Opini

Pilpres 2014, Golongan Putih dan Hitam

NU Online  ·  Kamis, 10 Juli 2014 | 07:02 WIB

Ainur Rofiq Al-Amin

--George Jordac dalam karyanya The Voice of Human Justice mengutip ucapan Sahabat Ali bin Abi Tholib, “Di Mata Ali, pemerintahan dan kekuasaan yang tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia.”<>

Pemilu adalah ritual politik bangsa Indonesia, bahkan mayoritas bangsa-bangsa di dunia modern. Sebagai mekanisme yang demokratis, pemilu akan menjaring calon-calon (anggota dewan, bupati, walikota, gubernur, hingga presiden) yang akan mewakili rakyat untuk mengeksekusi aspirasi mereka. Absurdnya, wakil pilihan rakyat ini setelah menduduki poisisi yang diinginkan melalui mekanisme pemilu, terkadang  berbuat (walau tidak semua) yang sebaliknya; mulai dari malas ngantor, korupsi, maupun melakukan perbuatan-perbuatan amoral yang lain. Setali tiga uang,  beberapa pimpinan eksekutif setelah  menjabat alih-alih memenuhi janjinya saat kampanye, justeru tidak sedikit dari mereka yang malah berurusan dengan KPK.   

Inilah yang akhirnya melahirkan banyak fenomena  yang salah satu satunya  disebut oleh sebagian orang sebagai golongan putih. Golongan putih dianggap sebagai kelompok  yang tidak mau terlibat pemilu karena apatis dan sekeptis dengan calon yang bakal dipilih. Hal yang memprihatinkan, dalam kontestasi pemilu baik tingkat pemilukada maupun nasional, ada kecenderungan golongan putih ini “meraup” suara yang signifikan.

Hal yang perlu diklarifikasi, belum tentu ketidakterlibatan mereka yang disebut golongan putih dalam pemilu benar-benar disebabkan karena apatis dan skeptis seperti di atas--karena memang belum ada penelitian yang mendalam tentang hal tersebut. Bisa jadi kurangnya informasi akan nilai penting pemilu dalam membangun bangsa.  Atau mungkin ketidakterlibatan mereka karena kemalasan atau kesibukan,  malah tidak jarang sewaktu hari H  pemilu, digunakan oleh sebagian mereka yang punya hak suara untuk berwisata.

Selain fenomena  golongan putih, ada juga golongan hitam yang dinarasikan sebagai kelompok yang memanfaatkan pemilu untuk kepentingan diri maupun kelompoknya. Bisa jadi mereka adalah calon-calon wakil rakyat, orang-orang yang mau nyoblos bila dibayar, maupun makelar-makelar politik yang banyak meraih keuntungan dalam pemilu, entah karena bisnis pengerahan suara, hingga pengerahan massa, bahkan pengerahan media massa untuk  melakukan kampanye hitam. Sebagaimana golongan putih, golongan hitam ini juga mempunyai kecenderungan menguat saat pesta demokrasi terlebih menjelang pilpres seperti saat ini.

***

Tentu golongan putih dan golongan hitam tidak ada manfaatnya dalam pilpres, bahkan bisa menjadi “parasit” dalam  proses pemilihan  calon pemimpin. Lebih dari dari itu, sebenarnya dalam wacana ilmiah politik, penyebutan golongan putih dengan makna di atas adalah tidak relevan. Karena kita sudah sepakat, dan sudah menjadi postulat bahwa pemilu adalah mekanisme terbaik untuk menjaring wakil atau pemimpin rakyat. Kalau kemudian pihak yang tidak terlibat dalam pemilu dianggap sebagai golongan putih yang secara historis-sosiologis warna putih  berkonotasi baik, positif, dan bersih; tentu tidak berguna lagi postulasi di atas.

Justru saya tertarik dengan ucapan guru besar fiqih Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,  Ahmad Zahro, bahwa umat Islam wajib ikut pemilu, dan sesiapa yang tidak ikut nyoblos, mereka adalah golongan hitam, bukan golongan putih. Apalagi  Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun orang Islam terbesar seperti NU maupun Muhammadiyah menyerukan agar menyukseskan pemilu.        

Terlebih lagi dalam konteks pilpres 2014 ini, selain kita jumpai pemimpin dan wakil rakyat yang korup, namun masih ada harapan munculnya  calon presiden dan wakil presiden yang prospektif. Mereka siap melakukan kerja membangun Indonesia.

Adapun adanya organisasi Islam garis keras yang justeru menentang pemilu sekaligus menolak demokrasi, atau bahkan ada yang mau mengganti NKRI dengan khilafah, dengan berbagai  dalih yang dibungkus agama; tentu ini sudah keliru dalam mengkontekstualisasikan nilai-nilai agama dalam politik. Kelompok ini bisa dimasukkan dalam golongan abu-abu. Karena pada satu sisi, mereka mau tetap tinggal dan ber KTP NKRI dengan alasan Indonesia milik Allah— ucapan yang benar, tapi salah kaprah. Namun  pada sisi yang lain, mereka mengharamkan mekanisme demokrasi seperti pemilu, dan menolak  NKRI yang telah dirumuskan para pendiri bangsa termasuk para ulama.

Golongan abu-abu ini walaupun kecil, tapi mereka militan, maka sudah seharusnya ada regulasi yang jelas dan tegas untuk mengatasi mereka agar tidak menjadi patologi masyarakat. Mereka perlu disadarkan akan pentingnya keterlibatan dalam membangun bangsa yang bernama NKRI. Sungguh tepat pendapat Farhad Kazemi dalam buku bunga rampai yang berjudul Islamic Political Ethics bahwa dalam worldview  Islam, penting ditekankan adanya partisipasi penuh umat dalam kehidupan berbangsa menuju civil society.        

***

Menarik apa yang disampaikan oleh ketua PWNU Jawa Timur, KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah bahwa kita perlu menggunakan hak suara secara baik dan benar sesuai dengan nilai idealisme, kebangsaan, kenegaraan serta keagamaan agar tidak terjadi kesalahan pilihan yang hanya akan memperbesar “produk gagal” politik. Demikian juga apa yang disampaikan Din Syamsuddin bahwa pemimpin yang dipilih harus yang amanah, bersemangat solidarity maker, negarawan, dan punya komitmen moral yang tinggi.  

Tentu norma-norma di atas  semakin memperkokoh agar tidak terjadi apa yang disebut golongan putih, hitam, maupun abu-abu. Sudah saatnya kembali mencerna ucapan sayyidina Ali bahwa tujuan meraih kekuasaan politik tidak lain adalah meresonansi kebenaran, menyuarakan keadilan, pembelaan terhadap rakyat dan kaum tertindas, tidak membuat jarak dengan rakyat. Kekuasaan bukan untuk menjadi sumber kebanggaan yang berlebihan, sumber kesia-siaan, sumber keangkuhan, memupuk kebohongan terhadap publik dan terhadap Tuhan. Sehingga kekuasaan berubah menjadi monster berwajah buruk di muka bumi.

Akhirnya diharapkan dalam pilpres 9 Juli 2014 kemarin hanya ada satu golongan, yakni  golongan warna-warni dalam pilihan politik, dan semuanya mau terlibat untuk membangun NKRI lewat pemilu presiden. Hasil pilpres diharapkan bisa membawa hope besar dengan kerja yang besar pula untuk kebaikan rakyat.

 

Ainur Rofiq Al-Amin, Dosen Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, tinggal di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang