Opini HARLAH KE-58 MII

Refleksi 58 Tahun PMII Berkiprah

NU Online  ·  Kamis, 19 April 2018 | 22:00 WIB

Oleh Bahar Elfudllatsani

Surabaya menjadi saksi locus lahirnya PMII pada tanggal 17 April 1960/17 Syawal 1379H. Tiga belas mahasiswa NU ditugaskan merumuskan organisasi mandiri yang tidak berada di bawah bayang-bayang Departemen Perguruan Tinggi IPNU dan juga HMI yang begitu kencangnya menjadi underbouw Partai Masyumi.

Lima puluh depalan tahun sudah deklarasi berdirinya PMII yang salah satu tempat perumusannya di Tawangmangu. Artinya secara kematangan umur sebagai organisasi mahasiswa harus sangat diperhitungkan. Peran-peran dalam kebijakan strategis dalam setiap periodesasi gerakan mahasiswa tentunya perlu menjadi perhatian setiap kalangan. Mulai sahabat Zamroni sebagai Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang kala itu menumbangkan Sukarno, aksi Malari tahun 1974, hingga peristiwa 1998 penumbangan Soeharto. Penulis tidak menuliskan penumbangan rezim karena penulis melihat bukan rezim yang secara substansi ditumbangkan, tapi hanya sosok yang berhasil ditumbangkan.

Dalam sikap-sikap organisasi pun PMII sempat membuat gempar seperti sikap PMII yang menyatakan independensinya terhadap partai NU dan tegas menyatakan PMII tidak terikat pada dan/atau di bawah organisasi mana pun pada14 Juli 1972 lewat deklarasi Murnajati yang kemudian ditegaskan lagi lewat sikap pada tahun 1975. Ketika NU menyatakan kembali ke khittah pada Muktamar NU tahun 1984, PMII lebih memilih untuk interdependensi dengan NU. Tidak tersambung secara struktural, tapi secara kultur tetap memegang teguh apa yang diperjuangkan oleh NU.

Bahkan, ketika Muktamar NU tahun 2015 kemarin saat PMII akan ditarik menjadi salah satu Banom NU untuk urusan kemahasiswaan, PMII pada saat itu bersikap dewasa dengan menyatakan segala keputusan vital harus diputuskan di Kongres (musyawarah tertinggi organisasi).

Meramu Zaman Now
Lahan garap PMII, bahkan organisasi mahasiswa lain saat ini adalah mahasiswa zaman now. Tantangan yang kadang terasa berat karena diksi negatif yang selalu ditampilkan untuk kalangan aktivis, lulus telat dan tampilan ala kadarnya. Belakangan, PMII menyadari bahwa tampakan luar menjadi nilai jual tersendiri untuk mahasiswa zaman now sebagai lahan garapannya. Namun, PMII diharapkan tidak lupa dengan tampakan sesuai dengan siapa dia bertemu. PMII diharapkan bisa menyesuaikan diri. Bertemu pejabat tidak canggung, bersua masyarakat mustadh'afiin pun membaur.

Tantangan selanjutnya adalah masalah radikalisme di dalam kampus. PMII terlalu senang berada di luar kampus sampai terkadang melupakan lahan garap di kampus. Pembagian ranah kerja antara luar dan dalam kampus perlu menjadi perhatian, karena kecenderungan massing float mahasiswa yang kering akan agama menjadi sasaran empuk organisasi radikal. Bahkan, ada kesaksian mantan teroris yang mengatakan, mendoktrin cukup 30 menit untuk orang yang tidak pernah mengenal dengan dalam masalah keagamaan. Ini menjadi salah satu tugas penting bagi PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang melandaskan kebangsaan dan keislaman.

Arahan-arahan gerakan PMIIpun harusnya bisa semakin lentur untuk dapat bisa membaca zaman, bisa tetap menjadi pengawal bagi masyarakat yang tertindas dan menjadi motor penggerak kemajuan bangsa. Dengan begitu kader dan anggota PMII akan dengan leluasa memilih sesuai keminatannya dengan tidak melupakan nilai yang ditanamkan dalam PMII. Karena, satu kelebihan PMII yang tidak dimiliki oleh organisasi kemahasiswaan lain adalah pegangan tradisi yaitu menjaga tradisi lama yang baik namun tetap bisa meramu hal baru yang baik.

Selamat harlah yang ke-58 untuk PMII. Selamat berjuang.

Penulis adalah Ketua PC PMII Kota Surakarta 2016-2018, mahasiwa Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik Universitas Sebelas Maret Surakarta.