Opini

Ramadhan dan Eksodus Santri

NU Online  ·  Ahad, 29 Juni 2014 | 01:25 WIB

Oleh Muhammad Zidni Nafi’

Khazanah keunikan dunia pesantren memang tidak ada habisnya untuk dikupas. Dari mulai sistem pesantren, lingkungannya, kiainya hingga tingkah laku tradisi-tradisi santri-santri yang kerap kali menarik untuk ditelusuri. Hal ini karena santri hidup serta mengembangkan potensi lahir dan batin di lingkungan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam asli Nusantara. Bahkan memasuki millenium ketiga ini, pesantren menjadi salah satu penyangga yang sangat penting bagi kehidupan bernegara dan berbangsa.<>

Islam mengajarkan bahwa pelajaran atau kewajiban mencari ilmu tidak ada ujung akhirnya. Sebagai akibat dari ajaran-ajaran ini, maka salah satu aspek penting dalam sistem pendidikan di pesantren ialah tekanan kepada murid-muridnya untuk terus menerus berkelana dari pesantren satu ke pesantren lain. Seorang santri seringkali dikatakan sebagai thalib al-‘ilm (seorang pencari ilmu), mencari guru yang paling masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan Islam. Dengan demikian, pengembaraan merupakan ciri utama kehidupan kesatuan (homogenitas) sistem pendidikan pesantren, serta merupakan stimulasi bagi kegiatan dan kemajuan ilmu (Zamakhsyari Dhofier, 2011: 49).

Di momen-momen menjelang bulan suci Ramadan, santri dan pesantren di Jawa mempunyai tradisi unik yang populer dengan istilah pasanan (posonan), atau pasaran kalau di pesantren Sunda. Istilah lainnya bisa disebut dengan pengajian intensif.

Posonan dan Mekanismenya

Menurut almarhum Kiai Sahal Mahfudh pengasuh pesantren Maslakul Huda Pati, posonan atau pasaran adalah istilah khas pesantren Jawa untuk menyambut musim pengajian di bulan Ramadhan. Musim pengajian di bulan Ramadhan biasanya dilaksanakan 15-20 hari. (NU Online, 2012).

Kenapa harus demikian? Pesantren-pesantren di Jawa ketika menjelang Ramadhan menganjurkan santri-santrinya atau atas inisiatif sendiri untuk ngaji di pesantren lain yang ia inginkan, meskipun ada juga santri-santri yang tetap mengaji di pesantrennya sendiri.

Ibaratnya, jika di dalam dunia akademisi luar pesantren ada istilah tukar pelajar, maka di dunia pesantren juga ada istilah tukar santri. Hanya saja tukar santri tidak diatur dalam sistem atau perjanjian-perjanjian tertentu seperti halnya tukar pelajar. Dengan kata lain, ‘eksodus santri’ atau istilahnya meninggalkan pesantren asalnya secara santri dalam jumlah besar-besaran menuju pesantren lain dalam rangka mengaji pada momen Ramadhan saja. Misal dari pesantren A posonan menuju ke pesantren B, begitu pula eksodus santri dari pesantren B posonan yang melawat munuju pesantren A.

Biasanya, pesantren-pesantren besar yang sudah biasa menyelanggarakan pengajian posonan, menyiapkan tempat tersendiri bagi eksodus santri dari pesantren lainnya. Dipisahkan untuk mengetahui agar santri asli dari pesantren tersebut tidak tercampur dengan santri dari luar. Terkadang ternyata ada juga santri yang mengikuti mengaji posonan bukan dari pesantren tertentu, hanya saja ia menyempatkan waktunya khusus mengikuti pendidikan pesantren hanya saat Ramadhan tiba.

Untuk kurikulum dan sistemnya pun berbeda dari hari-hari biasanya. Pesantren satu juga berbeda dengan pesantren lainnya dalam menentukan kitab-kitab dan kegiatan pengajian posonan yang dimulai sejak awal Ramadhan.

Kitab-kitab yang diajarkan biasanya sejenis kitab hadist seperti Riyadhus Sholihin, Arbain Nawawi, Bulughul Marom. Kitab tafsir misalnya Tafsir Jalalain, Ibn Katsir, Qishah fil Qur’an.  Kitab fiqih bernuansa tasawuf yang populer Irsyadul Ibad, Sullam Taufiq, kasyifatus Syaja. Dan kitab-kitab lainnya untuk menunjang intelektual dan spiritual santri.

Pengajian posonan juga bisa dikatakan special karena kiai-kiai sepuh turut ikut untuk mengajar. Misalnya, KH. Maimun Zubair pimpinan Pesantren Al-Anwar Sarang,  hingga usianya ke-84  masih intensif mengajar kepada para santri. Musytasar NU ini rencanya akan mengajar kitab Bustanul Arifin Lil Imam An Nawawi pada pengajian posonan tahun 1435 H. Begitu pula kiai-kiai sepuh di pesantren lainnya.

Inilah hebatnya tradisi di pesantren, kiai dan santrinya begitu semangat untuk terus menimba ilmu. Padahal pengajian posonan jadwalnya sangatlah intensif. Biasanya jadwal pengajiannya mulai dari setalah shalat subuh hingga menjelang dhuhur. Usai jama’ah shalat dhuhur, dilanjutkan kembali sampai menjelang shalat ashar. Setelah shalat ashar berjamaah, mengaji lagi hingga waktu berbuka tiba. Tidak sampai disitu, seusai shalat tarawih, para santri posonan melanjutkan mengaji kitab bahkan sampai tengah malam. Begitu berulang-ulang sampai jadwal kegiatan pengajian posonan berakhir pada beberapa menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Teladan KH Wahab Hasbullah

Tradisi seperti ini sudah ada sejak dahulu. Tidak heran jika tradisi santri yang tidak hanya mengaji selamanya pada satu pesantren saja, tetapi mereka suka berkelana berpindah-pidah dari peantren satu ke pesatren lainnya.

Sebut saja, Kiai Haji Wahab Hasbullah seorang pejuang Nahdlatul Ulama asal Jombang. Meskipun pada waktu itu ayahnya merupakan pemimpin Pesantren Tambakberas, tetapi Wahab Hasbullah muda menimba ilmu di berbagai pesantren, mulai dari Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Cempaka, Pesantren Tawangsari dekat Surabaya, Pesantren Kademangan Madura, Pesantren Branggahan Kediri, hingga terakhir beliau menyelesaikan pendidikan pesantren di Tebuireng Jombang. Wajar apabila tokoh NU ini terkenal sangat alim, karena pendidikan pesantren yang ditempuh tidak sembarangan.

Perlu Apresiasi

Di tengah-tengah zaman yang begitu canggih seperti ini, masih ada lebih dari hitungan jari, generasi-generasi hebat, gigih dan tulus dalam mencari ilmu, bukan mengejar duniawi saja. Para santri dengan kostum sarung dan peci yang menjadi ciri khas, serta berbekal kitab-kitab kuning yang digenggam di tangan kanannya, dengan niat tulus, ta’dhim guru, membulatkan tekad, yakin dan sungguh-sungguh untuk melaksanakan ajaran Nabi: Tholabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin.

Perlu adanya perhatian lebih dari pihak-pihak yang merasa berwenang untuk dapat mengembangkan dan melestarikan tradisi-tradisi pesantren agar tidak terkikis oleh derasnya perubahan zaman. Karena eksistensi dari santri-santri pesantren lah salah satu pilar untuk menegakkan Islam Indonesia, Islam yang rahmatan lil alamin.

 

Kudus, 26 Juni 2014

*Penulis adalah alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, kini bergelut sebagai jurnalis serta mengemban amanah sebagai Ketua CSS MORA (Community of Santri Scholars Ministry of Religious Affairs) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.