Opini

Pesantren sebagai Subkultur Pendidikan

NU Online  ·  Selasa, 4 Desember 2012 | 11:22 WIB

Oleh Ahmad Muttaqin 


Pesantren diibaratkan kotak ajaib, yang selalu mengundang siapa saja untuk melihat dan menelitinya. Semua unsur kalangan, mulai dari peneliti, pembicara, politisi, calon kepala daerah semua seakan tersengat magnetnya. Di musim pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada), pesantren bak primadona yang selalu disambangi. Kiai dan santri kebanjiran order dari beberapa calon untuk bisa mendukungnya.    <>

Secara historis, pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang silam, mulai dari Aceh, pesisir Pantura sampai Demak yang dibawa oleh para wali sekitar 500 tahun yang lalu, hampir merata diseluruh lapisan masyarakat muslim Nusantara. 

Peran multifungsi pesantren di Indonesia sudah dimulai sejak perang melawan penjajah di era kolonialisme hingga menjadi penyumbang pemikiran perubahan dalam membangun bangsa di era globalisasi. Tidak seorang pun di Indonesia ini yang dapat menolak sebuah kenyataan bahwa pesantren adalah lembaga Islam yang banyak mempunyai jasa pada bangsa ini, sejak pertama masuknya Islam di Nusantara yang konon dalam sejarah dibawa oleh pedagang Gujarat dan Persia. 

Kehadiran para wali yang kemudian mendirikan pesantren telah merubah kultur wilayah Nusantara yang Hinduistik menjadi muslim. Perkembangan Islam lebih jauh dilanjutkan oleh para ulama yang juga mengajar dan mendirikan pesantren. Pesantren hadir dan masuk ke dalam sebuah kultur masyarakat tanpa ia sendiri kehilangan identitas dan wataknya yang khas. 

Para ulama penyebar Islam pertama yang dikenal Walisongo dalam mengenalkan Islam terkenal sangat toleran dengan pendekatan kearifan lokal yang telah mentradisi dalam masyarakat. Berkat pendekatan dengan beragam budaya lokal tersebut bumi Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Pesantren sejak awal kelahirannya telah menjadikan pendidikan sebagai sumber kehidupan. Pembentukan kepribadian yang berkarakter muslim yang dilakukan oleh pesantren justru hampir seluruhnya terjadi di luar ruang belajar. Pesantren sebagai pendidikan berkarakter sudah ada sejak didirikannya, karakter pendidikan akhlak, kebersamaan, dan saling menghargai perbedaan dengan adanya diskusi-diskusi bahtsul masail, musyawarah dan halaqoh. 

Sebagai bagian dari masyarakat global, pesantren dewasa ini tengah berada dalam pergumulan yang sangat ketat dengan kebudayaan modern dan kompleksitas kehidupan. Modernisasi telah merubah kemapanan-kemapanan tradisional hampir dalam seluruh dimensinya. Perubahan tersebut tidak saja menyangkut praktik-praktik pragmatis kehidupan melainkan juga menyentuh dimensi yang lebih dalam dan luas, yaitu sistem nilai, visi dan pandangan atas kehidupan itu sendiri. Keadaan ini, tak pelak, menyebabkan pesantren tengah berada dalam dua kutub yang berdegup. 

Pesantren berada dalam suasana kritis dan ambivalen. Di satu sisi ia ingin tetap eksis dengan ketradisionalannya, tetapi di pihak lain ia disergap oleh realitas modernitas dari berbagai arahnya secara tak terelakkan. Harus diakui memang bahwa dalam kurun waktu yang relatif panjang, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan segala tradisinya yang unik, telah mampu memberikan warna kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada lapisan bawah di pedesaan-pedesaan. Ia relatif telah berhasil melakukan transformasi kultural yang sangat berarti. 

Selama masa kolonial Belanda, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan rakyat. Lembaga ini ‘dipandang sebelah mata’ oleh pemerintah kolonial Belanda karena mereka beranggapan bahwa pesantren memiliki sistem pendidikan yang ‘buruk’ ditinjau dari tujuan, metode, yang digunakan sehingga, lembaga ini tidak dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Bagi mereka, tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, tidak menggunakan metode yang jelas, dan bahasa yang digunakan bukan bahasa latin. Itulah sebabnya, orientasi yang diarahkan pada sekolah umum adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam kehidupan duniawi (pendidikan jasmani) saja, sedangkan orientasi pesantren adalah mengarah pada pembinaan moral dan kehidupan ukhrawi (pendidikan rohani). 

Dalam posisi terpisah seperti inilah pesantren terus mengembangkan dirinya dan menjadi tumpuan pendidikan bagi umat Islam di pelosok-pelosok pedesaan sampai pada masa revolusi kemerdekaan. Pada masa penjajahan, pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam perang melawan Belanda. Banyak santri membentuk barisan Hizbullah yang menjadi salah satu cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada masa ini pesantren merupakan tempat belajar yang sangat diminati oleh berbagai macam kalangan umat muslim. Namun, seiring perubahan yang semakin cepat sejak Indonesia merdeka dan kehidupan sosial umat Islam Indonesia juga mengalami perubahan dari masyarakat pedesaan yang agraris ke masyarakat perkotaan industri dan perdagangan, mengakibatkan pula perubahan dalam model-model pendidikan Islam.

Mencetak ulama Intelek

Belakangan terdapat trend baru dalam masyarakat muslim modern untuk menjadikan pesantren sebagai model bagi sistem pendidikannya dewasa ini, paling tidak mengadopsi sejumlah hal yang positif dan relevan. Satu hal yang penulis kira menarik adalah kenyataan bagaimana pesantren bisa mendidik dan memajukan santri dalam khazanah keislaman, atau setidaknya mencetak ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Kebanggaan dan menjadi tanggung jawab penulis dalam mengembangkan amanat ini adalah dengan dipercaya mengelola program beasiswa studi S2 Pendidikan Kader Ulama (PKU) konsentrasi Ushul Fiqh pada Ma’had Aly al-Hikamus Salafiyah Cirebon. Bangga bukan untuk diri penulis, tapi adanya apresiasi dari Kementerian Agama dibawah Program Ditpdpontren untuk memajukan wacana dan keilmuan santri dan ustadz pada bidang kajian kitab dan akademis, tidak hanya itu teman-teman santri dan ustadz pesantren mampu belajar pada jenjang yang lebih tinggi (pasca sarjana). 

Visi dan kompetensi lulusan pesantren akan tercapai secara ideal, mana kala dalam penyelenggaraan pendidikan memadukan antara sistem perguruan tinggi dan pondok pesantren. Sekitar 302 orang yang mengikuti seleksi ini, dari berbagai pesantren yang ada di Indonesia, namun yang diberikan kesempatan hanya 25 orang untuk bisa belajar.

Penyelenggaaran program beasiswa studi (S2) Pendidikan Kader Ulama Konsentrasi Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu Agama Islam, dengan kualifikasi dapat menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang falsafah hukum Islam secara komprehensif, integral dan terpadu dengan basis khazanah ilmu fiqh klasik; mampu melakukan penelitian pemikiran dan realita sosial keagamaan dalam rangka pengembangan dan penyelesaian problem-problem umat Islam kekinian; mampu merumuskan konsep-konsep dan paradigma penggalian dasar-dasar pemikiran keagamaan dan Hukum Islam dalam menghadapi dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik; mampu merumuskan implementasi nilai-nilai dasar agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara baik dengan bahasa ibu maupun bahasa international; memiliki hafalan yang kokoh atas ayat-ayat al-Qur'an terutama yang berkaitan dengan pemikiran dan praksis sosial keagamaan. 

Program Kompetisi tersebut, diharapkan lulusan dari pesantren siap mengemban tugas atau berprofesi sebagai; tenaga edukatif pada pesantren dan perguruan tinggi yang berbasis pesantren atau Ma'had Aly; tenaga peneliti dan pengembangan Ilmu Agama Islam dalam rangka menjawab problem umat di Indonesia; penulis handal yang dengan bekal keilmuan yang mumpuni mampu mencurahkan ide, buah pikiran dan konsep melalui tulisan baik dengan bahasa Indonesia maupun bahasa asing; para santri juga diarahkan pada penerjemahan kitab klasik, gambarannya apabila ada 25 peserta Program Kader Ulama (PKU) maka akan ada 25 hasil terjemah kitab klasik yang akan menambah referensi tidak hanya pada kalangan pesantren saja, tapi menambah referensi untuk perguruan tinggi di Indonesia. Maka sudah saatnya pesantren tidak lagi dipandang sebelah mata, dan label sebagai sarang terorisme akan hilang dengan sendirinya, karena pesantren sebagai lembaga yang tumbuh dari kultur dan kearifan lokal untuk membangun peradaban Bangsa memang benar-benar nyata


* Penulis adalah Kepala Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun Cirebon, Dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon & Sekertaris Program Pendidikan Kader Ulama (PKU) Ma’had Aly al hikamus Salafiyah (MMHS) Babakan Ciwaringin Cirebon