Opini

Pemimpin adalah Pembaca

NU Online  ·  Kamis, 17 Agustus 2017 | 02:19 WIB

Pemimpin adalah Pembaca

Ilustrasi (ebela.in)

Oleh Bakhrul Amal

Pemimpin adalah pembaca. Tesis itu harus kita sepakati terlebih dahulu sebelum kita lebih jauh memperbincangkan sosok pemimpin ideal yang diharapkan, bukan hanya oleh partai politiknya an sich, tetapi juga oleh seluruh elemen yang dipimpinnya.

Kata ‘baca’ dalam bahasa Arab dikenal dengan iqra (kata pertama yang diterima nabi dari Malaikat Jibril, 'bacalah'). Sedangkan kata ‘bacalah’ dalam Al-Qur’an  menurut Yusuf Qardhawi, merujuk pada Surah Al-'Alaq, secara etimologi memiliki arti membaca huruf-huruf yang tertulis dalam sebuah kitab atau buku. Yusuf Qardhawi melanjutkan bahwasanya kata ‘baca’ itu pun memiliki terminologi membaca dalam arti yang lebih luas dari sekedar membaca kitab atau buku. Membaca juga diartikan kemahiran membaca alam semesta atau ayat Al-Kaun.

Jika merujuk pada definisi yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi tersebut, yang kemudian diselaraskan pada makna pemimpin pembaca, berarti setidaknya seorang pemimpin ideal itu haruslah; bibliophile atau pembaca buku yang rakus serta melek literasi, dan mampu membaca kondisi yang ada disekitarnya.

Pembaca Buku


Sejarah membuktikan jika, seperti dikutip dari Harvard Bussiness Review, seorang pemimpin itu memliki kebiasaan yang sama, yakni kebiasaan membaca buku. Artikel tersebut kemudian memberikan contoh; Steve Jobs sang pemilik Apple memiliki "minat baca yang tak habis-habisnya" pada karya William Blake; Pendiri Nike, Phil Knight, sangat menghormati perpustakaannya sehingga di dalamnya Anda harus melepas sepatu. Selain itu adapula Winston Churchill, Perdana Menteri terkenal dunia dari Inggris, memenangkan hadiah Nobelnya justeru dalam bidang literatur, bukan dalam bidang perdamaian atau kemanusiaan.

Seorang bijak bestari mengatakan “buku memberikan pengalaman tanpa harus kita mengalaminya sendiri”. Pemimpin yang rajin membaca tentu akan memiliki wawasan yang luas. Wawasan tersebut kemudian digunakan olehnya untuk merumuskan gagasan dan kebijakan-kebijakan yang baik dan mebahagiakan bagi rakyatnya.

Sebagai contoh, pada tataran kebijakan, pemimpin pembaca tentu akan mafhum bahwa terdapat dua gugus teori filosofi kebijakan yang terdiri dari utilitarianisme dan libertarianisme (Rocky Gerung, Jurnal Perempuan, 2017). Dasar kebijakan utilitarianisme adalah memperhatikan suatu kebahagiaan hanya bisa disebut adil apabila memuaskan kehendak mayoritas. Artinya, keinginan mayoritas adalah dasar dari sebuah kebijakan.

Akan tetapi, kebijakan dengan prinsip utilitarianisme kemudian ditentang sehingga muncul versi kebijakan baru yang disebut libertarianisme. Jika utilitarianisme memandang keadilan berdasarkan jumlah kebahagiaan menurut masyarakat, pada libertarianisme keadilan akan kebahagiaan itu dikembalikan kepada masing-masing individu. Hematnya, libertarianisme memberikan makna kebebasan itu pada pribadi, bukan pada standar kebahagiaan mayoritas.

Dari dua pembacaan tersebut, pemimpin pembaca, tentu tidak akan gegabah dalam membuat kebijakan. Pemimpin pembaca tidak akan dengan mudah ditekan karena pemimpin pembaca memiliki dasar kuat untuk membuat kebijakan. Dan bagi pemimpin pembaca, kebijakan tidak dijadikan sekedar proyek tetapi tujuan untuk keadilan kebahagiaan seluruh rakyatnya, baik menurut mayoritas (utilitirianisme) maupun pribadi (libertarianisme).

Pembaca Alam Semesta


Selain pembacaan tekstual, pemimpin juga diharapkan mampu menjadi pembaca alam semesta agar dapat memahami segala hal yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Asumsi dasarnya sederhana, karena seorang pembaca alam semesta sudah pasti mencintai perjalanan.

Kita dapat mengambil contoh dari Presiden Pertama Indonesia, yakni Ir. Soekarno. Soekarno adalah seorang pembaca semesta yang baik. Hal tersebut dia buktikan ketika mampu merangkum kesepakatan dalam sebuah pidato di hadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI. Dia, salah satunya, menyampaikan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia itu masyarakat gotong royong yang mencintai musyawarah mufakat. Indonesia bagi Soekarno tidak mengikuti kebebasan mutlak a la liberal, tidak pula menghilangkan kepemilikan seutuhnya menjadi milik bersama seperti komunis, melainkan kepemilikan yang bersifat sosial seperti tradisi adat-adat di Indonesia.

Pemimpin pembaca, dalam hal ini membaca alam semesta, tidak akan nyaman duduk-duduk di kantor untuk lalu kemudian merumuskan kebijakan berdasarkan bisikan, saran ahli, dan desas-desus politis. Pemimpin pembaca (alam semesta) juga tidak pernah puas pada kesimpulan “apa kata buku”. Pemimpin pembaca akan turun dan melihat langsung kondisi sosial di wilayah teritorinya. Hal itu dilakukan agar kebijakannya tepat sasaran dan tidak ngawur.

Penutup


Menyesuaikan dengan Pancasila pemimpin, pembaca itu seyogyinya sesuai dengan sila kesatu yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, dia harus memahami ketuhanan dan merefleksikan pemahamannya itu pada ibadah. Pemimpin pembaca juga dianjurkan mengenal manusia serta peradabannya, dan lahir serta tumbuh dari nilai-nilai kehidupan manusia Indonesia. Aktualisasi sila ketiga, pemimpin pembaca, pasti dekat dengan cita-cita persatuan yang mengutamakan sikap gotong royong. Pemimpin pembaca juga melaksanakan sila keempat dari hasil bacaannya berupa tindakan mengutamakan dialog untuk hasil kebaikan bersama (musyawarah mufakat). Yang terakhir, sila kelima, pemimpin pembaca harus punya banyak model inovasi yang berbasis pada pengalaman untuk tujuan pemenuhan ekonomi, pendidikan, dan sosial (keadilan sosial).

Dari semua yang telah disebutkan di atas kini kita, sebagai bangsa Indonesia yang menganut Pancasila, bisa menentukan beberapa sikap yang antara lain; sudahi memilih pemimpin yang sekedar memberikan janji dengan iming-iming yang justeru jatuh pada money politics, hindari mencoblos pemimpin yang tidak kredibel dan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Sekarang saatnya mencari dan memutuskan untuk mendukung pemimpin pembaca, yang tidak hanya membaca buku (tekstual) tetapi juga dimbangi pembaca alam semesta (kondisi sosial masyarakat), agar tujuan kesejahteraan rakyat itu tercapai utuh dan bukan sekedar kebutuhan politik


Penulis adalah dosen Ilmu Hukum UNUSIA Jakarta