Potensi Manusia dan Siasat Kehidupan
NU Online · Selasa, 12 April 2016 | 19:07 WIB
Esai pekan lalu mengapresiasi penjelasan metapragmatik Saudara Dr Agus Sunyoto atas tuturan Kiai Said Aqil Siroj mengenai orang berjenggot dan “kebodohannya”. Kedua orang ini dengan caranya sendiri mengantarkan penulis khususnya, dan khalayak yang berkenan membacanya secara umum pada salah satu fakultas intelijensi manusia yang bernama “intuisi”. Tiga lainnya yakni mengindra, merasa, dan berpikir.
Selain itu, dalam esai lalu, penulis juga tiada enggan sama sekali mengapresiasi para mahasiswa UNU Indonesia saat mereka berdiskusi, bahkan saat menari dan berlatih bela diri Pagar Nusa. Seperti yang penulis tahu mereka yang disebut terakhir itu datang dari macam-macam latar belakang pendidikan Dasar/Menengah/Paket C, dan macam-macam pula penghasilan ekonomi keluarga. Macam-macam latar belakang pergaulan masyarakatnya dan macam-macam pula kebutuhan mereka.
Di antara mereka, di usianya yang masih remaja, pernah hidup sebatang kara tanpa suatu privelese/keistimewaan yang mudah dinikmati berkat turunan, jabatan, atau harta warisan nenek moyang. Mereka seperti terlempar begitu saja dalam dunia kehidupan yang brutal tanpa sedikit modal untuk disombongkan. Lalu lewat aneka aktivitas diskusi, menari dan bela diri, para mahasiswa ini sungguh-sungguh ingin melatih aneka potensi intelijensi dalam diri mereka di masa-masa transisi.
Seni menari yang ditampilkan mahasiswa adalah salah satu yang menarik perhatian penulis, selain juga seni bela diri. Ia demikian menarik perhatian lantaran bukan sekadar gerak ritmik, liukan tubuh dan keindahan tarian itu sendiri yang memang enak ditonton. Melainkan juga pengalaman diri pelaku dalam gerak tari dan bela diri itu sendiri, yang makna-makna simboliknya dapat dipahami orang lain berkat tangkapan mata jeli para peminat etnografi.
Dalam gerak tari dan seni bela diri, kata mereka, seluruh fakultas intelijensi manusia dihadirkan dalam satu kesatuan gerak tubuh. Pikiran, perasaan, imajinasi, dan indranya secara serentak didayafungsikan dan dieksplorasi dalam gerak tubuh untuk berkomunikasi sekaligus merespon objek-objek atau tantangan-tantangan “kehidupan” di sekitarnya. Karena itu dapat dikatakan bahwa dalam “praktik” tari atau bela diri yang nyata, tidak ada dualisme pikiran-tubuh Cartesian sebagaimana dikenal dalam sejarah filsafat Barat.
Melalui liukan tubuh, kelincahan kaki, tepisan tangan, sentilan lentik jari-jemari, dan sorotan-mata-tajam-penuh-kewaspadaan sambil pada saat yang sama ia tetap tersenyum manis namun dingin sebagaimana diperlihatkan oleh mahasiswi kita, penulis kembali diingatkan oleh catatan-catatan etnografi yang pernah dibacanya atau kisah-kisah yang diceritakan para kolega etnografer. Mereka menyaksikan betapa jitunya kemampuan para penari ronggeng dalam bersiasat dan berstrategi untuk menghadapi kenakalan dan keisengan lelaki hidung belang.
Sudah pastilah, kata kolega penulis itu, kemampuan para penari, para pelaku kehidupan, yang telah sedemikian matang itu diperoleh lewat pengalaman yang panjang dan pemahaman yang kaya atas kehidupan. Persis seperti mereka para mahasiswa atau manajer yang sudah terlatih dalam organisasi/jam‘iyyah sejak remaja, terlatih memimpin, terlatih berkomunikasi antarperorangan dan komunikasi antarkelompok orang atau kelompok kebudayaan.
Pengalaman sang penari ronggeng atau sang pendekar bela diri itu mungkin sebagian besar demikian pahit dan getir, berisi kegagalan-kegagalan masa lalu, godaan-godaan yang sulit didamaikan, juga pengalaman keberhasilan dalam mengelabui lawan atau satu-dua si hidung belang. Namun, segera kemudian semua itu lalu memberi pelajaran sekaligus membangkitkan kemampuan dan daya intelijensi sang penari untuk dapat mengantisipasi apa yang terjadi berikutnya di panggung pertunjukan masa kini dalam kehidupan. Ini fakultas intelijensi manusia bernama intuisi, “roso”, suatu jenis penalaran yang melampaui proses-proses rasional-logis.
Para ahli mengaitkan intuisi dengan daya kemampuan manusia dalam mengoneksikan titik-titik pengalaman (“connects the dots”) yang berasal dari aneka faktor yang berbeda konteks yang membentuk objek intuisi tersebut. Ia sering kali datang seperti hadirnya suatu pemahaman mendalam (insight) yang bersifat tiba-tiba yang menggerakkan emosi, perasaan. Sedemikian rupa ia sehingga membuat si penerima merasa benar-benar yakin terhadap kebenaran intuisi yang diperolehnya.
Dalam masyarakat kita, intuisi biasanya disebut “firasat” yang membuat seseorang sungguh-sungguh yakin harus melakukan “ini” dan bukan yang “itu”. Ia pun tak selalu dapat menjelaskan secara rasional-logis kenapa yang “ini” dan bukan yang “itu”. Oleh karenanya sebagian ahli menganggap macam-macam hal begini ini sebagai mitos, dongeng, takhayul belaka, dan sudah untung dia bila tidak disebut gila. Namun sebagian ahli lagi berpendapat bahwa intuisi berperan penting dalam proses penemuan ilmu pengetahuan.
Konon, ketajaman intuisi dapat dilatih, entah lewat jalan spiritual atau jalan meditasi, dengan menjalin hubungan akrab dengan Tuhan, diri, dan kehidupan. Mengingat tahu diri minimnya pengetahuan apalagi pengalaman penulis mengenai pokok yang terakhir ini, kiranya baik sekali bila pembaca atau kita sama-sama bertanya langsung kepada dua nama yang tertera pada paragraf pertama. [bersambung]
*MH Nurul Huda, Dosen UNU Indonesia di Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
4
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
5
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
6
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
Terkini
Lihat Semua