Opini

Pancasila Cermin Semangat Islam

NU Online  ·  Rabu, 3 Oktober 2018 | 07:30 WIB

Oleh: Nanang Qosim
Setiap tanggal 1 Oktober, kita sebagai bangsa Indonesia selalu diingatkan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara, yang pada waktu itu tentu saja dirumuskan secara sungguh-sungguh oleh para pendiri bangsa, kini masih menjadi bahan pendebatan yang mengemuka di ruang-ruang publik. Ada sebagian masyarakat yang memandang Pancasila sudah sesuai dengan masyarakat Indonesia yang plural. Sebab itu, tak perlu diotak-atik lagi. Namun, ada juga sekelompok orang yang memandang Pancasila sebagai dasar negara tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, karena itu harus diubah atau diganti.

Di tengah gencarnya berita tentang lunturnya semangat anak-anak bangsa Indonesia dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yang akhir-akhir ini banyak dikeluhkan oleh sejumlah kalangan, kita masih saja mendengar suatu pemikiran atau gagasan tentang ketidaksesuaian Pancasila dengan ajaran Islam, terutama oleh kelompok Islam radikal. Padahal, kalau kita amati secara seksama, Pancasila sebenarnya sudah sesuai dengan ajaran Islam. Semangat yang ada dalam kelima sila Pancasila dapat dikatakan sudah mencerminkan semangat Islam itu sendiri.

Kandungan religius, sosial, politis, moral, atau ekonomi yang terdapat dalam Islam sesungguhnya sudah terkandung dalam kelima sila dalam Pancasila. Sila kesatu: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini jelas memberikan dasar kuat bagi kehidupan umat Islam untuk beragama secara tulus dan otentik. Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, yang mengandung makna bahwa umat Islam harus menegakkan keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik dalam ranah individual maupun sosial.

Sila ketiga: Persatuan Indonesia, bisa dijadikan sebagai pembimbing bagi umat Islam Indonesia dalam kebhinekaan yang kaya dalam kehidupan plural.Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ini secara tegas memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui musyawarah dengan penuh tanggung jawab dan lapang dada, yang tentu saja nilai ini ada dalam ajaran Islam. Musyawarah adalah ruhnya, sedangkan demokrasi adalah teknis pelaksanaan musyawarah tersebut.

Dan sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang sudah pasti, ini terdapat di dalam ajaran Islam sekaligus menjadi ancangan yang akan dituju umat Islam dan seluruh bangsa ini.Namun realitas perjalanan bangsa Indonesia, terutama pascareformsi, menunjukkan bahwa yang terjadi justru kebalikan dari apa yang telah digariskan Pancasila. 

Beragam tragedi muncul yang tidak hanya dalam bentuk pengkhianatan sebagian orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain, dasar agama misalnya, tetapi juga seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), tindakan beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, perusakan fasilitas negara sekalipun dengan meneriakkan “Allah Akbar” yang semuanya tentu bertentangan dengan sila kesatu dan kedua Pancasila.

Tidak hanya itu, banyak tontonan berupa politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistem sosial budaya lokal secara paksa melalui undang-undang, dan ini merupakan bentuk pengkhiatan konstitusional yang bertentangan dengan sila ketiga. Sementara itu perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi juga tampaknya semakin jauh dari ruh Pancasila. Politik uang dan politik transaksional telah menghiasi Pemilu dan Pemilukada yang merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Sila keempat dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dikatakan telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Rakyat dari masa ke masa justru semakin tidak merasakan keadilan, tetapi penindasan yang sengaja dikembangkan. Lihat saja, misalnya, penguasaan sumberdaya-sumberdaya alam, misalnya minyak dan gas (Migas), oleh pihak asing yang semakin membabi buta. Dan, ini adalah kesalahan pemimpin-pemimpin di negeri ini yang tidak terlalu pandai memikirkan generasi masa depan bangsa.

Realitas di atas sebenarnya mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi persoalan serius, yang salah satunya, terlihat dari penegakan hukum dan moral yang lemah.Di sinilah sebenarnya, bangsa Indonesia, yang mayoritas umat Islam, seharusnya memberikan sumbangannya secara maksimal.

Misalnya, kaum muslim perlu menyadari betul bahwa kesalehan seseorang tidak hanya dalam bentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Sungguh sangat ironis jika bangsa yang hampir semuanya beragama ini masih suka berbuat korup, berkolusi, dan berbuat nepotis

Oleh karena itu, masalah utama dalam implementasi nilai-nilai luhur Pancasila salah satunya adalah masalah implementasi moralitas dan etika, terutama yang menyangkut ketulusan berbangsa dan bernegara. Nilai luhur Pancasila akan hilang ketika nilai-nilai dasar Pancasila hanya dijadikan jualan kecap para pejabat atau politikus demi melanggengkan kekuasaannya.

Jadi, sesungguhnya yang perlu kita lakukan adalah fokus terhadap implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, bukan malah memperdebatkannya secara teoritis atau bahkan berkeinginan menggantinya dengan mengimpor ideologi atau dasar yang lain. Walhasil, kita perlu menghargai perjalanan sejarah bangsa yang telah merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak mudah dan tidak main-main itu. Kita harus menghormati para founding fathers kita yang telah berkorban secara total dan secara bijaksana mencari titik temu (kalimatun sawa) tentang ideologi yang disepakati bersama.

Sebagai eklektisitas negara sekuler dan negara Islam, Pancasila tidak hanya menonjolkan semangat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ketauhidan dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Intinya, nilai-nilai dasar Pancasila tidak bertentangan dengan semangat Islam dan sudah sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin (rahmat bagi seluruh alam), dan bukan rahmatan lil-muslimin (rahmat bagi kaum muslim) saja yang eksklusif. Atau, bahkan hanya rahmatan lil- madzhabiyyin (rahmat bagi pengikut madzhab-madzab tertentu dalam Islam) yang terkadang lebih eksklusif lagi.

Penulis adalah kolumnis dan peneliti, pengajar di Pesantren Darul Falah Be-Songo, Semarang