Oleh Dwi Putri
Indonesia geger dengan kasus prostitusi daring yang
terjadi pada dua artis tanah air yang berinisial VA dan AS. Namun begitu, yang
paling menjadi soroton publik di media sosial adalah VA. Hal ini dikarenakan
tarif yang ia dapatkan sekali kencan bernilai cukup fantastis.
Dalam kasus ini, VA dan AS masih ditetapkan status sebagai
saksi. Hukum belum bisa menjerat keduanya karena memang tidak ada ketentuan
perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Pihak yang berwajib hanya bisa
menetapkan mucikari saja dengan pasal 2 ayat 1 tentang undang-undang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang alias human trafficking.
Kasus VA dan AS mencuat bukan berbicara persoalan hukum,
tetapi karena ketabuan masyarakat dalam melihat fenomena demikian. Dikenal
sebagai negara yang menganut paham budaya yang melarang keras hubungan intim
antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan, tentu khalayak ramai
mengecam tindakan tersebut. Hal ini diperkuat dengan minimnya pengetahuan
masyarakat tentang hukum perundang-undangan di Indonesia, sehingga wajar saja
jika banyak yang mencemooh status VA, AS, dan R hanya sebatas saksi kasus.
Padahal seperti yang penulis sebutkan di atas, belum ada hukum baku yang bisa
menjerat VA, AS, dan R.
Jika sudah ada pembahasan tentang kasus VA dan AS dari
sudut pandang hukum dan feminis, maka di sini kita akan sedikit membahas dari
sudut pandang psikologi sosial yang mana kita akan dihantarkan pada topik
pembahasan persoalan gaya hidup individu atau kelompok.
Dalam psikologi, ada yang disebut dengan teori gaya hidup.
Dilansir dari dosenpsikologi.com menurut Plummer, gaya hidup merupakan cara
hidup individu yang diidentifikasikan dengan bagaimana orang tersebut
menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam hidupnya
(ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia di sekitar mereka.
Ini artinya, gaya hidup mengandung prinsip kebebasan. Kebebasan individu atau
kelompok dalam mengatur bagaimana cara mereka berinteraksi dengan masyarakat
dan lingkungan di sekitarnya.
Namun, lagi-lagi kita dibenturkan dengan nilai dan norma
yang mengatur ukuran kebebasan tersebut. Kebebasan yang diatur di masyarakat
Indonesia dimaknai sebagai sesuatu yang harus bersifat objektif yang memang
harus sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang ia lakukan. Aktualisasi dari kebebasan seseorang juga didasarkan
pada kenyataan perkembangan sesuai situasi dan kondisi.
Penulis mengutip dari Kajian Fenomena Ayam Kampus
Perspektif Psikologi Humanistik, diposting oleh amril-fpsi yang menyebutkan
tentang fenomena ayam kampus[1].
Dalam tulisan tersebut dijelaskan tentang faktor-faktor mahasiswi yang
menjajakan dirinya pada pria hidung belang. Salah satu di antaranya adalah
karena tuntutan ekonomi yang memaksakan mereka melakukan hal demikian.
Namun tak ayal, ternyata mahasiswi sejenis ini tidak bisa
dipungkiri ada yang berasal dari keluarga mampu. Karena daerah perkotaan yang
cepat dengan informasi gaya dan trendy, sehingga menuntut mereka untuk selalu tampil
terbaru sesuai dengan arus mode. Semua hal ini awalnya adalah karena persoalan
gaya hidup seseorang. Termasuk VA yang memang dikenal sebagai publik figur,
tentu hal semacam untuk pemenuhan kebutuhan diri sendiri yang tidak ditanggung oleh
orang tua sangat dibutuhkan. Istilahnya pemasukan tambahan. Sehingga muncul aspirers
yang menjadikan individu berfokus terhadap menikmati gaya hidup tinggi
dengan membelanjakan sejumlah uang di atas rata-rata.
Banyak hal yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan gaya
hidup tersebut. Salah satunya adalah dengan menjajakan diri sebagai subjek
prostitusi daring. Tentu apa yang mereka lakukan adalah suatu kesadaran mutlak.
Ketika mereka memilih jalan sebagai penjaja seks, maka sudah menjadi hak penuh
mereka melakukan hal tersebut. Karena ketika sadar akan apa yang ia lakukan,
persoalan tanggung jawab dan konsekuensi sudah mereka kantongi dalam-dalam demi
mewujudkan gaya hidup seperti yang mereka inginkan.
Hal tersebut sah-sah saja sebenarnya, tidak ada yang
berhak mengatur bagaimana fungsi selangkangan seseorang. Akan tetapi, sebagai
bentuk upaya perbandingan antara manfaat dan mudharat hal ini masih patut untuk
kita perbincangkan. Tidak ada yang melarang prostitusi daring, seks bebas, dan
sejenisnya. Namun melihat fenomena apa saja dampak negatifnya, hal-hal semacam
ini ada baiknya kita hindari demi kesehatan tubuh dan kesehatan mental kita
sendiri. Gaya hidup adalah hak masing-masing setiap individu, ia bebas
mengekspresikan dirinya sendiri. Faktor eksistensi misalnya, agar dilihat
sebagai orang yang selalu cepat menerima informasi lifestyle.
Jika berurusan dengan kebermanfaatan dalam menjaga tubuh,
kita tidak hanya berbicara VA dan AS dengan vaginanya atau tidak hanya
berbicara R saja dengan penisnya. Tapi lebih daripada itu, kesehatan menjaga
tubuh dan diri sendiri adalah hal yang utama. Gaya hidup adalah kebebasan kita
untuk memilih selama kita tidak tertekan karenanya. Ada baiknya, kita memilih
mendedikasikan diri kita untuk masyarakat dan mengeksplor kemampuan agar menjadi
pribadi yang positif.
Penulis adalah mahasiswi Psikologi UNUSIA Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua