Opini

Pemikiran Islam: Hukum Allah (4)

NU Online  ·  Senin, 14 Agustus 2017 | 20:02 WIB

Oleh KH Muhammad Machasin

Hal lain yang penting untuk dicatat dari sifat orang Khawārij adalah kebiasaan untuk memutus hubungan kepatuhan (barā’ah) dari penguasa yang mereka anggap zalim atau kehilangan keimanan. Tidak hanya sampai di situ, seringkali pemutusan hubungan kesetiaan ini diikuti dengan pemberontakan dan usaha untuk memakzulkan penguasa atau pemimpin yang dianggap kehilangan keimanan itu dan membunuhnya.

Fanatik, berpegang pada pengertian harfiah teks, menantang maut dengan alasan remeh pun, suka pada kematian adalah sifat mereka yang cukup terkenal juga. Pendorongnya bukan keberanian (syajāʻah) melainkan ketakmampuan membuat pertimbangan (hawas) yang disebabkan oleh kebodohan, sifat emosional, kegilaan, kesempitan pandangan dst. Sifat ini tidak jauh berbeda dengan makna istilah “sumbu pendek”: mudah sekali bereaksi secara tak terkendali dan tidak peduli apakah tindakan yang dilakukan menimbulkan kerusakan.

Kaum Khawārij juga kelihatan ikhlas dalam menjalankan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran, rajin beribadah dan tidak takut mati. Gabungan antara kesalehan dan kekerasan ini kadang-kadang begitu kelihatan kontradiktif sebagaimana dalam kisah berikut.

Menurut Ibn al-Atsīr dalam bukunya, Al-Kāmil fī al-tārikh, seorang sahabat Nabi yang bernama ‘Abd Allāh bin Khubāb dibunuh bersama isterinya yang sedang hamil tua oleh sekelompok orang Khawārij setelah ia menjawab pertanyaan mereka mengenai keempat Khalifah pertama. Dipujinya Abū Bakr dan ‘Umar, dikatakannya bahwa ‘Utsmān lurus dalam menjalankan pemerintahan dan bahwa ‘Ali lebih berhati-hati dalam beragama dan lebih tajam pandangannya daripada orang-orang Khawārij yang bertanya itu. Lalu mereka berkata,

(Kau sungguh memperturutkan hawa nafsu dan mengangkat orang sebagai pemimpin berdasarkan kebesaran namanya bukan perbuatannya). Kemudian mereka bunuh sahabat Nabi itu dan isterinya. Akan tetapi, ketika mereka mendapatkan sebutir kurma, mereka tidak mau memakannya sebelum mendapat izin dari pemiliknya dan ketika salah seorang dari mereka terlanjur membunuh seekor babi milik seorang bukan Muslim, mereka membayar ganti rugi kepada pemiliknya.

Cerita ini juga menggambarkan betapa mereka memegang teguh prinsip-prinsip mereka, walaupun dengan cara yang naif (pendek pikir, kekanak-kanakan) dan tidak peduli kepada sistem.

Setiap orang dewasa mempunyai kebebasan penuh untuk melakukan apa pun mengenai dirinya sendiri dan di wilayahnya sendiri. Batasnya adalah tidak membahayakan diri hidupnya, tidak mencelakai diri sendiri atau bunuh diri. 

Akan tetapi, untuk hal menyangkut orang lain dan di luar wilayah pribadinya, orang harus mengindahkan aturan yang berlaku, tidak boleh bertindak sesuai pikirannya atau kepentingannya semata. Di dalam Islam ada istilah ūlū al-amr yang berasal dari ayat al-Qur’an (4/al-Nisā’: 59) yang berarti orang-orang yang memegang urusan, yakni mereka yang mempunyai kewenangan untuk mengelola urusan bersama atau sistem negara.

Kaum Khawārij menyebut diri mereka “Para penganut kebenaran dan konsistensi”.

Pengertian yang terkandung dalam nama mereka ini mereka terapkan secara keras dan tanpa pandang bulu. Hanya para pengikut ‘Abd Allāh bin Ibāḍ yang berhasil mengurangi kekakuan sikap mereka dan karenanya tetap bertahan sampai sekarang. Mereka sekarang hidup di Aljazair, Oman dan pesisir Afrika Timur serta beberapa tempat lain mulai dari Teluk Persi sampai Samudera Atlantik.


Penulis adalah Mustasyar PBNU