada penulis dan mengatakan, bila Pak Jokowi mau serius menggalang revolusi mental maka itu dapat dilakukan pertama dalam tubuh birokrasi. Birokrasi-lah, katanya, yang seharusnya menjadi target langsung dari revolusi mental itu. Dengan watak dasarnya yang hierarkis, revolusi birokrasi akan dapat dijalankan dengan pendekatan instruksi. Tapi sayangnya, karena “pusat” itu sudah memudar, maka kenyataan dapat berbicara lain. Apa yang diperintahkan oleh seorang pemimpin yang diandaikan masih terpusat itu rupanya tak selalu diikuti bawahan. Selain menterjemahkan visi masih jadi kendala tersendiri bagi aparatur pemerintah, setiap partisi institusi dan yang terdesentralisasi (lewat aparatur pemerintah daerah) nyatanya jugapunya problem serupanya sendiri.
Baiklah, kita andaikan saja hipotesis teman tadi benar bahwa revolusi harus bermula dari birokrasi, mengingat keniscayaannya sebagai jantung bagi jalannya roda pemerintahan. Maka, segera saja kesulitan-kesulitan lain mustahil diabaikan.
Umpamanya, aparatur birokrasi yang berasal dari eselon-eselon yang berbeda ternyata enggan melakukan pembaharuan diri. Di antaranya ia berkilah dengan keras hati, bahwa gaji yang diterimanya toh berasal dari negara dan bukan dari kantong kepala institusi yang menaunginya, sedemikian rupa sehingga merasa berhaklah dirinya bertindak semau-maunya. Dalih ini hampir mirip dengan pernyataan politisi yang menolak atau mengabaikan kritik, lantaran merasa dipilih oleh ratusan ribu konstituen di dapilnya dimana si pengkritik dianggap bukan bagian dari konstituen tersebut betapapun sahihnya kebenaran kritik itu. Alih-alih kritik yang jujur itu dianggap bahan permenungan diri, malahan sebaliknya dikira ancaman yang mau menjatuhkan.
Memang, ada kritik yang tidak jujur. Termasuk ketidakjujuran penulis esai ini bila secara sewenang-wenang menganggap semua aparat birokrasi kita buruk rupa, atau semua tindakan politisi di negeri ini sialan semua. Kenyataannya banyak aparat birokasi kita melakukan pembaharuan, juga upaya-upaya perbaikan di lingkungan kerjanya. Umpamanya mereka berani bilang “stop!” pada praktek tak patut masa lalu. Meskipun yang terakhir ini tak jarang pula dibuat frustrasi dan kecewa hati lantaran upaya-upaya kreatif pembaharuan ini justeru terhambat oleh perilaku pemimpinnya sendiri. Mereka dibuat runtuh mentalnya, hancur moralnya dan rapuh keyakinan dirinya akibat tiadanya keteladanan.
Dengan demikian nampaknya tidak dapat dilupakan di sini bahwa kesadaran aktual dan keteladanan praktik dalam revolusi mental birokrasi berada di atas/melampaui“sosok“ dan “kata”. Hal ini berlaku tidak hanya dalam birokrasi pemerintahan, tapi juga lembaga-lembaga sosial yang mungkin secara perlahan-lahan mengalami birokratisasi.
Masih mengikuti alur berpikir teman kita tadi, lewat revolusi mental dalam tubuh birokrasi diharapkan berikutnya pembaharuan-pembaharuan akan dapat dijalankan. Pertama-tama pembaharuan yang demikian itu akan mematahkan pengetahuan lawas bahwa birokrasi kita jelmaan abadi priyayi elitis. Mengoreksi pengertian kuno bahwa aparatur birokrasi dianggap seperti makhluk alien, manusia asing dan terasing. Juga meruntuhkan analogi teoritik yang secara suka rela kita imani bahwa birokrasi itu “sangkar besi” dan orang-orang di dalamnya seperti mesin yang tak berperasaan dan teralienasi.
Birokrasi bukanlah skrup mesin, melainkan kumpulan manusia. Para pekerja di dalamnya berasal dari rakyat dan karena itu wajar bila tulus bekerja melayani rakyat kebanyakan. Mereka manunggal dengan rakyat, umat, massa. Dan karena itu mereka yang melayani rakyat hakikatnya berarti melayani jiwanya sendiri.
Birokrasi urat nadinya negara. Negara adalah sarana kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu kerja birokrasi adalah kerja-kerja mendukung kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Birokrasi juga kekuatannya rakyat. Para pegawainya menyadari dirinya berasal dari rakyat, dan karena itu wajar bila mereka bersolidaritas, ikut menopang dan menggairahkan kehidupan ekonomi warga masyarakat.
Umpamanya setiap awal bulan usai gajian, para pegawai ini tidak menghabiskan penghasilan di mal-mal dan supermarket,melainkan membuat pilihan sadar membeli kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder maupun tersier di gerai-gerai dan koperasi-koperasi yang dikelola komunitas. Mereka mendatangi pasar-pasar tradisional, belanja di tempat-tempat usaha perekonomian milik “anak rakyat” sendiri, atau di toko-toko dan warung-warung milik petani, nelayan dan pedagang-pedagang kecil. Karena menyadari diri bagian dari rakyat kebanyakan dan menerima gaji dari pajak rakyat yang dikelola negara, maka aparatur birokrasi pun merasa perlu membelanjakan kembali upah penghasilan itu dengan membeli barang-barang hasil keringat masyarakatnya sendiri.
Demikianlah bila tak keliru arti manunggal antara birokrasi pemerintah dan rakyat. Dapat saja keduanya dibeda-bedakan secara konseptual sejauh itu hanya ada dalam alam pikiran; tapi dalam alam kasunyatan praktek hubungan sehari-hari mereka yang konkritsungguh-sungguh tak terpisahkan, dan memang tak perlu dipisahkan.
Semua itu, barangkali, juga bagian penting dari revolusi mental birokrasi sebagaimana diharapkan oleh teman kita tadi, yang disetujui juga oleh penulis esai ini. Suatu revolusi yang “tak selalu” dijalankan di bawah komando sentral (mengingat volatilitasnya secara periodik), melainkan oleh kolektivitas yang terbentuk dari jaringan kesadaran dan struktur perasaan (structure of feelings) yang sama dalam aneka ruang, kesempatan dan posisi yang berbeda. Pengertian revolusi ini juga tak sesangar yang dibayangkan orang, sebagaimana kata itu sudah biasa digunakan pada orde yang lalu. Dalam arti tertentu yang tak sempurna, bolehlah dikatakan bahwa model perubahan ini berjalan relatif bersifat leaderless, horizontal dan sunyata dalam keseharian; suatu gerak perbaikan dan pembaharuan yang terus dapat berlangsung kendatipun tanpa arahan langsung sosok pemimpin sentral. Prinsip dasarnya, setiap orang adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas gerak perbaikan.
“Ibda binafsika”, mulailah dengan dirimu sendiri, begitulah pesan berulang-ulang Kiai Ahmad Mustofa Bisri yang rupanya dihayati benar oleh pegawai negeri biasa di sebuah kementerian tadi. Karena dalam tindak-tutur sebagaimana dalam politik dan dalam cinta, kata-kata tak terpisahkan dari pikiran dikobarkan dan harapan yang dilahirkan, maka pesan Rois ‘Am PBNU itu kiranya dapat diterjemahkan secara bebas begini: revolusi mental itu kalau bukan oleh kita semua lalu siapa lagi, kalau bukan sekarang lalu kapan lagi. [Wallahua’lamubisshowab]
*Mh Nurul Huda, penulis dan pekerja budaya
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
Terkini
Lihat Semua