Opini

Paradoks Agama

NU Online  ·  Jumat, 4 Maret 2016 | 22:39 WIB

Paradoks Agama

Tolerantia: Potongan gambar film animasi oleh Ivan Ramadan

Oleh Adang Saputra

Agama menjadi persoalan serius tatkala dihadapkan dengan kasus terorisme, radikalisme dan ekstremitas. Dengan artian bahwa ketika kasus teror terjadi biasanya agama si pelaku (teroris) menjadi sorotan. Ujung-ungungnya agama dikambinghitamkan.

Pengambinghitaman agama tersebut bisa dilihat dari dua arah. Pertama, dari arah si pelaku: agama dijadikan alat kamuflase terorisme. Agama dijadikan kedok kekerasan. Kedua, dari arah korban dan saksi: agama dianggap sebagai biang kekerasan. Agama diidentikkan dengan bom dan pedang. Agama dipandang garang, antagonistik.

Kasus teror bom Thamrin Jakarta yang terjadi pada pertengahan Januari lalu, misalnya. Muncul berbagai spekulasi di kalangan pakar dan pengamat. Sebagian besar memandang kasus ini bertalian dengan persoalan politik-keagamaan yang dinisbatkan pada ISIS dan kelompok ekstrem-radikal lainnya. Kasus ini diduga sebagai ‘dendam’ kepada pemerintah. Lantaran pelarangan keras masyarakat untuk bergabung dengan ISIS atau kelompok ekstremis lainnya. Sampai-sampai beberapa masyarakat yang sudah berangkat ke Suriah pun ditarik kembali ke Indonesia. Harapan untuk menjadi jihadis khilafah islamiyyah pun pupus begitu saja. Padahal bagi mereka, menjadi ‘jihadis’ berarti berjuang membela agama. Imbalannya surga disertai bidadari.

Di lain sisi, kasus ini memunculkan penilaian negatif tentang agama, khususnya Islam. Kalangan outsider maupun insider mengidentikkan Islam (baca: agama) dengan doktrin terorisme. Lantaran para jihadis berpaham ekstrem-radikalseperti ISIS ataupun Al Qaeda kerap menggunakan ayat-ayat suci sebagai dasar tindakan destruktifnya. Misalnya ayat Alquran (02:191), “Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan jangalah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Tak jarang ulah kelompok ekstrem-radikal tersebut membuat sebagian orang frustasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan membuat sebagian muslim memilih untuk ‘pensiun’ dari Islam.

Ini mengingatkan pada buku Leaving Islam: Apostates Speak Out terbitan Prometheus Books, New York 2003. Buku antologi yang diedit Ibnu Warraq (nama samaran), seorang ‘pensiunan’ muslim kelahiran Rakjot, India. Dalam buku ini sejumlah eks-muslim bersuara lantang memberi kesaksian tentang kebobrokan perilaku kelompok ektrem-radikal di beberapa negara berbasis Islam. Seperti Pakistan, Iran, Bangladesh, Afganistan, Arab Saudi dan lain-lain.

Perlu diketahui bahwa sebelumnya para penulis buku tersebut adalah sarjana cum aktivis muslim. Lantaran mereka menyaksikan kenyataan mengerikan dari kelompok ekstrem-radikal, akhirnya mereka ‘pensiun’ dari Islam. Bahkan sebagian besar dari mereka memilih ‘hengkang’ dari negaranya dan tinggal di Barat. Khususnya Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Eropa Barat. Dengan pertimbangan; Pertama, jika tetap tinggal di negara asal, mereka akan dibunuh lantaran dicap ‘murtad’ dan Kedua, atmosfir sekaligus jaminan kebebasan beragama di Barat lebih kondusif.

Buku ini penting untuk disimak sebagai kritik atas tindakan bobrok kelompok ekstrem-radikal.Mereka kerap menebarkan kekerasan berkedok agama. Tak terkecuali teror dan pembunuhan.

Paradoks

Tulisan Ali Sina berjudul “Why I Left Islam: My Passage from Faith to Enlightenment,” memberi kesaksian tentang paradoks pengambinghitaman agama di negaranya, Iran. Menurutnya, sejak Ayatollah Khomeini berhasil menggulingkan diktator Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979 ideologi sekuler negara pun segera diganti dengan ‘ideologi Islami’. Alih-alih menegakkan ‘kedaulatan Tuhan,’ justru yang terjadi adalah penegakan ‘otoritas kedaulatan Khomeini’ melalui agen rahasianya bernama Sazamane Etelaat Va Amniate Kechrar (SEVAK). Khomeini bersama para pendukungnya mengeksekusi siapapun yang tidak mau tunduk pada otoritas politik-keagamaannya. Tak terkecuali bekas sekutunya.

Maka pada saat Imam Khomeini berkuasa, nyawa pun tampak begitu murah. Ribuan orang Irak dibunuh sebagai efek ‘Perang Teluk’ antara Iran-Irak. Ribuan pengikut Bahai Faith disiksa dengan tuduhan ‘murtad’. Ribuan penduduk Iran dipenjara lantaran menolak otoritas politik-keagamaan sang Imam.

Bahkan nasib kaum perempuan lebih tragis. Sebelum dibunuh mereka diperkosa terlebih dalu oleh “tentara syari’at” Khomeini. Alasannya pun konyol, pemerkosaan dianggap sebagai ‘penyucian dosa’ akibat makar terhadap sang Ayatollah sekaligus tiket masuk surga.

Peristiwa tragis ini membuat Ali Sina trauma sekaligus kehilangan kepercayaan terhadap Islam. Ia pun memilih ‘pensiun’ dari Islam. Kini ia mendirikan wadah advokasi kebebasan keyakinan bernama “Faith Freedom Foundation.

Tak hanya Ali Sina, beberapa penulis lainnya pun menuturkan kesaksian senada. Seperti Abul Kasem asal Bangladesh, Sheraz Malik asal Pakistan, Anwar Shaikh asal Pakistan-Britain, Nadia asal Marocco, Samia Labidi asal Tunisia, Azad asal India, dan masih banyak lagi. Mereka trauma dan kehilangan kepercayaan terhadap Islam, hingga akhirnya mereka memilih ‘pensiun’ dari Islam. Bahkan hengkang dari negara asalnya.

Jika diperhatikan, sejatinya para penulis buku tersebut tak jauh beda dengan kelompok esktrem-radikal yang mereka kritik. Mereka sama-sama mengambinghitamkan agama. Kelompok ekstrem-radikal mengambinghitamkan agama untuk tindakan ekstremnya. Mereka menggunakan agama sebagai ‘kedok’ terorisme. Dengan dalih “syariatisasi”, “khilafah islamiyyah”, atau “asas islami” untuk menciptakan kedamamaian, keadilan dan kesejahteraan yang dikemas dengan bahasa “rahmatan lil ‘alamin.” Namun jalur yang ditempuh justru kontras.

Sedangkan para penulis buku tersebut mengambinghitamkan agama untuk pengalaman traumatisnya. Mereka menganggap agama sebagai ‘biang’ radikalisme dan terorisme. Mereka mengidentikkan agama dengan pedang dan pengeboman. Padahal trauma yang mereka rasakan sejatinya disebabkan oleh tindakan kelompok ekstrem-radikal yang keliru menafsirkan ajaran agama. Bukan disebabkan ajaran agama itu sendiri.

Oleh karena itu, perlu dibedakan antara pemahaman keagamaan dengan agama itu sendiri. Agama tidak mungkin mengajarkan terorisme dan ekstremitas. Sebab hal itu sangat bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri sebab agama tidak menghendaki kekacauan dan kerusakan.

Sedangkan perilaku sadis kelompok ekstrem-radikal sudah masuk wilayah pemahaman keagamaan yang terikat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Bisa berupa kepentingan kekuasaan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga pemahaman keagamaan tidaklah sama dengan ajaran agama.Terorisme, radikalisme, dan ekstremitas bukanlah ajaran agama.


Penulis adalah Analis Masalah Sosial-Keagamaan, Alumni Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta