Opini

Piagam “Islam-Indonesia”; Solusi Perdebatan Islam Kekinian

NU Online  ·  Sabtu, 8 Desember 2007 | 05:20 WIB

Oleh; Aris Adi Leksono

Sudah menjadi hal yang wajar, situasi dan kondisi kehidupan sosial mahluk yang disebut manusia selalu mengalami perubahan, baik kecil atau besar, guna menuju keteraturan sosial yang dicita-citakan, baik keteraturan yang dicapai melaui analisis budaya, struktur sosial, maupun hubungan antar individu. Bisa jadi dinamisasi adalah sekenario Tuhan, untuk menjaga eksistensi mahluk-Nya yang paling sempurna, pengemban amanat “kekhalifahan” di muka bumi. (simak cerita perdebatan awal mula diciptakan manusia dalam Q.S Al-Baqoroh Ayar 30 - 34).

Jika menengok kondisi bangsa ini, sangat jelas bahwa paragraph di atas bukan hanya sekedar kata-kata belaka. Tetapi merupakan kondisi yang sekarang dialami negara Indonesia yang menuju pada proses kemajuan. Realita sosial bangsa ini mengalami goncangan yang luar biasa, baik kondisi sosial-budaya, ekonomi, politik, sistem kenegaraan, bahkan yang akhir-kahir ini menarik perhatian adalah fenomena interpretasi nilai-nilai keislaman, terutama hal-hal yang menyangkut peran Islam dalam menciptakan keteraturan kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia, atau sederhananya, bagaimana eksistensi nilai-nilai keislaman dalam penyeleng-garaan negara Indonesia.

<>

Berdebatan ke-islaman sekarang bukan hanya sekedar dikotomi yang dilakukan orde baru “Islam kanan atau Islam kiri”, tetapi sudah pada klaim “kami kelompok masyarakat islam ahlussunah wal-Jama’ah, jika konsep kami tidak digunakan, maka tunggu kehancuran negara (wathoniyah) ini”. Sebagian kelompok yang lain mengklaim “kelompok kami adalah Islam rahmatal lil ‘alamin, selalu mengahargai nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia”. Pastinya semuanya memiliki dasar masing-masing, bahkan bisa jadi ada skenario global dibalik semua itu.

Pada dasarnya kalau dilihat perdebatan itu memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan kehidupan bangsa Indonesia baldatun toyyibatun wa robbun ghofuur. Tetapi caranya dan momentumnya tidak tepat, di saat bangsa ini dalam usaha keluar dari krisis multidimensional, menuju kemandirian, membebaskan diri dari penjajahan neo-liberalisme, belenggu kapitalisme global, justru sebagian kelompok bersitegang tentang konsep kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak ada titik temunya. Malah yang terjadi “…..kullu hizbin bima ladaihim farihun”, apakah Islam mengajarkan itu?.

Bukan sekedar perdebatan konsep yang dibutuhkan masyarakat Indoensia, mayoritas beragama Islam, tetapi terwujudnya keteraturan sosial yang mensejahterahkan rakyat dan memajukan negara ini jauh lebih penting. Bangsa ini telah dijajah oleh syaiton yang terkutuk, yang tidak bisa diperkirakan jumlahnya, apa senjatanya, tetapi kekuatannya sangat dahsat dan berbahaya bagi keteraturan sosial bangsa Indonesia. Akibatnya seluruh aspek kehidupan bangsa menjadi kacau dan hancur, politik kotor yang diterapkan, kehidupan individual mulai menjamur, ekonomi kapital berkembang, bukan lagi ekonomi kerakyatan, budaya tiruan menjadi trand, hampir identitas bangsa sudah tidak dikenali.

Belajar dari sejarah terwujudnya keteraturan sosial masyarakat Perancis di abad 18 dan 19, yang dimotori teori bapak sosiologi, Aguste Comte (1844), ditandai dengan runtuhnya rezim Napoleon, gencar-gencarnya revolusi Perancis, kehidupan masyarakat yang individualis, maka di tengah kondisi masyarakat demikian, Comte mencetuskan teori “positivisme dan organisme”, semuanya berangkat dari yang disebutnya hukum tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positivistic. Ia menyatakan bahwa “keteraturan sosial itu dapat tercipta apabila didasari dengan akal budi yang selalu berfikir dinamis, berdasarkan situasi, kondisi, dan fakta empirik yang terjadi dilapangan, serta perubahan tidak akan terwujud apabila tidak dilakukan secara bersama-sama melalui pengabungan beberapa organ-organ”. Berangkat dari teori tersebut, Comte membuat konsep “humanisme”, sebagai sebuah alternatif yang lebih mengedepankan kebersamaan, saling menghargai dan mengasihi, gotong royong, meninggalkan tahayul, serta perdebatan yang tidak jelas maksudnya. Meskipun comte banyak menimbulkan pro kontra, tetapi konsepnya dapat mewujudkan “zaman pencerahan” yang harapkan masyarakat Perancis untuk mengatasi perdebatan dan ketidak teraturan sosial, serti yang terjadi pada masyarakat Indonesia sekarang ini. 

Berangkat dari perdebatan yang tidak akan ada titik temunya, dan tuntutan untuk menciptakan keteraturan sosial bangsa yang sudah tercabik-cabik oleh penjajah berkedok agama, investasi, diplomasi sandiwara, trand, dll., Umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia, tetapi akhir-akhir ini justru sering menjadi agen neo-lib, harus memiliki tanggung jawab lebih untuk segera mengakhiri perdebetan menuju Indonesia maju, mandiri, dan bermartabat. Masih banyak jalan untuk menuju “zaman pencerahan” di bumi pertiwi ini, Indonesia.

Bacaan tentang pemikiran comte dan proses pencerahan sosial masyarakat Perancis di abad 18 – 19, cukup memberikan gambaran tentang apa yang harus diperbuat oleh umat Islam Indonesia, yang sering terjebak dalam perdebatan “eksistensi golongan dan elite tertentu”, bukan mengedepandan mashlahatul ummah yang hari ini terjepit kemiskinan, pengangguran, ketergantungan, dan tidak percaya diri terhadap identitas budaya lokal masyarakat Indonesia. Kalua comte bisa membuat solusi alternatif (konsep humanisme) menuju keteraturan sosial, kenapa hari ini elit-elit Islam Indonesia tidak membuat altenatif tersebut, dengan format yang disepakati bersama, menuju Indonesia yang penuh cinta dan kemuliaan?.

Alternatif solusi perdebetan Islam Indonesia dapat diwujudkan dengan membuat konsensus yang dilahirkan melalui musyawarah antar elite yang selalu berdebat, jika Rasul SAW dengan “Piagam Madinah” bisa membuat peradaban baru bangsa arab, jika dulu dengan melihat kemajemukan bangsa Indonesia, “Piagam Djakarta” bisa tidak diformulasikan, kenapa hari ini elit Islam Indoensia tidak membuat konsensus? berupa “Piagam Islam-Indonesia” misalnya, yang didasari kesadaran bersama untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah neo-liberalisme, bukan atas dasar kepentingan golongan dan mempertahankan eksistensi elite. dalam piagam tersebut diatur secara porposional sistem penyelenggaraan negara, bagaimana kedudukan Islam dengan konsepnya sebagai salah satu entitas bangsa, penghargaan budaya dan kemajemukan bangsa Indonesia, dan memuat konsep mewujudkan bangsa negara Indoensia yang maju, mandiri, dan mulia atas dasat kebesamaan, gotong royong, dan dinamis, bukan perdebatan yang tidak ada ujungnya. Wallahu ‘alam