Oleh H. Usep Romli HM
DULU, pesantren yang hanya mengajarkan kitab-kitab klasik -disebut "kitab kuning"- disebut sebagai "pesantren tradisional", sekarang disebut "pesantren salafiyah". Mungkin agar lebih mentereng,
mengikuti kemajuan zaman.
<>Maka tentu saja, era "tradisional" jauh berbeda dengan era "
salafiyah". Santri-santri pesantren tradisional kurun waktu 20-40 tahun yang
lalu benar-benar tradisional. Berpenampilan khas: sarung, kampret, dan
kopiah beludru hitam. Tidak ada yang coba-coba pakai kopiah putih alias
kopiah haji, atau kopiah model dan potongan lain di luar kopiah beludru
hitam seperti aneka model tutup kepala warna-warni yang banyak dipakai
santri zaman sekarang. Kopiah putih merupakan ciri bagi yang sudah
menunaikan ibadah haji. Kopiah di luar model serta warna beludru hitam
dianggap bukan kopiah santri.
Santri sekarang menamakan tempat tinggal mereka asrama. Kamar
dilengkapi tempat tidur, berkasur, dan berbantal empuk. Santri zaman dulu,
tinggal di kobong. Petak-petak kamar kecil yang merupakan bagian dari
bangunan pondok. Alat tidurnya hanya sehelai tikar pandan. Jarang pakai
bantal. Waktu tidur, kepala sering tanpa ganjal.
Kebutuhan makan harus masak sendiri, sebelum atau seusai
mengaji. Di bagian samping pondok, biasanya disediakan sebuah tempat semacam
dapur yang lazim disebut "tungku".
Alat memasak cukup sebuah kastrol sehingga menuntut ilmu di
pesantren sering diguyonkan menjadi "kastrologi". Sebab menanak nasi liwet
di dalam kastrol merupakan keahlian tersendiri para santri. Lauknya cukup
(kalau ada) sepotong ikan peda beureum. Tak pernah digoreng (karena tak ada
minyak kelapa) atau dibakar (takut gosong). Cukup dimasukkan ke atas nasi
liwet yang airnya baru surut. Oleh karena itu, menanak nasi liwet di
pesantren sering dijuluki elmu sabuku curuk ditumpangan peda beureum.
Keahlian lain dalam hal urusan perliwetan ini, para santri mampu
membuat kerak tsani. Kerak dua lapis, atas dan bawah. Ini dilakukan apabila
persediaan beras sudah amat menipis, sedangkan kiriman dari orang tua belum
datang. Perut diisi kerak cukup tahan lama menghadapi lapar. Keripik
singkong atau jarangking yang juga keras-keras mirip kerak, biasa menjadi
bekal cadangan para santri karena punya kemampuan mengenyangkan perut.
Santri abad Milenium tentu akan tertawa geli mendengar informasi
semacam itu. Mereka beruntung menjadi santri "salafiyah" yang sudah mengenal
makanan ransuman, indekos atau beli sendiri. Di saku mereka tersedia kartu
ATM yang dapat digunakan setiap saat, apabila kiriman bekal dari rumah
terlambat. Santri "tradisional" 20-40 tahun yang lalu, boro-boro punya ATM.
Uang recehan di saku juga jarang ada.
Adrahi
Rasa kebersamaan dalam keprihatin di lingkungan pesantren
tradisional benar-benar terjalin kuat. Prinsip ta-awanu alal birri wat taqwa
(kerja sama dalam kebajikan dan takwa) yang merupakan perintah Allah SWT
(Q.S. al Maidah: 2), benar-benar ditaati dan dilaksanakan sehari-hari.
Santri-santri senior, tanpa harus diminta, siap membantu santri-santri
junior. Mereka sigap membantu memperkenalkan cara-cara hidup di pesantren.
Mulai dari memasak, makan, hingga membaca kitab kuning, tanpa melalui
formalitas semacam perpeloncoan atau masa orientasi studi. Semua berjalan
otomatis. Saling bantu membantu, saling memberi motivasi.
Bahkan, praktik makan pun tak terlepas dari rasa kebersamaan.
Empat atau lima santri menggabungkan beras untuk ditanak pada satu kastrol.
Setelah masak dimakan secara berjamaah. Nasi liwet dihamparkan di atas niru
atau daun pisang. Memang ada untung rugi. Santri yang gembul akan menyita
bagian santri yang caman-cemen. Namun Alhamdulillah, semua santri pesantren
tradisional, tak pernah kehilangan nafsu makan. Rata-rata semua gembul,
walaupun lauk nasi cuma ikan peda, cabai rawit, atau garam. Tak pernah
tersisa remah sebutir pun di atas niru atau daun pisang bekas alas nasi.
Sebulan sekali, tiap santri mendapat kesempatan pulang ke rumah
masing-masing, bergiliran. Secara tidak langsung, santri yang pulang
mempunyai kewajiban membawa adrahi (oleh-oleh) jika kembali lagi ke
pesantren. Santri yang tidak membawa adrahi akan mendapat gelar qorun alias
kikir. Suka disindir cap jahe atau buntut kasiran. Sindiran yang menunjukkan
sikap pelit dan tidak mau berbagi.
Adrahi para santri, biasanya dikumpulkan di atas niru. Satu dua
niru penuh aneka macam makanan, yang asin yang manis, yang kering yang
basah. Opak kolontong, ulen, ranginang, sale pisang, goreng jarangking, tape
singkong, bugis, rebus ubi jalar, dan taburan sarundeng, saling campur-baur
satu sama lain. Tidak masalah. Yang penting halal dan enak. Perut santri
sangat mudah berkoalisi dengan makanan apa pun.
Rendah Diri
Waktu itu, jarang santri yang merangkap sambil sekolah sebab pondok pesantren masih benar-benar mandiri. Bukan lembaga pendidikan alternatif seperti sekarang. Menjadi santri atau siswa sekolah adalah pilihan pasti. Salah satunya harus dijalani penuh.
Tak heran jika terjadi gap antara pesantren dan sekolah, antara
santri dan pelajar. Banyak santri yang merasa rendah diri jika harus pergi
ke tengah kota. Sebaliknya, tak jarang anak-anak sekolah ngajago di kawasan
pesantren. Kasus semacam ini, sangat plastis dan realistis dikisahkan oleh
Rachmatullah Ading Affandi (RAF) dalam bukunya Dongeng Enteng ti Pasantren.
Pengalaman Kang Ading (panggilan akrab RAF) pada buku itu
terjadi tahun 1940-an. Zaman Jepang, tapi masih relevan dengan kondisi dua
puluh tahun kemudian (tahun 1960-an) tatkala penulis menjadi santri sebuah
pesantren tradisional di Garut.
Untuk menghapus rasa rendah diri di kalangan santri, biasanya
dicarikan kompensasi, pelampiasan. Para santri meyakinkan diri masing-masing
bahwa eksistensi mereka tidak kalah oleh eksistensi para pelajar. Bahkan,
punya banyak kelebihan. Para santri memperlajari ilmu-ilmu dunya wal
akhirat, para pelajar cuma memperlajari ilmu-ilmu dunia saja.
Memang tidak salah. Selain mempelajari ilmu-ilmu syariat (hukum
Islam) atau fikih, menghapal wirid, doa, dan ilmu-ilmu ukhrowi lainnya, para
santri terjun pula ke bidang-bidang kegiatan duniawi.
Ada yang ikut membantu kiyai memelihara ikan sambil belajar tata
cara mijahkeun (menetaskan telur ikan). Ada yang memelihara kebun tomat,
cabai, dan sayuran. Ada juga yang menjadi tukang cukur dengan mayoritas
langganan para santri, keluarga kyai, dan masyarakat sekitar. Semua
aktivitas itu dilakukan sebelum dan seusai ngaji, atau pada waktu libur
(biasanya hari Kamis dan Jumat). Semua merupakan sambilan saja sebab yang
diutamakan adalah bekal akhirat. Urusan dunia hanya sekedar jangan lupa
saja. Berpedoman kepada firman Allah SWT, Q.S. al Qashash ayat 77 : Wabtagi
fima atakallahud daral akhirata wa la tansa nasibaka minad dunya. Dan sabda
Kangjeng Nabi Muhammad saw.: I'mal li dunyaka ka annaka ta'isyu abada wa mal
li akhiratika ka annaka tamutu ghadda. Carilah kebutuhan duniamu seperti
kamu akan hidup abadi, dan carilah kebutuhan akhiratmu seperti kamu akan
mati besok.
Karena merasa tamutu gadha (akan mati besok), dan perjalanan di
akhirat amat panjang maka mencari bekal ukhrowi menjadi prioritas utama.
Hidup di dunia, amat fana cukup sambilan saja.
Terpadu
Memasuki tahun 1970-an, kondisi mulai berubah. Antara pesantren
dan lembaga pendidikan umum, berangsur-angsur berkolerasi. Bahkan, kemudian
menyatu sama sekali. Sekarang, tiap pesantren rata-rata merupakan gabungan
dari pendidikan salafiyah (kajian kitab kuning) dan madrasah (sekolah
berorientasi umum). Santri-siswa dipadukan dalam kesatuan yang utuh dan
harmonis. Santri tidak lagi rendah diri berhadapan dengan siswa dan siswa
tidak lagi menyombongkan diri di hadapan para santri.
Bahkan, banyak sekali santri melanjutkan ke perguruan tinggi.
Bukan hanya menempuh strata I, melainkan ke jenjang S-2 dan S-3. Para
mahasiswa yang belum mengenal dunia pesantren, diprogramkan masuk pesantren
sesudah menyelesaikan studinya, sebagaimana ditradisikan di Universitas
Islam Bandung (Unisba), sejak beberapa tahun lalu.
Santri sarungan yang ahli dalam ngaliwet sabuku curuk
ditumpangan peda beureum dan memproduksi kerak tsani, mungkin hanya tinggal
kenangan. Juga adrahi yang menjadi trade mark santri tahun 1960-an ke
belakang. Kini para santri sudah mengantongi ATM, sudah menggenggam HP.
Kalau dulu, santri "nasrif" dan "ngerab" -tradisi menghapal ilmu
Sharaf-Nahwu- sambil mengangsur kayu bakar di tungku, santri sekarang
bepantalon dan berdasi model mutakhir, sambil main game di komputer
berprosesor Pentium IV. Ikut menerjuni kemajuan zaman dengan bekal keilmuan
yang diperolehnya di pesantren dan lembaga pendidikan umum. Akan tetapi,
tetap memegang prinsip: Idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan
tufsid. Jika tidak mampu menjadi garam yang melezatkan, janganlah menjadi
lalat yang menjijikkan.
Memang, para santri yang mengemban ilmu dunawi dan ukhrowi harus
jadi garam yang melezatkan masakan. Bermanfaat bagi kehidupan nyata di
masyarakat. Jika tidak, lebih baik menyingkir dulu, membenahi dan menambah
bekal ilmu, daripada menjadi lalat yang merusak hidangan dan kesehatan.
H. USEP ROMLI H.M, Lahir di Limbangan, Garut, Jawa Barat, 1949. Pendidikan: pondok pesantren (1959-1067), SPGN Garut (1964-1966), IKIP Bandung Jrs.Pendidikan Bahasa Arab (1983-84), IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, Fak.Adab Jrs.Sastra Arab (1986).
Pengalaman kerja: PNS Guru SD (1966 -1984), Kepala Seksi Pengembangan Bahasa Daerah SD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov.Jabar (1984). Mengundurkan diri tanpa meminta pensiun. Wartawan SK Harian Pikiran Rakyat Bandung (1984-2004). Pembimbing Ibadah Haji dan Umroh “Megacitra” Bandung, th.1996 s/d sekarang.
Pengalaman organisasi: aktivis IPNU/GP Ansor/Banser (1964-1973), aktivis “akar rumput” Partai Persatuan Pembangunan (PPP), th.1973-1997. Penasihat Lajnah Ta’lif wan Nasr PWNU Jabar (1996-2001), Anggota pengurus DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jabar (1998-1999). Ketua Seksi Pendidikan dan Latihan PWI Cab.Jabar (1998-2002).
Sebagai wartawan, pernah melakukan tugas jurnalistik di Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Terutama kawasan Timur Tengah. Sekarang sebagai penulis lepas dan pengelola Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Raksa Sarakan di Desa Majasari, Kec.Cibiuk, Kab.Garut yang bergerak di bidang advokasi petani, beasiswa, anak asuh dan kelestarian lingkungan hidup.
Usep menulis sajak dan cerpen dimuat di Kalawarta Kujang, Mangle, Hanjuang, Gondewa, Galura, dll. Sebagai seorang santri, karya-karya Usep sangat kental dengan pesantren, diantaranya Bentang Pasantren (bintang Pesantren, novel, 1983), Cuerik Santri (Tangis Santri, kumpulan Cerpen, 1985) Jiad Ajengan, (Jampi-jampi Kiai, cerpen, 1991), Percikan Hikmah (kumpulan anekdot Islam, 1999), dll.
Usep pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Mangle (1977), Hadiah Penulisan Buku Depdikbud (1977), Piagam Wisata Budaya Diparda Jabar (1982) serta Hadiah Sastra LBSS (1995).
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua