Opini

Penyelenggaraan Haji di Tengah Wabah Virus Corona

Kam, 2 April 2020 | 04:10 WIB

Penyelenggaraan Haji di Tengah Wabah Virus Corona

Kebijakan dan kebijaksanaan Raja Salman sebagai pemegang kekusaan tertinggi di Arab Saudi sangat dihormati umat Islam seantero dunia saat ini tengah dinantikan dan akan menentukan.

Oleh Mustolih Siradj
 
Beredar kabar dari beberapa media Menteri Urusan Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi Muhammad Saleh bin Taher Banten meminta kepada berbagai negara untuk menunda berbagai kontrak terkait penyelenggaraan haji tahun ini. Sedianya ibadah haji akan berlangsung pada medio bulan Juli mendatang. Namun epidemi virus corona yang masih melanda dunia dan berkecamuk di berbagai negara, termasuk di Arab Saudi bisa saja ada skenario lain yang tidak terduga sebagaimana terjadi pada sektor penyelenggaraan umrah.

Memang belum ada kepastian, apakah pernyataan tersebut merupakan alarm ritual haji pada tahun ini tetap diselenggarakan seperti biasa atau ditiadakan sebagaimana penyelenggaraan umrah, belum ada sikap resmi dan final dari pemerintah Arab Saudi.

Namun jika melihat situasi dan kondisi saat ini, manakala banyak negara masih terus berjuang melawan merebaknya virus corona di wilayahnya, angka kematian yang terus bertambah dan belum ada tanda akan benar-benar berakhir dalam waktu dekat, maka pengiriman misi haji dapat membawa dampak yang kurang baik dan dapat memperburuk situasi, baik bagi negara pengirim jamaah haji maupun Arab Saudi sebagai negara tujuan. Terlebih banyak maskapai penerbangan juga masih menutup rute.

Indonesia sangat berkepentingan dalam isu ini sebagai negara yang mendapat kuota terbesar 231 ribu orang yang sat ini masih berjibaku dengan penanganan corona di berbagai wilayah di dalam negeri. Akan menjadi dilema serius karena keselamatan jamaah dan petugas akan menjadi taruhannya, sisi lain bila haji tidak terselenggara akan membuat daftar antrean haji makin mengular dan membuat kecewa jamaah yang telah menunggu bertahun-tahun.

Penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air membutuhkan persiapan teknis yang matang dengan pengerahan orang banyak semisal acara manasik, pelatihan petugas, penyiapan dokumen-dokumen serta suplai perlengkapan jamaah yang berpotensi menjadi media penyebaran virus corona. Padahal pemerintah baru saja telah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sehingga kegiatan maupun acara-acara seremonial serta persiapan penyelenggaraan haji akan kontra produktif  dengan kebijakan penanganan wabah virus corona yang telah ditetapkan.

Jika haji tetap diselenggarakan, ritual kolosal ini akan melibatkan tidak kurang dari 1,5 juta orang lebih berkumpul dalam satu wilayah di Arab Saudi dan di waktu yang bersamaan sehingga situasi tersebut akan sangat kondusif menjadi arena penularan dan penyebaran virus baik kepada jamaah maupun petugas. Misalnya pada saat ritual thawaf (berkeliling) di Ka’bah yang terletak di Masjidil Haram, wukuf (berdiam) di padang Arafah atau saat melempar jumrah. Berapa banyak tenaga medis dan tim keamanan yang harus diterjunkan. 

Sangat sulit bahkan mustahil menerapkan metode physical distancing atau social distancing mengontrol pergerakan manakala jutaan manusia dengan berkumpul dengan latar belakang budaya dan tradisi yang berbeda-beda. Suasana semacam itu sangat berpeluang menimbulkan ancaman kesehatan dan keselamatan yang sangat serius. Karena itu kebijakan penundaan haji patut menjadi opsi utama untuk dipertimbangkan. 

Kebijakan dan kebijaksanaan Raja Salman sebagai pemegang kekusaan tertinggi di Arab Saudi yang juga sebagai penjaga dua kota suci (khadimul Haramain) Makkah dan Madinah yang sangat dihormati umat Islam seantero dunia saat ini tengah dinantikan dan akan menentukan. Harapan dan ekspektasi publik tentu kebijakan yang nanti disampaikan lebih mementingkan dan mengutamakan aspek kesehatan dan keselamatan jutaan jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia di atas segala-galanya. 

Kebijakan tersebut memang sangat mahal karena Arab Saudi sebagai sebuah negara harus rela kehilangan pendapatan (devisa) dari penyelenggaraan haji yang tidak sedikit, tidak kurang ada potensi sekurang-kurangnya sekitar 8,5 miliar dolar atau setara Rp 100 trilyun. Pemasukan tersebut berasal dari transaksi dan biaya peziarah (jamaah) yang meliputi perumahan, hotel, penerbangan, makanan dan minuman, hadiah dan tagihan telpon. Dengan ditundanya ritual haji maka pendapatan tersebut tentu hilang begitu saja.

Jika sedikit menilik sedikit ke belakang, pemerintahan Arab Saudi sesungguhnya sudah banyak berkorban sejak pertengahan Maret lalu, negara yang dipimpin Raja Salman ini telah kehilangan banyak pendapatan (devisa) dari peziarah umrah, karena layanan visa umrah ditangguhkan, dua masjid suci Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ditutup, penerbanganan dari dan ke Arab Saudi dihentikan. Kebijakan ini sangat berani dan tidak mudah, pasalnya akan berdampak sangat serius bukan saja terhadap neraca keuangan negara ini, sektor publik tetapi akan memukul kehidupan ekonomi rakyat di sana.

Namun demi keselamatan jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia dari infeksi virus corona, kebijakan penundaan umrah telah ditetapkan dan masih berlangsung sampai sekarang. Sebuah langkah penyelamatan dan pengorbanan yang patut mendapat respek, penghargaan dan apresiasi setinggi-tingginya dari masyarakat dunia.
 

Mustolih Siradj, Ketua Komnas Haji dan Umrah/ Dosen UIN Jakarta