Opini

Perihal Memerangi Kafir Harbi dan Jihad ke Luar Negeri

NU Online  ·  Kamis, 5 Oktober 2017 | 08:00 WIB

Perihal Memerangi Kafir Harbi dan Jihad ke Luar Negeri

Ilustrasi (© islamcity)

Oleh Muhammad Iqbal Syauqi

Dewasa ini, geliat ekstremisme mulai banyak bermunculan di seluruh dunia. Kasus-kasus kekerasan dan perang atas nama agama seperti yang diserukan saat bom Bali, kemudian pertempuran di Marawi, Filipina, konflik Ambon dan Poso sekian tahun lalu, menegaskan bahwa konflik atas nama agama masih menjadi problem di tengah masyarakat beragama. Selain itu, konflik di negara-negara Arab juga menjadi perhatian.

Agama mengajarkan kedamaian. Islam, sebagai agama yang asal kata dalam bahasa Arabnya saja adalah salima, yang artinya keselamatan, harus mencipta kedamaian. Nah, tetapi malah sebagian aksi teror dan bentrokan yang terjadi justru dilakukan dengan membawa nama Islam.

“Kaum yang kita perangi adalah kaum kuffar, sehingga wajib diperangi!” Begitu jika Anda telusuri dalam video-video propaganda pelaku teror, seperti Al Qaeda ataupun ISIS. Apa yang salah dengan kaum non-Muslim?

Pertanyaan ini menjadi penting terkait pemahaman kita tentang bagaimana perilaku Nabi Muhammad selaku teladan umat Muslimin bersikap kepada non-Muslim. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri sebagai anggota masyarakat, tetap berinteraksi dengan baik bersama kaum non-Muslim. Dalam beberapa riwayat, pernah dikisahkan tentang bagaimana Nabi menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi Madinah. Selain itu, umat Muslim Madinah pada masa Nabi sebagai kaum mayoritas di waktu itu juga banyak ber-muamalah dalam banyak hal dengan non-Muslim.

Kerap ada dalih dari golongan ekstremis tersebut bahwa kaum non-Muslim yang diperangi tersebut adalah kaum kafir harbi. Kafir harbi diartikan sebagai golongan non-Muslim yang memerangi kaum muslimin, sehingga dibolehkan memeranginya.

Abdul Qadir Audah menyebutkan dalam kitab at-Tarikh al-Jina’il Islami definisi kafir harbi sebagai berikut:

فَالْحَرْبِيُّوْنَ هُمْ سَكَّانُ دَارِ الْحَرْبِ الَّذِيْنَ لَا يَدَيِّنُوْنَ بِالْإِسْلَامِ

“Kaum Harbi adalah penduduk Darul Harbi yang tidak berkenan (memerangi) atas orang Islam.”

Darul Harbi (daerah perang), menurut Abdul Qadir Audah, diartikan sebagai negara yang tidak memperbolehkan mengekspresikan Islam. Tentu saja Indonesia dengan kebebasan atas ekspresi beragama tidak bisa digolongkan negara berstatus Darul Harbi.

KH Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Islam antara Perang dan Damai menyebutkan bahwa umat Muslim memang mendapat perintah untuk menghadapi peperangan dengan non-Muslim. Namun, perintah tersebut tidak secara mutlak dan serampangan. Hanya non-Muslim yang telah nyata memerangi Muslim saja yang boleh diperangi.

Kasus invasi atas negara-negara Arab, atau juga konflik Rohingya, tentu menarik ditelaah. Apakah Muslim negara lain, termasuk Indonesia, berkewajiban untuk ikut “berjihad” ke sana, bahkan ikut memerangi golongan agama lain tersebut di negeri sendiri?

Ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Terkait perang luar negeri, perlu dicermati adanya perang tersebut apakah memang benar konflik agama, atau jangan-jangan ada konteks sosial yang belum dipahami. Kemudian, bukankah serangan itu ditujukan untuk Muslim di negara tersebut, bukan di negara kita?

KH Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa umat Muslim di negara lain tidak perlu ikut terlibat perang di luar negeri, apalagi sampai memerangi golongan agama mereka di negeri sendiri yang tidak memiliki kaitan apa pun. Serta terkait syarat terpenting kebolehan memerangi kafir harbi adalah: apakah benar mereka telah memerangi umat Muslim? Tidak dibolehkan dalam Islam memerangi non-Muslim, jika mereka tidak memerangi kaum Muslimin.

Saat ini, ikut “jihad” ke luar negeri tentu memiliki sisi riskan tersendiri. Pemerintah pun telah berusaha melakukan diplomasi untuk turut membantu keamanan-keamanan negara yang berkonflik. Selain itu, yang bisa dilakukan umat Muslim Indonesia untuk saudara-saudara yang dirundung perang di penjuru dunia adalah turut mendoakan serta jika memungkinkan juga melakukan aksi-aksi nyata untuk kemanusiaan.

Jadi, kafir manakah yang diperangi itu?


Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Dokter UIN Jakarta dan mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Ciputat.