Opini

Patriotisme Santri dan Spiritualitas Pemuda

NU Online  ·  Ahad, 22 Oktober 2017 | 12:00 WIB

Oleh: Ach. Mudzakki M
Bulan oktober tahun ini begitu banyak berkah melimpah, terkhusus di kota istimewa
Yogyakarta. Pada tanggal 4-8 Oktober 2017 lalu, telah hadir para punggawa
sastra, seperti Sapardi Joko Darmono, Seno Gumira Adjidarma, Afrizal Malna dan lainya.Di
bulan Oktober juga beberapa peristiwa sejarah kemerdekaan terekam yakni Hari Santri Nasional
dan Sumpah Pemuda. Terkhusus Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22
Oktober,dikenang sebagai hari peringatan peran besar kaum kiai dan para santri dalam
perjuangannya melawan penjajah yang dikenal dengan resolusi jihad dari Mbah KH.
Hasyim Asy’ari 22 Oktober silam. Kemudian Sumpah Pemuda yang dikenang sebagai salah satu
tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kedua ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita
berdirinya negara Indonesia. Yang dimaksud dengan sumpah pemuda adalah keputusan kongres
pemuda kedua yang diselenggarakan dua hari 27-28 oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Begitu
istimewanya bulan ini. Dua persitiwa yang erat satu sama lain, terjadi dalam jarak yang begitu
dekat di bulan yang sama, Oktober.

Menukil apa yang disampaikan oleh Gus Mus, "Santri bukan yang mondok saja, tapi
siapa pun yang berakhlak seperti santri, dialah santri." Dalam hemat penulis santri adalah karakter
menggambarkan ke-Islam- an yang baik dan ideal. Pemaknaan santri sebagai bentuk karakter
ideal tidak semata-mata sebatas pernyataan kosong. Rekam sejarah telah mencatatperan para
pemuda santri, baik santri sebagai orang yang tinggal atau pernah tinggal di pesantren maupun
santri sebagai sebuah karakter.

Hari Orang Islam Indonesia
Hari Santri ialah hari orang Indonesia yang beragama Islam. Diperingati sebagai momen
terpilih merepresentasikan substansi kesantrian; spiritualitas dan patriotisme.Secara substansial,
hal ini adalah anugerah yang belum tentu dimiliki umat Islam di belahan bumi lain.Dari sejumlah
aspirasi yang berkembang selama ini, tanggal 22 Oktober 1945 merupakan pilihan yang paling
mewakili substansi tersebut.Hari dimana Mahaguru KH. Hasyim Asy’ari memberikan fatwa
yang masyhur sebagai Resolusi Jihad yakni membela kemerdekaan Indonesia adalah jihad.

Resolusi jihad ini lahir melalui musyawarah ratusan kyai dari berbagai daerah di Indonesia
untuk merespon agresi Belanda yang kedua. Resolusi jihad telah memuat seruan-seruan penting
yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa. Dalam
situasi kritis dan darurat, mempertahankan kemerdekaan tanah-air bernilai fardlu ‘ain (wajib
secara perseorangan) dan kehilangan nyawa dari hal tesebut merupakan syahid.

Jihad dalam keyakinan santri menyatu dengan kesadaran bertanah-air. Sangat kontradiktif
dengan makna jihadkontemporer yang dimaknai sebagai dasar melakukan teror. Tanah air bagi
santri adalah urusan hidup dan mati. Satu falsafah kehidupan dimana spiritualitas dan patriotisme
hadir dalam rumusan yang padu dan menggugah.

Spiritualitas dan Patriotisme
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-XVI yang diadakan di Purwokerto, menghasilkan
sebuah pendapat bahwa: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang
haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata
ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan
kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi,
kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)”

Fatwa ini selama berpuluh-puluh tahun tetap segar dan hidup dalam ingatan kolektif
banyak orang di berbagai penjuru Indonesia. Tidak heran bila dilihat sebagai kurva peristiwa,
Resolusi Jihad memang mengakar pada mata rantai perjuangan panjang dan menggerakkan
begitu banyak kekuatan rakyat. Penelitian sejarah atas peristiwa ini memperlihatkan bahwa dari
segi substansi dan jaringan gerakan, Resolusi Jihad dapat ditarik jauh hingga masa Perang Jawa
seabad sebelumnya. Pada kronika berikutnya, Resolusi Jihad menjadi preseden yang
memungkinkan rentetan peristiwa monumental lain. Tanggal 10 November yang diperingati
sebagai hari pahlawan merupakan akibat lanjutan peristiwa 22 Oktober.

Santri dan pemuda adalah komponen yang erat berkaitan, terkhusus untuk menjaga
keutuhan NKRI dari manusia yang tak bertanggung jawab, segelintir orang atau kelompok yang
rendah diri dan rendah budi dan tega melecehkan dan merusak negerinya sendiri. Kapasitas
santri tidak dapat diragukan cintanya pada negerinya. Begitun pemuda pendahulu kita yang juga
telah bersepakat membangun negeri Indonesia dengan berjuang melawan penjajah walaupun
harus nyawanya yang terkorbankan.

Santri dan Pemuda
Taufik Abdullah sejarawan indonesia memandang pemuda sebagai generasi baru dalam
sebuah komunitas masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sedangkan
pemaknaan santri menurut KH. Slamet Effendy Yusuf (Alm), dalam wawancara republika saat
menjabat Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, orang yang hidup dalam pola
kehidupan yang mengamalkan agama Islam dengan sebaik-baiknya, mencintai negeri, dan mau
berkorban untuk negara. Unsur utamanya yaitu kiai, pesantren, dan santri. Dan di luar itu semua
santri adalah masyarakat yang jauh lebih luas dan mengamalkan Islam dalam rangka menjaga
kemaslahatan umum.

Historitas bangsa Indonesia menunjukkan bahwa berdirinya bangsa dan negara hingga
pembangunan banyak dipelopori oleh pemuda. Dalam sejarah peran pemuda telah ada jauh
sebelum Indonesia merdeka. Pertama, tahun 1905 berdirinya serikat dagang Islam yang didirikan
oleh HOS Jokroaminoto, berisikan pemuda-pemuda Islam termasuk Soekarno. Kedua tahun
1908, kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya kelompok belajar Boedi Utomo
yang merupakan organisasi priyai jawa pada 20 Mei 1908. Ketiga tahun 1928, yang dikenal
dengan Sumpah Pemuda, ditandai dengan kongres pemuda pada bulan oktober. Keempat tahun
1945, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kiranya, dengan adanya momentum kepemudaan dapat mengilhami dalam tugas-tugas
pengabdian kepada bangsa dan negara. Seiring perubahan zaman dengan generasi yang datang
silih berganti. Diharapkan tangguh berdialektika serta merespon dinamika di tengah kemajuan
dunia yang kian cepat. Dan mengajarkan pentingnya rasa persatuan demi terwujudnya bangsa
yang bermartabat.
*
Penulis adalah santri Pesantren Al-Fatah, Parakancanggah, Banjarnegara dan aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan Lembaga Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta