Opini

Perut itu Pusing, Kepala itu Mules

NU Online  ·  Senin, 13 November 2017 | 10:30 WIB

Perut itu Pusing, Kepala itu Mules

Ilustrasi (kompas).

Oleh Aswab Mahasin

Membaca judul di atas mungkin sebagian dari Anda akan protes: “itu terbalik, itu terbalik, itu terbalik”. Memang terbalik, judul tersebut representasi dari fenomena dunia yang terbalik. Tidak sedikit kejadian di sekitar kita sudah tidak sesuai dengan fungsinya. Bukan hal aneh, sekarang kita telah memasuki era di mana fungsi tidak lagi penting, yang terpenting adalah tampilan, kemasan, dan bungkus. Dan banyak orang tidak menyadari, hakikatnya perut itu tidak pernah pusing, dan kepala tidak pernah mules—karena nilai muasalnya sudah disepakati. Namun, kita menabrak norma itu sebagai dalih masa kini.

Dunia sudah terbalik, dahulu pernikahan sejenis dianggap tabu dan tidak wajar, tapi sekarang tidak sedikit dari kita merestui bahkan mengizinkan pernikahan sejenis itu terjadi, banyak juga yang mengusulkan agar itu dilegalkan. Dahulu, pacaran dengan bermesra-mesraan di depan umum adalah perilaku menyimpang, namun kids zaman now sudah tanpa tedeng aling-aling melakukan itu.

Dulu, kualifikasi pertanyaan kepada calon pejabat (politik), “Kamu bisanya apa?”, sekarang pertanyaannya, “Kamu punya-nya berapa?” Dulu, maling ayam kelas teri kalau ketahuan—malunya minta ampun, mukanya ditutup, dan menunduk jauh ke bawah, sekarang maling kelas kakap—para koruptor keluar dari gedung KPK cengengesan berlenggang percaya diri dengan badan yang tegap.

Jilbab/Hijab atau pakaian (wanita) muslimah, dulu mempunyai fungsi untuk menutup lekukan-lekukan badan sebagai cara menjaga kehormatan seorang wanita. Namun, perkembangan fashion yang luar biasa, membuat makna pakaian tersebut bergeser, bukan lagi nilai kehormatan yang diusung melainkan ke-wow-an. Kenapa? karena sama sekali tidak menutup, pakaiannya sangat ketat, melebihi ketatnya “lepet”. Sehingga menggambarkan bentuk tubuhnya. Fenomena ini sama saja dengan, “minum air dikunyah, makan roti disruput”.

Kita semua tahu, seorang penceremah sering memakai sorban hijau, peci putih, dan baju putih sebagai cara untuk menampakkan kewibawahan. Dalam kesepakatan nilainya, peci putih, sorban hijau, dan baju putih yang dipakai penceramah mempunyai fungsi pengingat-ingat, agar pendakwah berseru dengan cara bijaksana, menuntun orang ke arah lebih baik, dan mengingatkan orang untuk menjauhi hal-hal buruk. Namun, dunia terbalik—peci putih, baju putih, dan sorban hijau belum lama ini difungsikan untuk melakukan provokasi, dengan mengatakan ‘iblis’ dan mengeluarkan kata-kata tidak laik konsumsi—ditujukan kepada organisasi terbesar di Indonesia. Ini sama saja dengan, “Makan nasi pakai golok, nebang pohon pakai sendok”.

Dahulu, para pahlawan berjuang mengusir penjajahan, para tokoh berpikir merumuskan konsep kenegaraan, dan akhirnya pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi prinsip dasar kebangsaan. Namun, perjuangan yang mengorbankan nyawa itu kini ingin diruntuhkan, digantikan oleh sekelompok orang yang tak pernah mau tahu jasa pahlawan.

Di era dunia terbalik ini, seakan-akan jagat menjadi “blur”, dan kita terjebak dalam ke-blur-an. Dikiranya yang modern itu western, tidak, modernisasi bukan westernisasi ujar Prof Dr Kuntjaraningrat. Dikiranya dengan minum bir setiap hari, gaya bicara yes yes yos, atau kentut di depan umum kita sudah menjadi modern? Tidak, ungkap Mahbub Djunaidi.

Begitupun sama, dikiranya dengan berpakaian seperti syekh, kiai, dan ustadz maka kita sudah menjadi paling islami? Tidak juga, karena yang menjamin kita masuk surganya Allah itu bukan dari apa yang kita pakai, melainkan kita punya amal baik atau tidak? punya amal yang manfaat atau tidak?

Kita sekarang bingung membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik dan mana yang buruk. Karena semuanya sudah dikemas dan dibungkus oleh ideologinya masing-masing.Dan kita rela menabrak norma dan nilai-nilai yang berlaku: agama maupun budaya.

Sebenarnya saling tabrak itu lumrah, yang tidak lumrah itu kalau tabrakannya disengaja. Artinya, kita melanggar nilai-nilai demi kepentingan pribadi. Padahal nilai itu sendiri merupakan bagian terpenting untuk keselamatan kita di dunia. Di jalan kalau tidak ada rambu-rambu lalu lintasnya akan kacau, mungkin bisa mengakibatkan tabrakan beruntun. Ada juga konsekuensi pelanggar lampu merah, kalau dia tidak celaka, nasib paling baik kena tilang. Begitulah akibat dari tidak patuhnya kita terhadap nilai-nilai yang disepakati.

Kalau harus jujur, saya tidak begitu memikirkan dunia ini mau terbalik atau kejengkang, karena tetap saja peristiwa ini entah itu kapan akan datang. Tetapi, saya ‘gemes’ lihat saban hari banyak peristiwa-peristiwa aneh yang berseliweran. Mau tidak mau, saya memerintahkan diri saya sendiri untuk bertanggung jawab, minimal mata saya tenang dari kejenuhan medsos, dengan kata lain saya fokus menulis.

Kalau saya pikir-pikir, ada empat masalah dunia jadi terbalik (khususnya dunia Indonesia), pertama, masalah kultural, standar nilai-nilai kebudayaan tidak sama, masuknya karakter budaya lain ke negara kita mengakibatkan ada pengkaburan kultural. Jadi, kita dikasih gambaran tentang zaman now, melalui berbagai media—apa yang kita miliki sudah ketinggalan zaman, kita dipaksa menganggap Indonesia itu tradisional, yang modern Korea, Amerika, dan sebagainya. 

Kedua, masalah pasar, produk yang ditawarkan kepada kita selalu didefinisikan sebagai produk modern, seperti: fashion, kehidupan di layar kaca, musik, teknologi, dan sebagainya. Akhirnya, kita dipaksa untuk meyakini bahwa apa yang datang dari Indonesia itu tidak modern. Kalau tidak nyanyi Inggris tidak modern, padahal Habib Syekh, Didi Kempot, Rhoma Irama, dan Via Vallen lebih modern dibandingkan penyanyi-penyanyi korea dan barat itu.

Ketiga, masalah individu, mental-mental orang kita bukan mental tempe, karena dianggapnya tempe tidak modern, yang lebih modern adalah produk-produk makanan ayam dan kopi dari luar negeri. Selera makan pun terkapling, ada madzhab kekunoan dan ada madzhab kekinian, bahkan ada istilah jajanan lawas. Kalau makanan pakai nama bahasa Indonesia itu tidak kekinian, tapi kalau namanya keminggris atau keluar-luarnegerian dianggap kekinian. Seperti Bakmi Jowo dan Spaghetti, keduanya sama-sama mie, tapi derajat penghormatannya berbeda.

Keempat, masalah pengalaman keagamaan, masalah ini kompleks, karena sekarang ada medsos/ada alam maya. Pemahaman keagamaan kita terlalu dikendalikan oleh Kisanak Google dan Kisanak Facebook. Sanad keilmuan tidak jelas. Pengalaman spiritualitas-pun seringkali datang karena ancaman, “yang tidak bilang amin akan masuk neraka”, “yang tidak membagikan kiriman ini hidupnya akan susah di dunia dan akhirat”. Dan tidak sedikit orang lebih percaya dengan Ustadz-ustadz kemarin sore yang berkeliaran di medsos, daripada percaya dengan kiai-kiai yang belajarnya sudah sampai pada taraf pakar, bahkan sudah buat tafsir, dan itu masih dilecehkan. Aneh sekali, dunia terbalik ini, atau jangan-jangan sudah sampai pada taraf dunia kejengkang.

Dengan demikian, ini masalah mindset, masalah mental, kita terlalu mengagung-agungkan yang lain dari kita dan kita terjebak oleh keinginan yang bukan kita, padahal yang lain itu belum tentu lebih sempurna dan lebih baik. Pemaknaan modernitas yang harus kita ubah, jangan dikira modernitas itu mengubah segala aspek. Modernitas sebaiknya dimaknai sebagai ajang berkarya untuk membuat sesuatu yang berbeda dan bermanfaat, selalu berpikir dan bersikap positif dalam memandang segala sesuatu tentang kehidupan, dan menggembala orientasi-orientasi/ide-ide untuk masa yang akan datang. Karena bumi yang kita singgahi, Indonesia ini akan diwariskan ke penerus kita selanjutnya.

Coba Anda renungkan Firman Allah SWT dalam surat Yusuf ayat 33, “Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS: Yusuf [12]: 33)

Penulis adalah Pembaca Setia NU Online.