Opini

Politik Tak Manusiawi di Alam Demokrasi

NU Online  ·  Jumat, 4 Mei 2018 | 04:30 WIB

Oleh Mahbib Khoiron

Percakapan politik di media sosial belakangan betul-betul kian menjemukan. Gontok-gontokan warganet tak jauh dari sisa-sisa suasana pilgub DKI yang sudah lewat atau pemanasan jelang pilpres 2019. Masyarakat seolah terbelah hanya dua, lengkap dengan masing-masing tokoh yang diideolakan. Memuja setingkat dewa pada sosok tertentu beriringan dengan membenci setengah mati sosok lain di seberangnya.

Fenomena ini mengingatkan pada drama sinetron-sinetron di televisi, yakni ketika pemeran utama selalu digambarkan dalam satu sisi saja. Tokoh antagonis ditampilkan sebagai orang yang selalu jahat, sedangkan protagonis digambarkan sebagai orang yang selalu baik. Peluang keluar dari dikotomi kaku itu bisa dibilang hampir mustahil. Namanya juga sinetron. Keanehan-keanehan dianggap halal oleh perusahaan asal memuaskan selera konsumen, mendongkrak ratting, lalu berbuah pundi-pundi uang.

Realitas perdebatan politik kita pun nyaris demikian. Sebagian besar pendukung Jokowi selalu melihat mantan walikota Surakarta ini sebagai pemimpin ideal, setidaknya "yang terbaik di antara yang terburuk". Sikap seperti ini masih wajar. Namun menjadi keluar nalar ketika mereka sama sekali tidak pernah menyinggung celah kebijakan Jokowi selama beberapa tahun, seolah-olah seluruh kebijakan berlangsung sempurna, bahkan kalau perlu mencari-cari alasan atau pembenaran bila badai kritik datang kepadanya. 

Perilaku yang mirip dilakukan orang-orang di seberang Jokowi. Mereka menilai tiap yang dikerjakan pemerintah dalam kacamata yang senantiasa negatif, hanya pencitraan, atau tak jauh dari isu persekongkolan dengan aseng dan asing. Sebaliknya, kaum kontra-pemerintah mengeluk-elukkan dan memuji sosok yang mereka anggap sebagai pemimpin alternatif dan menjanjikan perubahan, dengan nyaris tanpa kritik.

Tentu saja tak semua orang yang terlibat pro-kontra pilihan politik bersikap demikian. Tetapi, mencermati riuhnya media sosial saat ini, gelagat menilai orang dalam sudut pandang hitam-putih sepertinya menenggelamkan sebagian orang yang masih adil dan proporsional dalam merespon keadaan. Media sosial kini disesaki perang hujatan. Saling menunggu kesalahan masing-masing, untuk kemudian menghujaninya dengan caci-maki beramai-ramai. Segala predikat yang baik-baik seolah-olah ada di pihaknya, sementara narasi “yang buruk-buruk” ada di pihak lawan. Di sinilah letak janggalnya memutlakkan label "penista agama", "boneka asing", "radikal", "perongrong Pancasila", dan sejenisnya kepada tokoh lawan politik berikut semua pendukungnya.

Malaikat versus Setan?

Politik tetaplah merupakan aktivitas manusiawi. Penjulukkan manusia sebagai zoon politicon oleh Aristoteles mengaskan premis ini. Politik merupakan campuran antara ikhtiar akal budi manusia dan pergulatan sosial. Sebagai usaha nalar yang manusiawi, ia tak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan. Karenanya, demokrasi menyediakan sistem yang mengandaikan bahwa “tak ada yang suci” dalam kekuasaan. Muncullah gagasan trias politika—eksekutif, yudikatif, legislatif—yang berdiri secara terpisah namun bergerak saling mengisi sekaligus mengontrol satu sama lain.

Nah, ketika warga mengguyur tokoh tertentu dengan puja-puji tanpa koreksi, sembari melaknat tanpa ampun tokoh lain yang jadi pesaing, maka sejatinya mereka tidak sedang berbicara tentang manusia. Yang terlihat adalah pertarungan malaikat dan setan, atau protagonis dan antagonis khas sinetron murahan. Politik menjadi tidak manusiawi. Di level para simpatisan, lahirlah dikotomi-dikotomi tajam semacam “cebongers versus bani daster”, “bani serbet versus bani kencing unta”, dan istilah-istilah lain dalam kamus kaum nyinyir yang sama sekali tidak membuat bangsa kita makin terdidik. Dari cara mereka menjuluki rival politik dengan nama binatang atau benda mati saja kita patut mencemaskan ancaman besar bangsa ini di kemudian hari. Jangan-jangan ucapan kotor itu timbul dari naluri buas ingin membasmi pihak lain yang memang sudah tidak mereka anggap manusia? 

Politik yang manusiawi mestinya berangkat dari kesadaran bahwa manusia tidak mungkin selalu benar, sebagaimana juga tidak mungkin selalu salah. Politik tetap harus dianggap sebagai sesuatu yang sangat kompleks. Tak hanya terkait dengan kepribadian figur, tapi juga sejarah sosial, karakter budaya masyarakat, hingga rimba politik yang sarat “binatang buas”. Bukankah siapa pun yang sukses duduk di kursi Istana juga bakal berhadapan dengan para predator ekonomi-politik warisan sistem perpolitikan lama?

Yang bisa calon konstituen pilpres 2019 lakukan sementara ini adalah mengadu visi-misi atau program masing-masing calon pemimpin idola. Seberapa masuk akal hal itu terealisasi, seberapa banyak maslahat yang ditimbulkan, dan seberapa kuat reputasi dan rekam jejak sang politisi. Perdebatan yang menjunjung tinggi akal budi akan lebih mencerdaskan publik ketimbang nyinyir dan ledekan yang makin mempertebal permusuhan, bahkan konflik sosial.

Dengan demikian, iklim pendidikan politik akan terjadi secara sungguh-sungguh. Warga menjadi melek politik, bukan sebatas melek soal politisi mana yang mesti dipuji dan mana yang dicaci. Kecerdasan politik pun makin terasah sebab warga memanfaatkan kebebasan berekspresinya di alam demokrasi ini untuk perang data, gagasan, dan argumentasi.  Demokrasi pun berkembang lebih sehat karena disesaki oleh kajian-kajian, diskursus ilmiah, atau paling tidak menjadi penonton atau pendengar yang baik. 

Saya percaya, masih banyak simpatisan politik yang setia menjaga kewarasannya. Hanya saja, keberadannya saat ini belum menjadi arus utama di media sosial lantaran tertimbun “buih limbah” yang jumlahnya jauh lebih besar. Padahal, bila suksesi kepemimpinan ditarungkan dalam diskursus rasional, warga tidak hanya menaikkan derajat politisi yang mereka dukung, tapi juga mengajak publik lain untuk semakin berpikir tentang masa depan mereka. Bukankah akal pikiran merupakan alasan utama manusia lebih mulia dari binatang? 


Penulis adalah alumni Madrasah Mu'allimin Islamiyah Pondok Pesantren at-Tanwir Sumberrejo, Bojonegoro.