Opini

Pemikiran Islam: Hukum Allah (3)

NU Online  ·  Ahad, 13 Agustus 2017 | 20:02 WIB

Oleh: KH Muhammad Machasin

Kembali kepada Khawārij, selain kegigihan mereka untuk menggembar-gemborkan keharusan untuk berhukum dengan hukum Allah dalam pengertian yang sangat terbatas dengan pemahaman mereka sendiri, mereka menekankan keterkaitan iman dengan perbuatan. 

Iman dan perbuatan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Iman mesti diwujudkan dalam perbuatan dan perbuatan menunjukkan iman. Iman bertambah dan berkurang sesuai dengan perbuatan. Jika perbuatan rusak, rusak pula iman.

Sebenarnya tidak hanya kaum Khawārij yang berpendapat seperti itu. Di antara ajaran kaum Sunni terdapat rumusan sebagai berikut: iman adalah keterikatan dalam hati, pernyataan dengan lidah dan perbuatan dengan organ tubuh. 

Akan tetapi, kaum Khawārij menerapkannya dengan sangat kaku, tanpa kompromi dengan keadaan. Pemimpin orang beriman, mereka berpendapat, mestilah orang yang tidak melakukan kesalahan yang akan merusakkan iman, padahal tidak ada orang yang tidak melakukan kesalahan. Kesalahan yang merusakkan iman ini disebut dosa besar (kabīrah, jamak kabā’ir). Kesalahan itu pun mereka definisikan sendiri sesuai dengan pemahaman mereka, kemudian mereka pun sering kali menerapkan hukuman sendiri terhadap orang-orang yang mereka anggap melakukan kesalahan. 

Contoh yang paling menonjol adalah ketika mereka mempersalahkan ‘Ali, Muʻāwiah dan ‘Amr bin al-‘Āṣ sebagai penyebab kekacauan sehubungan dengan perang Ṣiffīn antara ‘Ali dan Muʻāwiah, lalu memutuskan untuk membunuh mereka bertiga. Dua hal perlu diperhatikan di sini.

Pertama, penilaian mereka bahwa kesalahan ketiga orang ini layak membuat mereka dihukum mati. Siapa yang sebenarnya berhak untuk mengatakan bahwa ketiga orang itu salah? Orang perorang atau siapa? Di dalam Al-Qur’an disebutkan agar orang Islam taat kepada Allah, Rasul dan pemangku kepentingan umat Islam (ūlū al-amr minkum); lalu kalau terdapat perselisihan, umat diperintah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Masalahnya kemudian, siapa yang memutuskan bahwa orang benar-benar kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara teks-teks Al-Qur’an tidak memberikan rumusan yang jelas dan siap pakai mengenai masalah yang dipersengketakan?

Kedua, pikiran mereka bahwa mereka sendirilah yang mesti melaksanakan keputusan itu. Hal ini berasal dari kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka berasal dari suku-suku pengembara yang sedikit sekali mengenal hukum. Di daerah yang di dalamnya tidak ada sistem hukum, orang bisa saja melakukan hal-hal yang menurutnya mesti dilakukan untuk menjaga kepentingannya dan sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Orang tidak merasakan perlunya sistem hukum yang melindungi individu dan masyarakat, melainkan kekuatan—diri sendiri, kelompok atau gabungan beberapa kelompok—fisik dan/atau senjata serta kelicikan. 

Tindakan main hakim sendiri ini, walaupun mungkin didasarkan pada bukti-bukti yang dapat dikatakan benar, akan merusak sistem hukum.


Penulis adalah Mustasyar PBNU