Opini MEDITASI HIDUP KESEHARIAN (5)

Pesan Abadi dalam Falsafah Hidup

Ahad, 1 Mei 2016 | 19:04 WIB

Oleh Mh Nurul Huda
Empat hari lalu, umat muslim tanah air dilanda duka mendalam. Kiai Ali Mustafa Ya’qub, Allahu yarhamuhu, mantan Imam Besar Masjid Istiqlal itu meninggalkan kita. Yang Ilahi Robbi memanggilnya.

Jauh sebelum dirinya Imam Besar, Kiai Mustafa termasuk salah seorang pakar ilmu hadist yang utama. Ia mengasuh sebuah pesantren di Ciputat, yang diberinya nama Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darussunnah. Berkat kepakaran dan kealimannya, banyak orang belajar-mengaji kepadanya. Penulis sendiri bukanlah anak murid langsung dari sosok kiai kita ini, sehingga sedikitlah yang dapat ia ceritakan. Berbeda halnya dengan para santri yakni para sahabat yang kepada salah satu di antara mereka, Penulis pernah menyatakan kekaguman terhadap pandangan guru mereka.

Kita masih ingat, betapa lugasnya Kiai Mustafa mengkritik perilaku sebagian besar muslim yang memaksakan diri pergi haji dan umroh berulang-kali. Mereka seolah-olah kehilangan daya sensitivitas sosial di tengah mayoritas sekelilingnya yang hidup dalam nestapa. Kaum kaya ini seperti didera kemerosotan kearifan dalam bela rasa mereka pada kalangan sesama. Padahal, menurut kiai kita ini, dalam situasi nestapa sosial pesan terakhir itulah yang paling berharga dan mendasar yang diajarkan agama-agama dan para Rasulnya.

Kiai Mustafa tak berhenti di situ. Ia lebih jauh memeriksa kedirian komunitas muslim–di mana ia sendiri bertaut erat--yang takluk tanpa ampun diterpa oleh dominan budaya materialisme. Budaya ini, di zaman kita sekarang ini disebut “konsumerisme”—suatu kosakata yang dimaksudkan sebagai hasrat memuaskan diri secara ekslusif, menggebu-gebu dan bersifat duniawiah atas komoditi (material maupun non-material), yang berhasil menginkorporasi praktik ibadah yang bersifat sakral. Lalu, Kiai Mustafa pun lugas mengatakan bahwa haji dan umroh yang dijalankan berkali-kali dalam relasinya dengan budaya konsumerisme itu adalah perangkap “haji pengabdi setan”.

Begitu menohok rasanya ungkapan itu di telinga para pendengarnya. Tapi, secepatnya, bila kita pikir dalam-dalam, ia sebetulnya dapat menjadi obat mujarab buat tubuh sosial kita yang mungkin sedang mengalami demam akibat cuaca zaman. Kiai Mustafa dengan caranya sendiri mengingatkan kita agar kembali kepada kearifan-kearifan yang sifatnya mendasar dalam agama juga dalam falsafah hidup bersama. Entah kearifan itu ditimba dari sistem pengetahuan sendiri atau yang diambil dari sistem pengetahuan dunia yang lain, sistem-sistem pengetahuan yang berdiri sejajar dan bersifat “pluri-versal” itu menyadarkan kita, dan penulis sendiri khususnya, kepada perangkap-perangkap baru yang mungkin tak terkenali atau tak selalu disadari dalam kabut budaya sehari-hari.

Kearifan untuk memeriksa diri, umpamanya seruan Kiai Mustafa untuk menghindari “haji pengabdi setan”, betapa pun klasik ia asal-usulnya rupanya tidaklah selalu ketinggalan zaman. Dalam praktik hidup, ia sungguh-sungguh masih amat relevan dan memberikan sumbangan. Ambil contoh lain Kiai Abdurrahman Wahid, ia merasa perlu memeriksa dirinya sendiri setelah dibentuk oleh aneka informasi pengetahuan dan lika-liku pengalaman hidup, sebelum akhirnya ia mengakui posisi dan corak kosmopolitan dalam pemikiran dan tindakannya. Juga Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962), yang merasa perlu “bunuh diri kelas” lebih dahulu agar dapat menginterogasi diri, sebelum akhirnya menemukan falsafah hidupnya.

Di belahan dunia yang lain, di luar tanah Nusantara, nan jauh berabad-abad silam, Sokrates yang hidup kira-kira 2400 tahun lalu di Kota Athena, Yunani juga menjalankan praktik serupa. Bagi bapak filsafat Barat ini, sebagaimana dikisahkan oleh salah seorang muridnya bernama Plato, falsafah adalah suatu laku, jalan hidup (a way of life) dalam pencarian kearifan dan kebenaran. Ini ditempuhnya terutama lewat interogasi diri sendiri, sambil belajar terus-menerus via interogasi terhadap pandangan-pandangan lain yang mungkin berbeda.

Pada zamannya Sokrates menolak modus yang sudah umum waktu itu di mana kemampuan berkata-kata dan menggiring opini diperdagangkan demi uang, jabatan atau prestise sosial. Lalu, ia pilih jalan lain berfilsafat di bawah inspirasi mantra yang terpahat pada kuil Apollo di Delphi yang berbunyi: “Kenalilah dirimu sendiri” dan “Jangan berlebih-lebihan”. Begitu rawannya godaan pada masanya yang datang dari segala penjuru, disiplin tubuh menjadi bagian tak terpisahkan dari falsafah hidupnya itu.

Sepengetahuan penulis, para pakar filsafat Yunani klasik berbeda-beda pendapat apakah mantra atau diktum di atas berasal dari firman Tuhan, ataukah dari mulut seorang bijak sendiri yang pernah hidup sebelum masanya lalu menjadi folklor, ataukah (keluar dari mulut sinikal orang yang menganggap) hanya igauan orang tolol belaka. Salah satu keterangan yang bisa kita dapatkan adalah bahwa Sokrates menolak keras disebut oleh seorang peramal, sebagai satu-satunya orang yang paling bijak di bumi. Sebab, baginya, masih ada Yang Maha Bijak yang berada di sana.

Sokrates, seperti halnya orang-orang beda zaman yang disebut dalam esai ini dan juga para pembaca secara umum, mungkin saja bukan orang yang paling bijak. Tetapi, mereka sungguh-sungguh amat mencintai kebenaran dan kebijaksanaan hidup baik dalam pikiran maupun dalam tindakan.

Kearifan itu nyata ada di Timur maupun di Barat, di Selatan maupun di Utara. Soal ada suatu masa dalam sejarah umat manusia di mana penjungkirbalikan ekstrem terjadi secara ekspansif, menular, dan diwariskan adalah perkara yang lain. Bersama pembaca, penulis turut meyakini bahwa kearifan-kearifan spiritual disertai sikap rasional kini semakin dibutuhkan, ketika gelapnya tragedi kerap mendahului refleksi. (bersambung)


*) Mh Nurul Huda, pengajar di UNU Indonesia, Jakarta.