Opini

Pendidikan Karakter: Belajar dari Pesantren

NU Online  ·  Senin, 17 Desember 2012 | 09:53 WIB

Oleh Ifan Haryanto

 

Pengembangan pendidikan karakter yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2010 merupakan salah satu upaya untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.<> Berbagai persoalan yang muncul, seperti korupsi, terorisme, separatisme, tawuran pelajar, perkelahian antar mahasiswa, dan penyalahgunaan narkoba oleh generasi muda, tidak dapat dilepaskan dari terabaikannya persoalan karakter dalam pembangunan bangsa pada masa silam. Apa yang kita petik hari ini sebagai buah dari proses panjang yang dilakukan pada masa silam, terutama investasi di bidang pendidikan. 

Selain itu saat ini kita juga tengah menghadapi dahsyatnya ancaman kebudayaan yang datang dari luar. Arus globalisasi teknologi, informasi dan budaya yang berkembang pesat berpotensi besar membawa dampak serius bagi perubahan perilaku masyarakat, menggerus budaya nasional, dan merapuhkan jati diri bangsa. Globalisasi membawa dua dampak sekaligus, yaitu dampak positif dan negatif. Dua dampak tersebut sebagai konsekwensi niscaya dari pergaulan global yang nyaris tanpa batas dan sekat apapun (borderless). Bila kita kurang waspada dan hati-hati, globalisasi dapat menimbulkan implikasi serius terhadap ketahanan budaya nasional. Banyak ditemukan perilaku anak bangsa yang menyimpang dari nilai-nilai agama, moral kebangsaan, dan budaya masyarakat. Kita harus peka dengan fenomena ini, agar globalisasi yang terus berlangsung tidak menggerus budaya nasional maupun melemahkan jati diri bangsa. 

Kelemahan dalam penanaman karakter kepada bangsa ini perlu kita perbaiki bersama.  Apalagi, Indonesia sejak lahir ditakdirkan sebagai negara nasionalis religius, yaitu negara yang dibangun berbasiskan pada nilai-nilai agama.. Karenanya, penggalakan pendidikan karakter oleh Kemendikbud perlu diapresiasi sebagai upaya nyata dalam mencetak generasi masa depan bangsa yang berkatakter, patriotis dan nasionalis.

Falsafah Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter ditujukan untuk menanamkan kembali nilai-nilai dasar kebangsaan yang telah lama menjadi spirit dan falsafah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. 

Pendidikan karakter meliputi: penanaman nilai keagamaan dan religiusitas, nilai dasar yang terkandung dalam dasar dan falsafah negara Pancasila dan UUD 1945, nilai kemasyarakatan berupa nilai moral, etika, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat, serta nilai kenegaraan yang menyangkut kecintaan terhadap Tanah Air dan bangsa. Pendidikan karakter adalah upaya untuk menanamkan kembali budaya kejujuran, gotong royong, bhineka tunggal ika, rukun dan tenggang rasa, saling menghargai, keharmonisan dan kesetiakawanan sosial dalam berbangsa dan bernegara. 

Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mengatasi ancaman penyimpangan perilaku masyarakat, perlu dilakukan penguatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai keniscayaan untuk menata kembali penanaman karakter dan budaya bangsa. Pendidikan karakter dapat dikembangkan tidak hanya melalui sekolah formal, namun bisa dilakukan pula melalui pesantren, masjid, rumah ibadah, berbagai organisasi sosial kemasyarakatan hingga lingkungan kerja.

Belajar dari Pesantren

Berbicara mengenai pengembangan pendidikan karakter, kita bisa belajar dari keberhasilan yang dicapai kalangan pesantren. Pesantren adalah model pendidikan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren telah berkembang sejak delapan abad silam dan merupakan cikal bakal dari sistem pendidikan Tanah Air. Keberhasilan pesantren dalam melaksanakan tugas pendidikan tidak diragukan lagi.

Berbagai nilai-nilai yang tengah digali dan ditanamkan kembali oleh Kemdikbud melalui pendidikan karakter, secara praktis telah banyak diterapkan dalam pola pendidikan pesantren. Pesantren merupakan pola pendidikan yang sangat konsen dalam pengembangan pendidikan karakter. Dalam bahasa pesantren, karakter yang lebih popular disebut dengan istilah akhlakul karimah merupakan tujuan utama penyelenggaraan pendidikan. Bahkan, akhlakul karimah menjadi variabel terpenting dalam pola pendidikan yang dikembangkan pesantren. Karena itu, tak heran dalam komunitas pesantren, kiai menjadi semacam “living curriculum” yang mengawasi perilaku anak asuhnya selama 24 jam. Kiai memiliki peran sentral dalam memantau perkembangan akhlak santri.

Pesantren telah lama mengembangkan model pendidikan karakter. Pengajaran budaya ikhlas, kesederhanaan, kemandirian, gotong royong, mempertahankan kearifan budaya lokal dan tradisional, ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah watoniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia) mencerminkan semangat pendidikan karakter. Pesantren memiliki prinsip selalu mengedepankan budi pekerti tinggi (akhlakul karimah), berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, mengajarkan nilai-nilai kebenaran universal berupa tasaamuh (toleransi), tawassuth (moderat), dan tawazun (berimbang). 

Pesantren juga dikenal sangat ketat dalam mengontrol perilaku santri dan masyarakat agar selalu sesuai dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Motto yang paling populer yangg menjadi dogma kuat santri, “al muhaafazhatu ‘alal qadiemis shalih wal akhdzu bil jadidiel ashlah”, yaitu melestarikan nilai-nilai tradisional yang positif, serta saat bersamaan mengapresiasi inovasi-inovasi baru yang lebih membawa maslahat besar bagi kehidupan masyarakat.

Di Indonesia terdapat puluhan ribu pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara dengan berbagai corak dan ciri khasnya. Kita berharap pesantren terus tumbuh dan eksis serta memberikan kontribusi lebih nyata dalam upaya bersama menanamkan pendidikan karakter di tengah masyarakat. Begitu pula dengan lembaga-lembaga pendidikan serta lembaga sosial lainnya, baik yang formal, non formal maupun informal. Semuanya harus ambil bagian dalam menanamkan pendidikan karakter. Lirik yang terdapat dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan W.R. Supratman, yaitu “Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya Untuk Indonesia Raya” perlu kita gali dan internalisir kembali untuk mewujudkan harapan dan cita-cita masa depan bangsa yang lebih baik.


* Penulis adalah alumnus Program S3 Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Wakil Bendahara PP ISNU