Termasuk yang didedahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci Taurat pada lempengan keenam, Lawh al-'Ubudiyyah, adalah pelajaran ruhani tentang raghbah: suatu kegandrungan diri terhadap kemilau hati ketimbang terhadap tabiat yang buruk. Kebaikan-kebaikan merupakan obyek sekaligus orientasi raghbah.
Menurut Syaikh Muhyiddin Ibn 'Arabi (1165-1240) dalam kitab Ishthilahat ash-Shufiyyah halaman 292, raghbah itu terbagi menjadi tiga sesuai dengan hirarki konponen-komponen spiritual dalam diri manusia. Pertama, kegandrungan nafsu terhadap pahala-pahala.
Allah SWT sengaja menciptakan nafsu yang merupakan sumber meletupnya keinginan dalam diri manusia. Inilah ujian terbesar. Karena obyek dari keinginan itu tidak saja segala hal yang baik dan terpuji, tapi juga berbagai macam hal yang bangat, picisan dan sia-sia. Sehingga tidaklah mengherankan kalau di antara manusia banyak sekali yang lebih cenderung kepada segala sesuatu yang lain dibandingkan terhadap Allah SWT.
Ketika keinginan-keinginan nafsu itu sudah tersaring dan mengerucut kepada yang baik-baik saja, maka yang diincar dan menjadi tumpuan pokoknya adalah pahala-pahala. Itulah sebabnya kita kemudian menjadi paham kenapa Allah SWT seringkali mengungkapkan logika untung-rugi bagi orang-orang yang kesadaran religiusnya masih berada pada tingkatan nafsu.
Islam berbicara tentang pahala-pahala yang berlipat-lipat dari suatu amal kebaikan yang dikerjakan oleh seseorang, berbicara tentang kenikmatan-kenikmatan di alam kubur, berbicara tentang surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, berbicara tentang perhiasan-perhiasan surgawi yang menyenangkan mata, berbicara tentang makanan dan minuman yang lezat-lezat, berbicara tentang bidadari-bidadari teramat cantik yang dupingit di kemah-kemah: semua wujud kemurahan Allah SWT itu diwartakan untuk membuat semangat nafsu manusia mengerjakan kebaikan demi kebaikan.
Kedua, kegandrungan hati pada hakikat. Tingkatan hati ini tentu saja berada di atas tingkatan nafsu. Hati yang nyalang dan bersih dari pamrih-pamrih duniawi dan imbalan-imbalan ukhrawi sekaligus akan senantiasa merasakan nikmat berkonsentrasi terhadap rububiyyah atau peran-peran Allah SWT pada setiap gerakan dan perkembangan semua ciptaan-Nya.
Sudah dapat dipastikan bahwa sarana yang dipakai untuk suntuk menyaksikan peran-peran-Nya pada segala sesuatu tak lain adalah bashirah atau matan batin. Tidak mungkin mata kepala semata. Sebab yang didapatkannya pastilah hanyalah rupa, warna dan bentuk. Sementara mata batin sanggup menangkap makna keagungan dan kehadiran-Nya.
Yang biasanya pertama kali disaksikan oleh seorang salik adalah bergesernya sifat-sifat yang dimilikinya sendiri karena didesak oleh kehadiran sifat-sifat Allah SWT. Betapa sangat gamblang di kejernihan bashirahnya bahwa Tuhan semesta alam itu telah melakukan pembimbingan terhadap dirinya untuk menempuh proses-proses yang akan menyebabkan si salik itu terdorong untuk semakin mendekat pada hadirat-Nya.
Setelah sempurna hinggap pada diri si salik, peran-peran ketuhanan itu kemudian disaksikan bertengger pada segala sesuatu. Tidak ada apapun di dunia ini dengan semua isinya kecuali peran-peran ketuhanan juga bertaha di situ. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran peran-Nyalah yang menjadikan semua yang ada mengalami wujud sekaligus eksis.
Maka wajar kemudian kalau pada kedudukan spiritual ini seorang salik semakin semangat menabung potensi demi potensi ruhani untuk mempersiapkan diri menyongsong dimensi kewalian yang sempurna. Dengan getar-getar spiritualnya yang paling sublim, si salik lalu mempertegas dirinya berpaling dari segala sesuatu selain hadirat-Nya.
Ketiga, kegandrungan batin (sirr) pada Allah al-Haqq. Kerja sirr itu mukalamah atau berbincang-bincang dengan hadirat-Nya. Berarti ketika seseorang telah sampai pada kedudukan raghbah tertinggi ini, maka dapat dipastikan bahwa dia akan diangkat oleh Allah SWT sebagai teman dialog yang dalam terminologi sufismenya dikenal dengan sebutan nadim yang secara harfiah berarti kawan minum.
Dalam konteks rasionalisme religius dapat kita afirmasi dengan sangat meyakinkan kenapa seseorang yang telah mencapai kedudukan spiritual ini mesti senantiasa gandrung kepada Allah SWT semata. Bukan kepada pahala-pahala. Bukan pula kepada hakikat segala sesuatu.
Saya kira jawabannya merupakan suatu keniscayaan bahwa ketika seorang salik telah diperkenankan untuk berbincang-bincang dengan Allah SWT, berarti dia sudah dianugerahi kesempatan yang luas untuk senantiasa tertegun memandang keindahan wajah-Nya yang menjadikan sepele seluruh keindahan yang lain.
Sejak saat itulah si salik itu akan senantiasa terfokus dan tersedot kepada hadirat-Nya belaka. Pengembaraan spiritual sudah "rampung." telah dia terobos hutan dunia dengan segala kenikmatan-Nya. Telah dia lampaui akhirat dengan segala kemegahannya. Telah dia genggam apapun yang selain-Nya. Hidupnya bernilai Allah SWT semata. Wallahu a'lamu bish-shawab.
Kuswaidi Syafiie adalah penyair, juga pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
4
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
5
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
6
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
Terkini
Lihat Semua