Opini

PMII di Bawah Bayang-Bayang Pemodal

NU Online  ·  Senin, 4 April 2011 | 03:04 WIB

(Refleksi kongres PMII XVII)

Oleh Jamaluddin Mohammad


Menarik sekali membaca “NU dan PMII” yang ditulisan M Ajie Najmuddin soal bagaimana pentingnya menyelaraskan gerakan NU dan PMII dalam ranah kultural. Juga soal wacana pentingnya independensi PMII yang digulirkan A Effendi Choirie dalam “Gus Choi: PMII sebaiknya tetap independen” (NU Online, 30/03).

Memang, sepanjang sejarahnya, PMII tidak lepas dari konstelasi politik dan dinamikanya sendiri. Organisasi Islam yang sekarang sudah memiliki 220 lebih cabang di seluruh Indonesia ini memang memiliki akar sejarah yang panjang. Awalnya, sebagai anak kandung NU dari departemen IPNU (Ikatan Pelajar NU), PMII merupakan organisasi onderbouw NU yang didirikan oleh elit-elit terpelajar NU.
>
Hal ini bisa dipahami mengingat NU pada saat itu masih menjadi partai politik dan membutuhkan kader-kader muda terpelajar yang berasal dari kultur dan organisasi NU yang kelak akan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam partai maupun pemerintahan.

Namun, dalam Munas Munarjati 14 Juli 1972, PMII menyatakan diri terlepas dari NU. Sejak itu, PMII tidak lagi memiliki keterikatan dengan NU, meskipun secara nilai, kultur, maupun akidah tidak berbeda dengan NU. Independensi PMII ini dimaknai sebagai bentuk “kedewasaan organisasi” yang didirikan 17 April 1960 ini dalam menentukan orientasi dan cita-cita gerakan PMII.

Meskipun, sesungguhnya, PMII sampai hari ini masih “dibayang-bayangi” senior-seniornya yang terdiaspora ke dalam partai-partai politik, ormas, LSM, maupun pemerintahan. Sejauh masih bisa menjaga jarak dengan institusi-institusi tersebut, hal ini masih bisa dipahami sebagai bentuk interdependensi PMII.

PMII dalam cengkeraman “pemodal”

Namun, sekarang ini, independensi PMII dalam arti sesungguhnya patut dipertanyakan ulang. Hampir menjadi kebiasaan dalam pemilihan ketua umum PB PMII, selalu saja diwarnai keterlibatan “orang luar”. Pasalnya, meski secara organisatoris PMII tidak terikat dengan partai politik atau organisasi manapun, PMII selalu dibayang-bayangi para pemodal besar yang kelak bermain dan mengendalikan organisasi ekstrakampus ini.

Sejak dibukanya kran demokrasi liberal di Indonesia, biaya dan ongkos politik semakin mahal. Terlebih ketika tidak diimbangi oleh kesadaran politik dari para pelaku-pelakunya. Akibatnya, demokratisasi diciderai oleh praktik-praktik money politik yang semakin tumbuh subur dan terbuka lebar. Dan, celakanya, juga mempengaruhi pula terhadap pesta demokrasi PMII. Bayangkan, hanya untuk menjadi ketua umum PB PMII, seorang calon harus merogoh kocek ratusan juta bahkan miliaran rupiah.

Setidaknya, berdasarkan pengamatan saya, dalam setiap moment pergantian kepemimpinan PB PMII dalam tahun-tahun belakangan, sedikitnya selalu diwarnai oleh tiga persoalan mendasar.

Pertama,
intervensi dan hegemoni pemodal. Karena rata-rata semua calon secara ekonomi belum mapan, mereka akhirnya harus “ngamen” mencari “uang recehan” pada pengusaha atau politisi, bahkan menggadaikan diri (melacur) pada “bandar-bandar besar” yang siap menggelontorkan uang ratusan juta rupaih.

Bandar-bandar besar ini umumnya terdiri dari partai-partai politik yang diharapkan dapat melakukan investasi dan hegemoni politik bagi perjalanan PMII ke depan. Sehingga, sejatinya, yang terjadi di lapangan bukanlah pertarungan antar kandidat, melainkan pertarungan bandar-bandar besar yang berada di belakang para kandidat ini. terutama bagi partai politik yang berkuasa untuk mengamankan kekuasaannya.

Kedua,
politik patronase yang dimainkan senior-senior PMII terhadap kader-kader di bawahnya. Intervensi “senior” ini masih cukup kental mewarnai hampir di seluruh perhelatan perebutan kursi ketua umum PB PMII. Mereka menekan dan mengarahkan anak buahnya untuk menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan “selera” dan “kepentingan” seniornya. Celakanya, seringkali, para senior juga malah menjual dan melakukan transaksi suara bersama broker-broker dan bandar-bandar politik.

Jadi, sejak awal, seorang calon sudah melakukan “kontrak” dan “tawar menawar” politik dengan para pemodal atau broker politik yang mengusungnya. Sehingga, bisa dipastikan, arah dan perjalanan organisasi ini ke depan. Bahkan, terkadang, posisi politik PMII malah tidak jelas: sebagai oposisi atau bagian dari pemerintah.

Karena itu, tidak aneh apabila PMII sampai hari ini tidak dihitung dan tidak pernah diperhitungkan dalam pentas perpolitikan nasional. Sebab, sejak awal, PMII sudah dijinakkan mengikuti “selera” pemesannya. Di sinilah, secara ideologis, idealisme dan cita-cita PMII tergadaikan.

Dan ketiga, gagalnya kaderisasi yang dilakukan PMII di tingkat bawah. Sekarang ini, PMII “kesulitan” mencari kader-kader militan yang masih memegang kuat-kuat idealisme mereka. Dalam setiap pemilihan ketua umum, hampir semua pemilih yang terdiri dari ketua cabang di daerah-daerah, mudah sekali dibujuk, dipengaruhi dan diiming-imingi uang. Bagi mereka, siapapun calonnya, pasti akan dipilih asalkan mereka dapat uang.

Kalau saja ketiga hal di atas tidak segera dibongkar dan diakhiri, tampaknya sia-sia saja bagaimana merancang bangun pola dan gerakan PMII, sementara yang kita dapatkan hanyalah PMII yang corak dan warnanya sesuai “pemesannya”. Karena itu, jangan menyesal apabila PMII tidak bisa memberikan peran dan fungsi apa-apa di tengah tuntutan perbaikan dan perubahan bangsa ini. Salam pergerakan!

Penulis adalah aktivis PMII Ciputat dan peneliti Rumah Kitab (kitab kuning study center for society empowerment), Bekasi.