Opini

Orang NU, 'Real Count', dan Rukyat

NU Online  ·  Senin, 2 Juli 2018 | 08:15 WIB

Orang NU, 'Real Count', dan Rukyat

Ilustrasi (© Getty Images)

Oleh Muhammad Ishom

Pilkada Serentak 2018 yang digelar di 171 daerah di Indonesia pada tanggal 27 Juni lalu secara umum berlangsung dengan baik. Berdasarkan perhitungan cepat atau quick count oleh beberapa lembaga survei telah diketahui pasangan mana yang diprediksikan akan menjadi pemenang. Di Jawa misalnya, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, Ganjar-Yasin, dan Khofiah-Emil, telah menunjukkan keunggulannya di daerah masing-masing yakni: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 

Pertanyaannya adalah apakah mereka yang notabene adalah orang-orang NU sudah berani memastikan diri bahwa mereka juga akan unggul berdasarkan hitungan langsung atau real count yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan akan dimumumkan pada tanggal 9 Juli nanti? Dengan kata lain, apakah mereka meyakini secara pasti bahwa quick count akan menunjukkan hasil yang sama dengan hasil real count

Jawabnya, mereka sudah pasti berharap hasil quick count akan sama dengan hasil real count sebagaimana harapan dan doa masing-masing untuk memenangkan kontestasi politik sehingga dapat memimpin Jawa. Namun demikian mereka tidak berani mendahului hasil real count yang saat ini sedang berlangsung. 

Sikap hati-hati seperti itu antara lain dapat dilihat pada kalimat Khofifah dalam sebuah pernyataannya beberapa saat setelah mengetahui kemenangannya berdasarkan hasil quick count. Khofifah mengatakan, “Menurut quick count, Insya Allah kami menang." (tempo.co/27/6/2018). 

Kata “Insya Allah” (Jika Tuhan menghendaki) dalam kalimat di atas menunjukkan bahwa Khofifah tidak berani mendahului hasil real count karena menyadari quick count hanyalah sebuah prediksi yang akan diuji kebenarannya dengan perhitungan manual atau langsung yang dilakukan oleh KPU. 

Bagi orang-orang NU, quick count dan real count yang digunakan dalam menghitung hasil pemungutan suara sebetulnya tidak jauh berbeda dari metode hisab dan rukyat dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Jadi quick count dapat dianalogikan, meski tidak sama persis, dengan metode hisab. Sedangkan real count dapat dianalogikan dengan metode rukyat. 

Sebagai orang NU, Khofifah dan kawan-kawan tentu sabar menunggu hasil real count sehingga tidak mengeluarkan statemen-statemen yang “nggege mongso” (terlalu dini) sebab mereka pasti memahami bahwa kebenaran quick count bersifat hipotesis karena hanya menggunakan sampel-sampel di beberapa lokasi tertentu. Real count yang dilakukan oleh KPU dengan menghitung seluruh hasil pemungutan suara secara langsung akan sekaligus membuktikan benar tidaknya hasil quick count

Jadi real count sebetulnya dapat dianalogikan dengan metode rukyatul hilal yang dapat membuktikan keakuratan metode hisab dengan cara melihat langsung pada seluruh objek (bulan dan matahari) apakah sudah tampak berkumpul dan telah memenuhi kriteria bulan baru berdasarkan ilmu falak dan fiqih. Sekalipun orang-orang NU menguasi metode hisab, mereka tetap menggunakan metode rukyat tanpa mengabaikan metode hisab. 

Oleh karena itu bisa dimengerti Khofifah dan kawan-kawan tidak berlebihan dalam menyikapi kemenangannya berdasarkan quick count dalam kontestasi Pilkada Serentak 2018. Mereka sabar menunggu hasil real count meski hasil quick count telah menunjukkan kemenangannya sebagaimana mereka biasa sabar menunggu hasil rukyat sekalipun sudah tahu hasil hisab jauh hari sebelumnya. 


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.