Opini

Pancasila Tetap Kokoh

NU Online  ·  Sabtu, 19 Agustus 2017 | 09:01 WIB

Oleh Suwarsa

Di era Orde Baru, Pancasila ditempatkan sebagai asas tunggal, hingga tahun 1970-an, baik partai politik, organisasi massa, dan lembaga-lembaga lainnya diharuskan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Konsekuensi yang terjadi, jika ada lembaga apa pun tidak menjadikan Pancasila sebagai asasnya, sudah tentu lembaga tersebut akan diberangus, dibekukan, dan dianggap sebagai sebuah ancaman bagi negara.

Sikap pemerintah Orde Baru seperti ini bukan didasari oleh rasa takut terhadap kekuatan lain, kecuali untuk menertibkan kehidupan berbangsa dan bernegara, setelah selama dua dekade sebelumnya, terjadi diskursus dilakukan oleh tiga kelompok besar: agama, nasionalis, dan komunis. Dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal oleh pemerintah Orde Baru karena pemerintah saat itu menilai, agar dua kelompok besar yaitu agama dan nasionalis tetap berada dalam satu wadah setelah kelompok komunis sama sekali tidak memiliki tempat lagi di negara ini.

Penataran P4 diberlakukan, seperti doktrin dari negara agar masyarakat benar-benar mengenal Pancasila sebaga dasar kehidupan bernegara. Departemen Agama pun memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak bertentangan sama sekali dengan nilai dan ajaran agama apa pun. Pancasila merupakan pedoman kehidupan. Di sekolah-sekolah dasar diajarkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), agar sejak dini, anak-anak Indonesia bersikap dan berucap selaran dengan nilai-nilai Pancasila.

Meskipun pada dasarnya, karena kekuasaan di era Orde Baru bersifat sentralistik, etika atau moral yang diajarkan kepada para peserta didik sebenarnya merupakan etika dan moralitas Jawa, paling tidak sopan-santun dan tatakrama dalam kehidupan begitu terlihat dalan keseharian.

Partai Komunis Indonesia dan kelompok-kelompok yang memiliki haluan Marxis, Leninis, dan Sosialis dinyatakan sebagai organisasi dan gerakan terlarang oleh Orde Baru. Kendati pun demikian, meskipun alam bawah sadar bangsa Indonesia telah menyatakan berbahayanya ideologi tersebut, pemerintah tidak main-main, secara intensif, pemerintah menyebutkan tentang ancaman dan bahaya laten komunis. Sebagai sebuah ideologi, komunisme tetap akan bergerilya dan eksis keberadaannya.

Fundamentalisme dan radikalisme juga sering disematkan kepada gerakan-gerakan kaum radikal agama. Orang-orang yang tergolong dalam kelompok agama dinyatakan sebagai ekstrem kanan. Mereka sering dikaitkan dengan gerakan DI/TII Kartosuwiryo, dicap sebagai kelompok radikal yang sama bahayanya dengan kelompok komunis karena kedua kelompok ini telah berusaha mengganti Pancasila sebagai dasar negara oleh ideologi lain yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak.

Pengebirian pemerintah Orde Baru terhadap simbol-simbol dan gerakan anti-Pancasila selama tiga dasawarsa pada dasarnya tetap tidak menjadikan dua kelompok tersebut benar-benar lenyap dari bumi Indonesia. Metamorfosis terjadi, dua kekuatan radikal secara terus menerus melakukan gerilya, melakukan kaderisasi dan rekruitment secara laten di medio 80-an. Mereka tetap menyadari bahwa kunci untuk menguasai negara ini terletak pada Pancasila itu sendiri. Kelompok radikal berhaluan agama mempersoalkan kembali sila pertama dari Pancasila, mereka harus mengembalikan kembali Pancasila yang sesuai dengan Piagam Jakarta, Pancasila yang murni dan pertama kali dicetuskan oleh para founding father. Sebaliknya, kelompok komunis selalu membesarkan sila kelima dari Pancasila sebagai landasan berpijak sosialisme di Indonesia. 

Telah terjadi keputusasaan dari kedua kelompok ini, pada akhirnya kelompok pertama yang menginginkan dikembalikannya kembali tujuh kata dalam sila pertama sering menyebutkan Pancasila yang digunakan oleh Orde Baru sebagai thoghut, Soeharto dan antek-anteknya telah menjelma menjadi sosok Firaun yang zalim dan memperbudak Bani Israel. Orde Baru merupakan Nimrod yang memusumi Ibrahim. Pada akhirnya, ayat-ayat suci di dalam Al-Qur’an pun dijadikan dalil untuk melegitimasi dan memengaruhi masyarakat. Mereka menghadirkan ayat-ayat tentang kisah nabi-nabi yang sering melawan penguasa zalim atau lalim. 

Usaha mereka sedikit berhasil, kelompok-kelompok kanan secara perlahan telah menyemaikan benih-benihnya yang pada akhirnya, pada medio 80-an muncul klandestin keagamaan di beberapa wilayah. N11 sebagai sebutan bagi NII bersembunyi dalam gerakan Darul Arqom yang datang dari Malaysia. Mereka bergerak di bidang ekonomi yang menurut mereka sistem ekonomi syariah telah sesuai dengan dalil di dalam kitab suci. Simbol keagamaan seperti cadar sendiri baru dapat mereka perlihatkan di akhir tahun 1980-an. Mereka menciptakan jaringan berdakwah ke kampus dan sekolah-sekolah, menjejali para mahasiswa dan siswa dengan ideologi keagamaan, jargon mereka yaitu: agama tidak sekadar fiqh, lebih dari itu politik atau siyasah pun merupakan bagian penting dari agama yang kaffah atau utuh.

Strategi mereka melalui pemanfaatan psikologi massa, langkah pertama dengan cara menjelek-jelekkan pemerintah yang sah, skandal-skandal besar oleh para penguasa yang dianggap telah merugikan rakyat terutama telah memarjinalkan umat Islam, utang negara yang besar, kongkalikong pemerintah dengan para pengusaha, akibat buruknya diterima oleh umat. Setelah sebagian besar dari sasaran dakwah tersebut tergoncang psikologinya, kemudian mereka menawarkan barang atau ideologi yang dapat memperbaiki keadaan. Kesejahteraan dilukiskan, dapat mewujud jika aturan Tuhan telah tegak di Indonesia. Tanpa itu, jangan pernah berharap umat dapat hidup sejahtera. 

Kaum komunis juga melakukan balapan dengan kelompok sebelumnya, mereka memasuki kampus-kampus, menawarkan ide-ide dekonstruksi, mengenalkan internasionale, manifesto komunisme. Memperkenalkan tokoh-tokoh sosialis, memperkenalkan term borjuis yang jahat dan kaum proletar yang selalu ditindas. Memperkenalkan kembali term buruh yang telah diganti oleh Orde Baru dengan kata karyawan. Di akhir tahun 90-an, ide-ide marjinal mulai dicetuskan, adanya kaum marjinal, orang pinggiran, diterbitkan kembali buku-buku yang ditulis oleh pemikir berhaluan komunis menjadi tanda kelompok ini juga telah siap memainkan peran saat Orde Baru tumbang. Pada awalnya, kedua kelompok ini, baik kelompok radikal agama dan komunis tidak berkehendak memberangus Pancasila, kecuali ingin menjatuhkan kekuasaan Orde Baru yang telah mengikat kebebasan mereka dalam berpolitik praktis.

Bagi kedua kelompok radikal ini, tahun 1998 saat Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden merupakan harapan baru tentang keleluasaan mereka untuk memasuki politik praktis meskipun masih dengan agak malu-malu. Simbol-simbol kedua kelompok ini mulai terlihat kembali. Melalui kebijakannya Gus Dur berniat menghapus ketetapan MPR tentang PKI. Langkah strategis dari Gus Dur yang mengabarkan kepada kita bahwa kelompok komunis ini sebenarnya tidak musnah selama era Orde Baru. Upaya penghapusan Tap MPR ini juga merupakan strategi Gus Dur untuk menjebak kelompok radikal agama agar keluar dari sarangnya, mereka menentang kebijakan ini karena secara organik, pertentangan antara kaum radikal agama dengan komunis telah berlangsung saat SI Merah dipimpin oleh Semaun.

Upaya-upaya yang telah mereka tempuh, selama masa reformasi semakin gencar. Simbol agama sering dibawa dalam demonstrasi, kaum radikal agama memformalkan segala apapun yang berhubungan dengan ide-ide keagamaan. Jihad dikerdilkan atau dipeyorasikan, mereka menolak demokrasi kafir, memberikan label munafik kepada kaum muslim yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka menguasai berbagai lini kehidupan, tetap dengan semangat menjelekkan pemerintah yang sah karena kelompok mereka sama sekali belum tampil sebagai penguasa. Isu-isu konflik dan perang di Timur Tengah serta penindasan oleh pemimpin munafik dan kafir dihadirkan untuk mengecoh praduga umat, padahal kejadian dan akar masalah konflik di negara lain itu tidak sesuai apa yang sering kita duga. Konflik di dalam negara pada tahun 1998-2004 mereka beritakan sebagai peperangan global, perang salib yang telah berlangsung selama berjilid-jilid, dengan tanpa mengurai akar persoalannya. Padahal di dalam kondisi perang sama sekali tidak ada siapa yang baik atau jahat. 

Berbeda dengan kelompok radikal agama, kelompok komunis telah mengambil pelajaran dari peristiwa Madiun dan G 30 September. Merebut kekuasaan dengan cara kudeta merupakan tindakan gegabah yang hanya akan berujung pada kesia-siaan. Pada tahap kesadaran itulah mereka lebih mengambil strategi dengan cara bergerilya. Mereka memasuki partai politik yang sah, menguasai berbagai sarana hiburan, tetap berpancasila sambil meneriakkan ide-ide kebersamaan dan sosialisme, mencetak ribuan eksemplar surat kabar dan majalah. 

Pada akhirnya, antara mereka dan kelompok agama radikal memiliki tujuan yang sama: merebut kekuasaan dari orang-orang nasionalis dan agama yang moderat setelah 72 tahun Indonesia merdeka, mereka sama sekali belum pernah tampil memegang tampuk kekuasaan di negara ini. Mereka telah gagal meruntuhkan Pancasila yang pada akhirnya, mereka pun harus mengakui terhadap linuhungnya Pancasila sebagai landasan ideal bagi Indonesia. Saat ini, mereka dengan tidak rela harus mengatakan: kami tidak anti-Pancasila, tentu saja dengan sangat berat hati.


Penulis adalah guru MTs Riyadlul Jannah, anggota PGRI Kota Sukabumi