Opini

Paradoks Surplus Pangan Bagai Ayam Mati di Lumbung Padi

NU Online  ·  Selasa, 14 Agustus 2018 | 08:30 WIB

Paradoks Surplus Pangan Bagai Ayam Mati di Lumbung Padi

foto: majalah Kartini

Oleh: Akhmad Jani Masyhudi

Ketahanan pangan adalah salah satu isu besar dunia selain energi dan lingkungan hidup. Diakui atau tidak, sebagai negara agraris ketahanan pangan kita masih rapuh. Produksi dinyatakan lebih, tapi beras masih impor. Sehari-hari para petani menghasilkan beras, tapi justru menjadi penerima raskin yang saat ini disebut sebagai rastra.

Menurut Kementerian Pertanian, tahun 2017 produksi padi mencapai 81,3 juta ton atau setara 47,29 juta ton beras. Sementara total konsumsi beras sekitar 33,47 juta ton. Secara nasional ada kelebihan (surplus) 13,82 ton beras. Diperkirakan tahun 2018 ini juga masih mengalami surplus bera mencapai 5 juta ton. Meski produksi lebih, tahun 2018 pemerintah memutuskan tetap melakukan import beras mencapai 500.000 ton. Situasi yang terbalik atau paradoks inilah yang sedang terjadi dalam sektor pangan.

Beras adalah jenis pangan yang paling besar dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, konsumsi beras di Indonesia mencapai 130 kilogram per kapita per tahun, dan tahun 2014 mencapai 124 kilogram per kapita per tahun, kemudian tahun 2017 mencapai 117 kilogram per kapita per tahun. Menurut data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur, rata-rata konsumsi beras di Jatim 91,26 kilogram per kapita per tahun. Angka ini masih jauh lebih tinggi di atas rata-rata konsumsi beras negara-negara Asia. Korea Selatan 40 kilogram per kapita per tahun, Jepang 50 kilogram per kapita per tahun, Malaysia 80 kilogram per kapita per tahun, dan Thailand 70 kilogram per kapita per tahun. 

Tingginya konsumsi ini menyebabkan beras menjadi salah satu komoditi strategis sekaligus politis karena menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Dibutuhkan setiap orang, tiap hari dalam jumlah yang sangat besar. Tingginya kebutuhan beras tentunya memerlukan pasokan yang cukup. Juga distribusi yang merata serta harga yang terjangkau. Ketimpangan salah satunya akan rentan sekali menimbulan masalah. 

Presiden Joko Widodo dalam rapat koordinasi nasional pengendalian inflasi (26 Juli 2018) menyampaikan perlunya koordinasi dalam mengamankan distribusi beras. Pesan Presiden, jangan sampai terjadi keterbatasan pasokan sehingga menyebabkan inflasi. 

Disampaikan juga oleh Bapak Jokowi, distribusi pangan yang tidak tepat menyebabkan peningkatan harga pangan. Beras produksi Jawa Timur dikirim ke pasar Cipinang Jakarta, kemudian dibawa lagi ke Jawa Timur. Tentunya ada peningkatan biaya yang menyebabkan naiknya harga pangan. Padi hasil panen petani dibeli tengkulak. Diproses menjadi beras dijual ke pedagang di kota, kemudian dibeli lagi oleh pengecer dari desa dan dibeli lagi oleh petani.  Petani yang memproduksi padi, membeli beras yang dijual di kota. 

Kemampuan berproduksi harus diimbangi dengan kemampuan menyimpan cadangan pangan dan distribusi yang baik. Masalahnya, meski produksi dinyatakn surplus (lebih), namun stok yang ada di masyarakat sangat kecil. Hasil panen petani lebih banyak langsung dijual kepada tengkulak. Tidak salah, karena petani segera membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar hutang-hutangnya. Para petani tidak lagi menyimpan gabah untuk cadangan pangan mereka. Budaya mengisi lumbung pangan di desa-desa juga sudah mulai luntur. 

Inilah salah satu problem besar yang menyebabkan ketahanan pangan kita rapuh. Berapa pun besarnya produksi tidak akan ada artinya apabila stok hasil produksi hanya dikuasai oleh swasta (pengusaha). Ini sama saja artinya dengan petani hanya bekerja untuk memakmurkan pengusaha sementara dia sendiri kesulitan pangan dan ekonomi. 

Dalam hal menjaga ketahanan pangan, sebenarnya nenek moyang kita memiliki budaya dan kearifan lokal dalam bentuk menyimpan pangan di lumbung. Lumbung  berfungsi untuk menyimpan padi ketika panen raya, kemudian dikeluarkan saat musim paceklik. Lumbung inilah yang diharapkan memiliki fungsi utama dalam menjaga ketahanan pangan di daerah. Baik ketersediaan, distribusi maupun keterjangkauan pangan. Memang sudah ada Perum Bulog. Lembaga pemerintah yang memiliki tugas pokok mengelola pangan. Menjaga ketersediaan, distribusi dan stabilisasi pangan. Tapi Bulog saja tidak cukup. Terbukti polemik nasional soal pangan selalu terjadi setiap tahun. 

Ketika lumbung bisa dikelola dengan baik, dia bisa menjadi sarana menjaga ketersediaan pangan sekaligus instrumen penggerak ekonomi desa. Salah satu lumbung yang mampu berfungsi secara optimal adalah lumbung pangan di Dusun Dander, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang. Manduro adalah sebuah desa dipinggiran Kecamatan Kabuh. Terletak di kawasan paling utara Kabupaten Jombang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan. Manduro dikenal sebagai daerah yang relatif tandus dibandingkan rata-rata daerah lain di Jombang. Panen padi hanya sekali dalam setahun. 

Meski daerah relatif tandus, panen padi hanya sekali dalam setahun, warga Manduro tidak pernah sampai mengalami kelangkaan pangan. Di Manduro pangan (beras) tersedia sepanjang tahun dengan harga paling tinggi hanya sekitar Rp8.200 per kilogram.Ketersediaan beras yang stabil dan terjangkau tidak lepas dari budaya menyimpan pangan yang masih kuat para petani Manduro. Baik secara individu maupun di lumbung yang dikelola oleh Dusun.

Tidak hanya sebagai lembaga penyimpanan cadangan pangan, Lumbung Pangan Dusun Dander, Desa Manduro telah berkembang sebagai salah satu penopang kegiatan ekonomi anggotanya. Dengan asetnya yang makin besar kelompok Lumbung di Dusun Danderjuga menyelenggarakan usaha simpan pinjam, unit perdagangan pangan dan usaha slep keliling. Lumbung yang semula hanya sebagai cadangan pangan ketika paceklik telah berkembang menjadi penopang keberdayaan ekonomi anggotanya. 

Inilah sebuah contoh kecil bagaimana sebuah masyarakat membangun ketahanan pangannya. Mereka berproduksi sekaligus mampu menyimpan (menabung) untuk cadangan pangannya dalam lumbung. Bahkan fungsinya berkembang sebagai sarana usaha untuk meningkatkan pendapatan anggotanya. 

Lumbung adalah kearifan lokal para petani nusantara. Kalau lumbung pangan yang ada di desa-desa bisa dihidupkan makaketersediaan pangan akan lebih stabil. Dengan lumbung yang berkembang kegiatan ekonomi di desa juga akan lebih dinamis. Kebutuhan pangan keluarga akan tercukupi. Fluktuasi harga pangan yang tajam tidak terjadi. Gejolak inflasi karena pangan juga bisa dihindari.

Tapi, kalau kita tidak mampu membangun sistem cadangan pangan, bisa-bisa benar kata pepatah, bagai ayam mati di lumbung padi. Dan, gejala ini yang saat ini sedang terjadi. Karena itu, pilihannya adalah bangkitkan lagi lumbung untuk wujudkan ketahanan pangan nasional. 

Penulis adalah  Penyuluh Pertanian Kabupaten Jombang, Dosen Fakultas Pertanian Unwaha Jombang, da Pengurus ISNU Jatim.