Oleh Irfan Basri
Lima belas tahun sebelum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir, (17 April 1960), Surabaya menjadi arena perang besar menghadapi invasi Inggris. Hampir sebulan sebelumnya (22 oktober 1945) Resolusi Jihad NU berkumandang.
Harga Proklamasi 17 Agustus 1945 sungguh mahal. Surabaya membayarnya. Dari 140 ribu kaum bersenjata, kurang lebih 40 ribu orang meregang nyawa. Dan tentu saja kaum santri dan rakyat adalah korban utama perjuangan ini.
Surabaya telah menjadi kota revolusi. Tak tanggung-tanggung, yang dilawan adalah Inggris, sang pemenang Perang Dunia ke-2. Mereka berpikir Surabaya bisa digertak lewat bombardemen dan parade persenjataan modern. Rakyat Surabaya pewaris kejayaan Majapahit tak kenal gentar. Inggris tak akan pernah lupa pada kegigihan para patriot Surabaya.
PMII lahir di Surabaya. Di atas monumen perlawanan rakyat paling heroik. Dalam jiwa revolusi gegap-gempita. Seperti Sarekat Islam dan NU, PMII hadir sebagai 'kontinuum' dari ikhtiar besar menjaga martabat bangsa dalam pergaulan Dunia. Karena itu jiwa PMII adalah jiwa Revolusi!.
Dalam diri PMII tertanam gen dan watak Perang Surabaya. Patriotisme mutlak menjadi ruh, jiwa, dan nalar pergerakan PMII. Karena itu, mari lanjutkan episode Perang Surabaya dalam konteks kekinian.
Dunia masih dikuasai oleh gabungan nekolim multipolar. Bangsa Indonesia tak boleh lengah dan menyerah. PMII adalah patriot sekaligus perisai Indonesia. Ingatlah Perang Surabaya tidak sebagai upacara seremonial, tapi sebagai palagan perang rakyat terbesar dalam masa Indonesia Modern!
Dibawah naungan panji-panji Revolusi 1945, dalam gema Shalawat Badar, bangunlah wahai perisai Indonesia! Revolusi belum selesai. Perang Baru telah menunggu!
Dirgahayu, Merdeka!!!
Salam Soskaranusa!
Kotamobagu, Kamis, 10 November 2016
Irfan Basri, pengurus Lesbumi PBNU, alumnus PMII