Opini

Rekonsiliasi Agama dalam Film Ayat-ayat Cinta 2

Jum, 22 Desember 2017 | 12:29 WIB

Rekonsiliasi Agama dalam Film Ayat-ayat Cinta 2

Fahri (Fedi Nuril) dalam film AAC 2 (trailer film).

Oleh Fathoni Ahmad

“Yang pantas dicintai adalah cinta itu sendiri dan yang pantas dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri”. Begitu kata Fahri Abdullah Siddiq (Fedi Nuril) saat menyampaikan orasi dalam debat ilmiah di Universitas Edinburgh Skotlandia tempatnya mengajar.

Perkataan tersebut Fahri kutip dari seorang ulama Turki abad 20 bernama Syekh Bediuzzaman Said Nursi. Ia ingin menunjukkan bahwa Islam tidak seperti anggapan sebagian bangsa Barat. Mereka masih menilai Islam mempunyai sikap keras bahkan kerap bikin teror yang menyebabkan banyak korban berjatuhan di Eropa.

Kondisi tersebut adalah salah satu pojok peristiwa di film Ayat-ayat Cinta (AAC) 2 yang rilis perdana 21 Desember 2017 di bioskop tanah air. Film ini merupakan sekuel kedua setelah AAC pertama rilis pada 2008 silam. 

Film yang diambil dari kisah novel Ayat-ayat Cinta gubahan Habiburrahman El-Shirazy (41) ini tetap menghadirkan sisi kemanusiaan universal yang coba selalu dihadirkan mengingat konflik global antaragama-agama di dunia. Tulisan ini merupakan gambaran ringkas saat penulis menonton AAC 2 di sebuah bioskop di Kota Bogor yang dipenuhi penonton sehingga tak ada satu pun kursi kosong.



Foto: screenshoot trailer film AAC 2

Peristiwa debat ilmiah dalam film tersebut berawal dari ketika Fahri sedang menikmati kopi bersama asistennya asal Turki bernama Hulusi (Pandji Pragiwaksono) dan teman kuliahnya dulu di Universitas Al-Azhar Kairo, Misbah (Arie Untung). Di sebuah warung kopi di pojok kota Edinburgh tersebut, ia juga bertemu temannya, Brenda (Nur Fazura).

Saat mereka berempat sedang asyik mengobrol, tetiba pria Yahudi bernama Baruch mencoba bikin ulah dengan menghardik yang cenderung memfitnah ketika hendak memasuki kedai yang sama. Brenda diperankan sebagai seorang teman baik tetapi sering mengonsumsi minum-minuman beralkohol. Kala itu Brenda berbicara party dan alkohol, tetapi Baruch sekonyong-konyong langsung men-judge bahwa Fahri dan kawan-kawannya ternyata orang yang tidak benar kelakuannya.

Seketika itu Brenda langsung naik pitam tidak terima teman-teman baiknya disakiti hatinya oleh Baruch, tetapi Fahri langsung sigap coba menenangkan Brenda agar tetap bersabar. Hal itu tidak mengubah sikap arogan Baruch sehingga Brenda akhirnya menyiramkan air mineral ke muka Baruch. Fahri lagi-lagi mencoba melerai tak mau terbawa suasana panas meskipun dirinya berkali-kali difitnah Baruch sebagai seorang yang menyokong gerakan teroris.

Dalam kondisi memediasi suasana, tidak cukup membuat Baruch sadar tetapi tambah bersikap kurang ajar. Bahkan tak dinyana, Baruch yang tahu bahwa Fahri seorang dosen di Universitas Edinburgh menantangnya debat ilmiah tentang Islam dan terorisme, karena di kampus tersebut, Baruch mengaku banyak teman yang juga sebagai pengajar di sana.

Fahri tak menggubris tantangan tersebut. Lalu ditanggapi Baruch sebagai seorang pengecut. Kondisi itu membuat Brenda tidak tahan. Akhirnya dia yang menukas bahwa Fahri sama sekali tidak takut dan bersedia melayani debat. Fahri terkejut dengan apa yang dilakukan Brenda. Baruch dengan muka arogan dan congkaknya tersenyum sumringah atas ketersediaan Fahri melalui Brenda tersebut.

Singkat cerita, dalam forum debat ilmiah justru Baruch dan kawan-kawannya berulang kali menuduh bahwa Fahri seorang pendukung teroris. Fahri yang mencoba menabur debat dengan cara ilmiah justru mendapat tanggapan tak mengenakan sehingga yang terjadi adalah debat kusir dari rombongan Baruch.

Dalam suasana batin tak mengenakan dalam forum tersebut, tiba-tiba muncul seorang nenek Catharina (Dewi Irawan), seorang Yahudi yang berperan sebagai ibu tiri Baruch. Fahri dan Nenek Catharina memang bertetangga di Edinburgh. Nenek Catharina berkali-kali mendapatkan pertolongan Fahri sebagai seorang tetangga. Fahri sering mengantarnya ke Sinagog ketika Nenek Catahrina akan menunaikan ibadah.

Puncaknya ketika Nenek Catharina diusir oleh Baruch anak tirinya sendiri karena rumahnya hendak dijual tanpa sepengetahuannya. Fahri, Misbah, dan Hulusi yang saat itu sedang berada di rumah mendengar keributan dan jeritan Nenek Catharina yang didorong Baruch hingga menyusur di bebatuan kerikil di taman rumah. Fahri dengan kelembutan naluri kemanusiaannya membela perempuan tua tersebut.

Bahkan, ia meminta harga rumah yang hendak dijual Baruch agar dibeli dirinya kemudian diberikan kembali kepada Nenek Catharina agar ia tetap menempati rumahnya. Nenek Catharina terus berlinang air mata melihat kebaikan Fahri. Ia tidak menyangka pria beragama Islam yang tadinya ia anggap sama seperti para teroris di luar sana ternyata berhati lembut dan baik bak malaikat.

Baruch yang juga mantan tentara Israel yang dipecat karena kelakukan bejatnya tidak mendapat pembelaan sedikit pun dari ibu tirinya sendiri. Bahkan ia bersaksi di depan para hadirin dan akademisi yang hadir, Fahri adalah orang baik dan malaikat baginya. Apa yang dituduhkan anaknya, Baruch kepada Fahri bahwa pria yang mengasisteni Prof Charlotte di Universitas Edinburgh itu adalah seorang teroris, tidaklah benar.

Seluruh audiens yang hadir berdiri memberikan tepuk tangan tanda bangga kepada Fahri. Dengan langkah kakinya yang gontai dan tongkat yang ada di tangannya, Nenek Catharina mendekap Fahri. Tepuk tangan semakin meriah dan nyaring, sedangkan Baruch tampak kebingungan dengan kondisi antiklimaks yang menjadi rencananya itu.

Fahri berhasil menunjukkan kepada orang-orang di Barat bahwa Islam cinta damai, Islam adalah agama yang ramah, dan Islam bukanlah agama teroris. Agama hanya mengenal bahasa cinta dan kasih sayang seperti yang di-uswah-kan oleh Nabi Muhammad, bukan kekerasan apalagi membunuh.

Selain hidup berdampingan dengan bangsa Yahudi di Edinburgh, Fahri juga harus dihadapkan pada sebuah keluarga, tetangganya sendiri, yang sangat benci dengan orang-orang Islam. Adalah gadis bernama Keira (Chelsea Islan) dan adiknya Jason (Bront Palarae) yang berulang kali berbuat onar dan usil kepada Fahri, Hulusi, Misbah.

Keira adalah seorang gadis yang hobi bermain biola, sedangkan Jason masih sekolah. Sikap bencinya kepada Islam mengurat ketika ayahnya meninggal karena terkena serangan bom bunuh diri di London saat membeli oleh-oleh buat keluarga tercinta. Harapan mewujudkan cita-cita menjadi pemain biola andal pupus, Jason juga putus sekolah.

Kebencian Keira dilakukan kepada Fahri dengan mencoret-coret mobil Fahri tiap malam datang dengan menggunakan cat pilox. Kata-katanya yang dilukiskan ke mobil: “Monsters”, “Devils”, “Bastards”, dan kata-kata tak patut lainnya. Sampai suatu ketika, Hulusi memergoki orang yang sedang memilox mobil Fahri, ketangkep. Hulusi baru mengetahui, ternyata yang selama ini melakukannya adalah Keira.

Fahri keluar rumah karena mendengar keributan. Ia coba mendengarkan perkataan umpatan-umpatan Keira yang jelas menunjukkan kebenciannya kepada orang Islam karena sudah membunuh ayahnya. Fahri hanya bilang, jika ia kehilangan ayahnya, dirinya juga kehilangan istrinya Aisha yang konon diberitakan meninggal karena berjuang membantu anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Baginya, kebencian tidak akan mengembalikan orang-orang tersayang, malah akan membuat hati semakin gelap dan buruk seumur hidup. Keira tersadar dan menangis mendengarkan ucapan Fahri.

Jason bersama teman-teman mainnya juga sering mengusili Fahri. Seketika Fahri pulang mengajar dengan disetiri oleh Hulusi dan ditemani oleh Misbah. Jason yang sedang bermain bola di jalan menendang bola ke arah mobil Fahri. “Duk!” Mobil Fahri sedikit lecet. Hulusi keluar dan marah-marah ke Jason, tetapi coba ditenangkan Fahri.

Singkat cerita, Jason mencuri jajan di sebuah minimarket di Edinburgh yang ternyata miliknya Fahri. Ia tertangkap tetapi Fahri tidak mau terlalu mengadili bahkan ia tetap berbuat baik kepada Jason sehingga sedikit banyak mengubah persepsinya tentang Fahri selama ini.

Sampai pada akhirnya, Keira tetiba dihadapkan kepada guru piano terkenal di Edinburgh, Madame Varenka. Keira tak paham siapa yang mengirimkan Varenka ke rumahnya untuk membimbing permainan bioalanya agar semakin matang. Ternyata Fahrilah yang mengirimkan Varenka.

Film garapan Guntur Seoharjanto ini juga tidak hanya apik dalam menyajikan sisi-sisi kemanusiaan dalam novel, tetapi juga cerita-cerita cinta yang tak kalah menyentuhnya. Fahri ditinggal oleh Aisha yang turut berjuang di Jalur Gaza. Bertahun-tahun ia tidak mendapat kabar istrinya. Keluarga di Jerman dan Turki menganggap Aisha telah meninggal.

Hadirlah gadis dalam kehidupannya, Hulya (Tatjana Saphira). Ia adalah sepupu Aisha yang sedang mengambil Postgraduate bidang Filologi di Universitas Edinburgh. Beberapa kali ternyata Hulya ikut kuliah yang dibawakan Fahri di kelas. Beberapa mahasiswi di Edinburgh juga mengagumi kecerdasan Fahri selain terlihat gagah dan ganteng.

Singkat cerita, Hulya yang sudah kenal lama dengan Fahri berinteraksi secara intens dengan suami sepupunya itu. Dalam perjalanannya, Hulya diam-diam sangat mengagumi Fahri karena beberapa kali mendapatkan sikap baik dan kelembutan hati Fahri dalam menghadapi masalah meskipun dirinya dijahati orang. Lalu, apakah Aisha betul-betul meninggal? Selamat menonton! (*)