Opini

Pemuda dan Kerja Kebangsaan

NU Online  ·  Ahad, 30 Oktober 2016 | 10:30 WIB

Pemuda dan Kerja Kebangsaan

Ilustrasi (Okezone)

Oleh Ahmad Riyadi

Tulisan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, M. Hanif Dhakiri, berjudul Sumpah Pemuda dan Semangat Memenangkan Persaingan Kerja (detik.com, 29/10/16) memberikan sinyalmen bahwa pemerintah tengah serius memutus tali pengangguran, khususnya bagi pemuda.

Pemerintah terus mendorong membuka pelatihan vokasi melalui Balai Latihan Kerja (BLK) yang menawarkan berbagai keahlian kerja, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Keseriusan itu terlihat juga saat pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan vokasi melalui jalur Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Begitu pernyataan Pak Menteri lulusan pesantren ini dalam tulisannya.

Program pemerintah melalui pelatihan vokasi tidak lepas dari fakta piramida kualifikasi pasar kerja yang miris dan mengkhawatirkan. Sekitar 60 persen angkatan kerja Indonesia diisi oleh lulusan Sekolah Dasar  (SD) sampai dengan Sekolah Menegah Pertama (SMP) dengan kompetensi keahlian yang rendah. Apalagi di tengah majunya tekhnologi, sangat memungkinkan tenaga kerja Indonesia akan terkucil jika tidak menguasai skill, dan hanya mengandalkan keahlian yang teramat rendah.

Angin Segar

Indonesia akan dirundung rasa gembira dengan ‘hadiah’ bonus demografi. Bonus demografi menjelaskan tentang meningkatnya usia produktif di Indonesia untuk beberapa tahun ke depan. Populasi 60 persen penduduk Indonesia akan berisi mayoritas pemuda tentu akan mendorong pembalikan piramida kualifikasi tenaga kerja.

Modal sosial ini harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kompetensi tenaga kerja. Baik melalui program kerja pemerintah yang sifatnya mendorong, atau bagi pemuda itu sendiri dalam memanfaatkan peluang. Sebenarnya sudah tercium harum tatkala kita melihat kreativitas pemuda dalam pemanfaatan tekhnolagi mengembangkan bisnis. Dalam hal ini, pemuda menjadi pelaku industri kreatif.

Berlatar generasi millenial, pemuda sudah melakukan kreativitas dalam bentuk enterpreuner berbasis tekhnologi, seperti media online, musik, e commerce, kuliner, fashion, kuliner dan banyak lainnya. Artinya bahwa, pemuda Indonesia menunjukkan mempunyai bakat dan kompetensi tinggi, serta daya saing yang patut dibanggakan.

Potret kreativitas pemuda dalam memanfaatkan peluang secara hakiki merupakan karakter pemuda. Kenakalan berpikir dan berkreasi dengan gila, serta berani bahkan nekad melawan ‘kesepakatan-kesepakatan kaum tua’ merupakan dua mata uang yang mustahil dipisahkan. Kreativitas pemuda dalam memanfaatkan peluang ibarat masjid dan alun-alun di tengah ruang kota, selalu berdampingan.

Sumpah Pemuda semisal, yang beberapa hari lalu kita peringati, adalah potret yang mencirikan pemuda sebagai kelompok yang berani, nekad dan cerdik memanfaatkan peluang. Saat Soekarno dan Hatta masih menunggu dan bimbang meyerukan kemerdekaan, adalah pemuda yang hadir untuk mendorong kelompok tua di atas membacakan proklamasi demi tercaoainya kemerdekaan.

Dalam wacana liberasi pemikiran Islam dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU), sebagaimana tercatat dalam buku Gejolak Santri Kota (2000) semisal, juga mencatat pemuda sebagai garda terdepan dalam melakukannya. Mochammad Sodik, penulis buku Gejolak Santri Kota, merekam liberasi pemikiran Islam dalam tubuh NU dipelopori oleh Angkatan Muda Nahdlatul Ulama (AMNU) yang mengenyam pendidikan Islam modern di Yogyakarta.

Mereka melakukan pembaruan terhadap kultur lama pesantren yang monologis menjadi dialogis. Meminjam bahasanya Kuntowijoyo (Islam sebagai Ilmu, 2006), liberasi pemikiran Islam yang demikian bebrati dari teks ke konteks, yakni kontektualisasi terhadap teks-teks ayat al-Quran dan al-Hadits sehingga tetap relevan dengan perubahan zaman.

Kerja Kebangsaan

Dari ilustrasi di atas, kita dapat memetik pelajaran yang amat berharga. Keberanian, sikap nekad, serta pemanfaatan peluang berjalan lurus dengan nilai-nilai kebangsaan. Artinya, mereka tidak terjebak dalam individualisme, dalam artian hanya dijadikan sebagai momentum eksistensi diri sendiri, tanpa mempedulikan nilai-nilai kebangsaan.

Yang menjadi catatan dalam tulisan Pak Menteri adalah raibnya peningkatan terhadap kesadaran kebangsaan pemuda untuk menjadi pioner dalam dunia industri di tengah modernitas. Kendati menggunakan semangat Sumpah Pemuda, penulis melihat Pak Hanif hanya mendorong kompetensi pemuda sesuai kebutuhan pasar. Vokasi pelatihan hemat penulis, hanyalah untuk memompa kompetensi, sama sekali tidak menyentuh kesadaran pemuda akan nilai-nilai kebangsaan.

Karena bagi Giddens (1990), industrialisme sebagai salah satu lembaga modernitas akan menghasilkan apa yang disebutnya pencerabutan, yakni ‘pencabutan’ relasi-relasi sosial dari konteks-konteks lokal interaksi dan penyusunan kembali lintas rentan waktu-yang tidak terbatas (Ritzer, 2012). Dengan situasi yang demikian, lanjutnya, modernitas menuju kearah Juggernaut, yakni sebuah mesin raksasa yang tidak terkendali dengan kekuatan yang sangat besar yang mengancam bergerak cepat di luar kendali kita dan memecah dirinya sendiri hingga hancur remuk.

Maka penting di sini ditegaskan bahwa peningkatan kompetensi daya saing yang menjadi program pemerintah dibarengi dengan peningkatan kesadaran kebangsaan. Ini penting untuk menghindari koloni keterasingan dari soliditas sosial dan kebangsaan. Karena buka tidak mungkin, individu yang sukses dalam industri kreatitif maupun ruang kerja yang global lebih mementingkan, atau hanya memperkaya diri.

Penulis adalah alumnus Sosiologi UIN Sunan Kalijaga; anggota Biro Penelitian dan Pengembangan (LitBang) PMII Cabang DI Yogyakarta