Opini

Pemeriksaan Hakim Progresif

NU Online  ·  Sabtu, 24 September 2016 | 00:00 WIB

Oleh Muhtar Said 

Jessica Kumala Wongso, warga biasa yang menjadi “buah bibir” di Indonesia karena dia diduga membunuh Wayan Mirna Salihin dengan cara memasukan racun sianida ke dalam minumanya. Peristiwa ini terjadi di Restaurant Olivier, West Mall, Ground Floor, Grand Indonesia, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat,

Kasus Jessica ini mampu menyedot animo publik sejak seringnya media-media sering mengulang pemberitaanya dengan menampilkan adegan-adegan yang terekam dalam kamera Closed Circuit Television (CCTV). Sehingga masyarakat mudah mengkonsumsinya dan menjadikannya bahan obrolan, baik obrolan diranah akademisi, praktisi maupun sampai dengan di warung kopi.

Pembunuhan Mirna dengan cara diracun ini mampu menutupi pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib (Munir) yang juga sama-sama meninggal karena di racun. Padahal kalau ditimbang-timbang pembunuhan Munir seharusnya lebih diutamakan ketimbang pembunuhan Mirna kalau dilhat dari sudut kacamata kemanfaatannya bagi masyarakat. akan tetapi pembunuhan Munir sampai sekarang kasusnya masih belum tertuntaskan. 

Hal inilah yang menjadi pertanyaan, Munir seorang aktivis HAM yang sumbangsihnya terhadap kemanusian tidak diragukan lagi saja sampai sekarang belum tuntas, apalagi (tanpa berniat untuk merendahkan) Mirna seorang warga biasa. Akan tetapi sebagai warga Indonesia, harus bersikap optimis dan mendukung lembaga peradilan untuk membuat putusan yang seadil-adilanya, begitu juga dengan peristiwa pembunah Mirna dengan terdakwa Jessica juga harus diputuskan dengan adil oleh Hakim yang menanganinya.

Pemberitaan media massa mengenai pembunah Mirna semakin menjad-jadi ketika memasuki ranah pembuktian. Kasusnya dibuat seperti drama telenovela oleh media, sejak memasuki pemeriksaan saksi ahli. Dalam ranah ini, saksi ahli dimintai keterangangnya untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya.

Keterangan ahli: tambahan alat bukti

Keterangan saksi ahli yang didatangkan oleh kedua belah pihak (Kuasa Hukum dan Jaksa Penuntut Umum) ternyata bukan malah memberikan pencerahan bagi masyarakat, namun dirasa malah semakin menambah cerita drama dalam kasus pembunuhan Mirna. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing saksi ahli memberikan keterangan yang berbeda.

Pada dasarnya hakim bisa menjatuhkan vonis hukuman kepada terdakwa apabila sudah mendapatkan alat bukti, seperti yang tercantum dalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketika dua alat bukti dirasa oleh hakim tidak terpenuhi, maka hakim mempunyai kewajiban untuk membuat putusan bebas bagi terdakwa.

Melihat persidangan kasus pembunuhan Mirna bisa memberikan gambaran, Majelis Hakim sedang mendalami kasus tersebut karena Hakim menerima saksi ahli yang diajukan oleh kedua belah pihak. Dalam hal Hakim menerima pengajuan saksi ahli yang ditawarkan oleh kedua belah pihak untuk didengarkan keterangannya juga dibenarkan oleh undang-undang. Dalam Pasal 184 ayat (1) ketengan ahli juga merupakan salah satu dari alat bukti yang sah, empat alat bukti yang sah lainnya adalah keterangan saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Jadi, pada dasarya hakim boleh menolak pengajuan saksi hali yang ditawarkan oleh kedua belah pihak kalau sudah ditemukan dan diyakini adanya dua alat bukti. Pasal 183 KUHAP merupakan batas minimal alat bukti yang digunakan untuk membuat putusan. Hal itu menandakan apabila alat bukti kurang dari dua maka, terdakwa bisa diputus tidak bersalah dan hakim memutus bersalah kepada terdakwa apabila ada dua alat bukti atau lebih.    

Kewenangan hakim untuk menerima keterangan ahli itu bisa jadi karena adanya pengaruh dari opini-opini dari masyarakat yang disebarkan oleh banyak media massa. Seharusnya hakim tidak harus mempedulikan opini yang berkembang di masyarakat, namun dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kewajiban kepada hakim untuk menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Keterangan ahli dari dua belah pihak bisa jadi dibutuhkan karena hakim ingin menggali dan menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat dalam putusannya kelak. Akan tetapi keterangan ahli yang didatangkan oleh masing-masing pihak ternyata malah menambah runyam proses pemeriksaan di Pengadilan. Hal yang ditakutkannya adalah goyahnya pendirian Hakim sehingga dikahwatirkan Hakim akan membuat putusan blunder.

Saksi ahli dari pihak hakim

Jika hakim merasa bingung dengan keterangan saksi ahli yang didatangkan oleh kedua belah pihak maka, hakim juga bisa mendatangkan saksi ahli yang ditunjuk olehnya sendiri. Saksi ahli ini bisa menjadi penengah terhadap saksi ahli yang didatangkan oleh kuasa hukum Jessica maupun Jaksa Penuntun Umum. 

Memang, belum ada dasar seorang hakim yang mendatangkan saksi ahli dalam kasus pidana biasa. Untuk itu hakim harus berani mendatangkan saksi ahli supaya menjadi penengah bagi saksi ahli-saksi ahli yang didatangkan oleh pihak yang berperkara.

Hakim bisa belajar atau merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (selanjutnya di sebut SEMA No 13 Tahun2008). Pada hakikatnya Sema No 13 Tahun 2008 ini digunakan untuk menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan delik Pers. 

Dalam SEMA No 13 Tahun 2008 ini menyatakan, Hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli dalam bidang Pers. Model-ini juga bisa ditiru oleh Hakim yang menangai kasus pembunuhan Mirna. SEMA No 13 Tahun 2008 ini digunakan sebagai bentuk atau iktikad baik  Hakim dalam menggali nilai-nilai hukum dan berusaha menciptakan putusan yang mampu menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat.

Untuk hal ini, dibutuhkan hakim yang berani dalam melakukan terobosan hukum, mengingat (tidak bermaksud meragukan saksi hali dari kedua belah pihak) saksi ahli yang didatangkan oleh kedua belah pihak malah semakin membingungkan hakim dalam merumuskan putusan. 

Namun, tidak semua hakim berani untuk melakukan terobosan hukum seperti ini, yang berani melakukan langkah-langkah fenomenal ini adalah hakim-hakim yang madzhab hukum progresif. Hakim progresif harus mampu dan berani membawa misi hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum (M. Amin : 2011).

Jika untuk misi hukum adalah untuk manusia, maka hakim yang memimpin sidang kasus pembunuhan Mirna Salihin harus berani menghadirkan saksi ahli yang “berpihak” padanya, sesuai dengan SEMA No 13 tahun 2013, meskipun SEMA tersebut tidak ditujukan untuk pidana umum.***

Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum, Dosen Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.