Opini

Permasalahan Penerimaan Siswa Baru 2021

Ahad, 4 Juli 2021 | 23:00 WIB

Oleh Ahmad Halim

Saya memiliki dua keponakan yang saat ini sedang harap-harap cemas, karena saat pendaftaran siswa baru namanya selalu tergusur oleh siswa yang usianya lebih tua. Kakak saya sampai marah-marah dan dengan cemberut mengatakan, "Orang tuanya ke mana aja, anak udah usia sembilan tahun baru didaftarin SD. Anak saya kan jadi tersingkir gara-gara si tua."


Persoalan usia, sesungguhnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) telah diatur bahwa untuk calon peserta didik baru, di TK paling rendah berusia 4 (empat) tahun dan paling tinggi usia 5 (lima) tahun untuk kelompok A. Sedangkan untuk kelompok B, paling rendah 5 (lima) tahun dan paling tinggi 6 (enam) tahun.

 

Lalu, untuk calon peserta didik baru, di SD kelas 1 paling rendah berusia 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan. Namun tetap memprioritaskan yang berusia 7 (tujuh) tahun. Ada pengecualian untuk anak yang berusia 6 tahun yakni yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa serta kesiapan psikis, dan itu dibuktikan dengan rekomendasi tertulis psikologi profesional atau dewan guru sekolah yang bersangkutan.

 

Untuk calon peserta didik baru di SMP kelas 7 (tujuh) harus memenuhi syarat yakni berusia paling tinggi 15 (lima belas) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan, dan telah menyelesaikan kelas 6 (enam) SD atau bentuk lain yang sederajat.

 

Kemudian, untuk calon peserta didik baru di SMA paling tinggi berusia 21 (dua puluh satu) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan, dan telah menyelesaikan kelas 9 (sembilan) SMP atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan untuk SMK dengan bidang keahlian, program keahlian, atau kompetensi keahlian tertentu dapat menetapkan tambahan persyaratan khusus dalam penerimaan peserta didik baru kelas 10 (sepuluh).

 

Berdasarkan aturan tersebut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta membuat Keputusan Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2020/2021. Inti dari aturan tersebut, dalam melakukan verifikasi berkas baik jalur prestasi, zonasi, ataupun afirmasi haruslah berdasarkan usia tertua ke usia termuda; urutan pilihan sekolah; dan waktu pendaftaran. Oleh karena itu, bagi siswa yang mendaftar baik di SD, SMP, atau SMA/SMK dengan usia yang sudah cukup umur (daftar SD kelas 1 usia 7 tahun, daftar SMP usia 13 tahun, dan daftar SMA/SMK usia 17 tahun) maka akan tetap tersingkir dengan siswa yang usianya lebih tua.

 

Positif-Negatif

Kita harus akui, kebijakan yang dibuat pemerintah memiliki tujuan yang baik, yakni pemerataan kesempatan belajar untuk seluruh warga negara Indonesia khususnya untuk warga yang tidak mampu agar melalui jalur zonasi mereka bisa irit dengan berjalan kaki untuk pergi ke sekolah. Hal positif lainnya adalah jalur afirmasi. Dalam jalur ini, pemerintah mendahulukan anak-anak para tenaga kesehatan yang telah meninggal dunia dalam penanganan Covid-19, para pemegang Kartu Pekerja Jakarta, Pengemudi Jk Lingko, dan anak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sangatlah menonjol.

 

Selain itu, dalam peraturan Kemendikbud juga mengatur larangan bagi sekolah-sekolah negeri mengadakan pungutan biaya yang berhubungan dengan penerimaan siswa baru dan pungutan untuk beli seragam sekolah atau buku tertentu yang dikaitkan dengan PPDB (vide: Pasal 27).


Larangan tersebut sangat menguntungkan orang tua murid, sebab mereka bisa langsung membeli seragam sekolah di pasar tradisional dengan harga yang lebih murah, dan larangan tersebut juga menutup bisnis pakaian seragam di sekolah yang sudah berlangsung puluhan tahun lamanya.

 

Meski demikian, ada hal negatif yang sampai saat ini terus menjadi polemik di masyarakat bawah khususnya di DKI Jakarta yakni persoalan usia. Dalam Keputusan Kadispen Provinsi DKI Jakarta No 501/2020 tersebut sangat terlihat bahwa usia menjadi patokan dasar dalam penerimaan peserta didik baru.

 

Seharusnya, pemerintah menggunakan quota untuk siswa yang sudah tua, baik di jalur zonasi, prestasi, maupun afirmasi. Jika siswa yang lebih tua diberikan quota, maka siswa yang umurnya sudah cukup itu dapat masuk di sekolah yang jaraknya dekat.

 

Menjadi sangat ironis, saat pengadilan PTUN Jakarta menilai Keputusan Kadispen Provinsi DKI Jakarta No 501/2020 itu sudah tepat (vide: Perkara No 161/G/TF/2020/PTUN.JKT). Alhasil mereka yang usianya sudah cukup akan selalu tersingkir dengan siswa yang lebih tua.

 

Lalu pertanyaannya, bagaimana nasib anak-anak yang kurang mampu itu? Apakah mereka harus menunggu tua dahulu baru bisa masuk sekolah negeri dengan biaya 0 rupiah? Atau memang harus sekolah di swasta, dengan berbagai pungutan biaya seperti membayar buku, seragam sekolah, ulangan dan lain sebagainya. Bukankah ini justru menambah beban perekonomian si miskin?

 

Pertanyaan inilah yang hingga saat ini belum bisa dijawab oleh pemerintah khususnya Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Oleh karena itu, semestinya pemerintah melakukan peninjauan kembalisurat keputusan 501/2020, sebab rakyat miskin yang anaknya sudah cukup umur pasti akan selalu tersingkir dengan siswa yang lebih tua.
 

Penulis adalah warga Semper Barat, Jakarta Utara; kader PMII DKI Jakarta.