Opini MOHAMMAD TAKDIR ILAHI

Psikologi Terorisme

NU Online  ·  Kamis, 16 Januari 2014 | 02:04 WIB

Awal tahun 2014, Indonesia langsung dikejutkan dengan penggerebekan sekelompok teroris di Ciputat, Tangerang. Dari hasil penggerebekan, enam terduga teroris tewas seketika saat melakukan perlawanan terhadap aparat kepolisian. Peristiwa ini mengindikasikan bahwa aksi terorisme tetap menjadi momok menakutkan bagi stabilitas keamanan masyarakat. <>

Tidak heran bila Indonesia kerap menjadi pemberitaan internasional seiring dengan maraknya aksi teror yang terjadi, bahkan Indonesia sering disebut sebagai “ladangnya jaringan terorisme”. Berbagai upaya pun dilakukan demi menumpas aksi terorisme. Hasilnya, puluhan orang yang diyakini sebagai pelaku teror ditangkapi, termasuk menembak mati aktor intelektualnya. Namun, regenerasi di kalangan teroris seolah tak tersentuh dalam operasi penumpasannya, bahkan semakin berkembang pesat membangun jaringan baru yang lebih terorganisir.

Serangkaian aksi terorisme yang mengancam keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia pada awal tahun ini harus diwaspadai aparat keamanan. Penggerebekan yang menewaskan enam orang teroris, menunjukkan bahwa bangsa kita sedang berada dalam situasi yang sangat genting. Betapa tidak, aksi terorisme terus-menerus berlangsung tiada henti mengancam keamanan masyarakat sehingga membuat bangsa ini sering disebut sebagai “republik teroris”.

Psikologi Terorisme

Lalu bagaimana kita memahami lahirnya jaringan terorisme yang terus bermunculan? Selama ini kita selalu dikangkangi asumsi bahwa terorisme lahir dan dibesarkan highly misleading (pemahaman keliru tingkat tinggi) terhadap agama yang benar. Di Indonesia, terorisme justru mengabarkan kepada kita tentang aneka problem yang sebenarnya menjadi sebab menjamurnya terorisme. Terorisme juga menyimpan potensi gunung es untuk selalu muncul tanpa henti di ranah politik dan keberagamaan kita. Menariknya lagi, para pelaku teroris rata-rata berasal dari kaum muda pada kisaran umur 16-40 tahun.

Aksi terorisme merupakan ekspresi resisten atas segala fenomena negatif globalisasi, persoalan demografi, kebuntuan mekanisme demokrasi serta keterputusan kejiwaan dengan modernitas. Hal ini mengabarkan pada kita bahwa terorisme belum tentu bermula dari pemahaman agama yang keliru terhadap jihad dan mati syahid. Kalau berbicara pemahaman keliru terhadap agama, kita tak menjamin bahwa mereka yang bukan teroris memiliki pemahaman keagamaan yang benar.

Namun, tak semua kedangkalan ilmu agama melahirkan terorisme. Terorisme justru eskalasi dari bertumbuhnya kaum muda dengan kondisi psikologi yang labil dan rentan respon negatif. Kegagalan beradaptasi dengan modernisme melahirkan psikologi teknologi yang timpang. Kemampuan teknologi yang dimiliki tak digunakan untuk mencipta kreatifitas menjawab persoalan krusial bangsa. Kapasitas teknologi justru digunakan untuk menciptakan bom berdaya ledak massif dengan beban biaya murah. Ironisnya, sasarannyapun semakin melebar, bukan saja kepentingan Amerika di Indonesia tapi juga mengena institusi pemerintah terutama yang aktif menangkal terorisme seperti kepolisian.

Kejiwaan para teroris berada pada transisi antara fase maturity dan fase adulthood. Kondisi maturity diartikan sebagai kondisi di mana seseorang mengalami masa kematangan sebelum kedewasaannya. Kondisi kejiwaan para teroris berada pada persimpangan antara kematangan jiwa dengan kedewasaan dalam menjalani kehidupan sehingga dapat mempengaruhi perubahan karakter dan sikap yang diikuti dengan masa kematangan sejati (the year of true maturity) (Heije Faber, 1976).

Dengan melihat beberapa kejadian terorisme di belahan dunia, para pakar berkesimpulan ada beberapa sebab yang melatarbelakangi aksi terorisme, yaitu sebab psikologis, yaitu terjadi dalam kasus di mana pelaku teror mengalami gangguan kejiwaan (abnormal), labil dan broken home. Analisis psikologis dalam mengurai motivasi pelaku teroris, memang lebih menarik ketimbang didekati dari sudut pandang teologis.  

 

Mohammad Takdir Ilahi

Mahasiswa Magister Agama dan Filsafat, UIN Jogjakarta dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Jogjakarta.