Opini

NU dan Revitalisasi Pluralisme Agama

NU Online  ·  Senin, 28 Februari 2011 | 06:10 WIB

Oleh: Zainal Abidin Nawawi *

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang bertujuan menegakkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat di dalam wadah NKRI. Untuk mencapai tujuannya, NU melakukan berbagai usaha di bidang agama, pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi. Usaha NU di bidang agama adalah melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.  <>

Empat kata terakhir pada kalimat di atas sengaja ditulis miring untuk mempertegas sikap NU dalam kebhinnekaan bangsa ini. Sejak pra kemerdekaan, ulama-ulama NU menyadari bahwa Indonesia sangat majemuk. Bermacam suku, bahasa, budaya dan agama hidup di dalamnya. Kemajemukan itu menjadi kekuatan dan sekaligus tantangan bangsa Indonesia untuk merajut NKRI.

NU tidak memimpikan — apalagi memaksakan — Indonesia menjadi negara Islam walaupun Islam merupakan agama mayoritas. Memaksakan Islam sebagai asas atau ideologi negara berarti merelakan bumi pertiwi ini tercabik-cabik oleh pertikaian sesama anak bangsa. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi. NKRI dengan segala kemajemukannya merupakan pilihan terbaik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar itu, NU menegaskan tiga macam ukhuwah (persaudaraan) dalam pola komunikasinya, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.

Dengan ketiganya, NU konsisten menjaga dan memperkuat kerukunan intern dan antarumat beragama. Dan sebagai implikasi diakuinya beramacam-macam agama di Indonesia, semua warga negara dituntut siap hidup secara harmonis dengan pemeluk agama mana pun. Perbedaan iman tidak perlu dijadikan alasan membenci, memusuhi atau menyerang pemeluk agama lain. Sebaliknya, perbedaan itu dijadikan sebagai peluang untuk saling membantu, saling mengasihi dan saling menasehati.

Sampai kapan pun agama di dunia tidak akan pernah tunggal. Agama selalu (dan akan terus) hadir dalam bentuk plural. Allah menegaskan hal ini dalam Qur’an Surat al-Maidah ayat 48: “Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami ciptakan hukum (syari’at) dan jalan hidup. Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah Dia menjadikan kalian umat yang satu. Namun, Dia menjadikan kalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikaruniakan-Nya kepada kalian. Maka berlombalah kalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian kembali; maka Dia akan menjelaskan kepada kalian tentang perkara yang pernah kalian perselisihkan.”

Perbedaan sejatinya bukan hanya terjadi antarumat beragama, tetapi juga di intern umat seagama. Hampir di semua agama terdapat sekte-sekte yang acapkali tidak akur. Dalam Islam sendiri, sejak dulu telah muncul bermacam sekte yang berbeda baik dalam hal-hal “kecil” maupun “besar”. Di Indonesia pun demikian. Terdapat sejumlah perbedaan antara satu kelompok Muslim dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya. Jadi, perbedaan merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Dengan mengusung nilai-nilai moderatisme (tawassuth wal i'tidal), kesetaraan (al-musawah) dan toleran (tasamuh) secara konsistem, NU telah dan (semoga) terus berperan aktif dalam upaya membangun perdamaian dengan meminimalisasi serta meredam peluang konflik pemeluk agama. Adapun kekerasan demi kekerasan yang banyak terjadi di republik ini hampir semuanya tidak melibatkan warga nahdliyin. NU antikekerasan. NU lebih mendahulukan tabayun, dialog atau debat untuk mewujudkan kedamaian di kalangan intern atau antarumat beragama.

KH Said Aqil Siradj menegaskan, warga NU secara umum memahami bahwa Al-Qur’an mewajibkan umat Islam menghormati perbedaan agama. Al-Qur’an mengajarkan dengan baik bahwa penduduk mayoritas wajib melindungi penduduk minoritas tanpa memandang agama dan etnisnya.

Maka tidak berlebihan manakala Robert W. Hefner memosisikan NU sebagai representasi dari yang disebutnya sebagai Islam berkeadaban (civil Islam), yaitu sebuah praktik budaya demokratis yang dilakukan oleh kelompok Islam inklusif. NU memberikan perhatian besar kepada proses demokratisasi, pluralisme agama, hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat bawah dan terutama bersikap kritis terhadap negara. Tokoh-tokoh NU menjadi garda terdepan dalam melawan tindak kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas.

Publik Indonesia hingga kini tetap mengakui kontribusi NU dalam hal kerukunan umat beragama. Jajak pendapat yang dirilis Harian KOMPAS pada 15 Maret 2010 menunjukkan bahwa secara konsisten diperoleh tingkat kepuasan tertinggi responden (80,6  persen) terhadap peran NU dalam penciptaan iklim toleransi antarumat beragama. Setelah itu, berturut-turut dalah hal memajukan pendidikan masyarakat (61,7 persen) dan memajukan demokrasi (60,8 persen). Ini, sekali lagi, membuktikan bahwa NU senantiasa berkomitmen untuk membumikan spirit pluralisme.

Meski demikian, NU tidak boleh puas dengan “prestasinya” dalam membangun moderasi dan pluralisme, sebab belakangan ini kita mulai melihat citra Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim yang demokratis, moderat dan pluralis mendapat tantangan baru. Reformasi politik tidak hanya mengantarkan Indonesia ke jajaran negara-negara demokratis di dunia, tapi juga mengubah peta pergerakan dan corak Islam.

Beberapa gerakan Islam yang “baru” muncul tampil lebih sangar, kalau tidak mau dikatakan anarkis. Insiden penyerangan terhadap warga Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang menewaskan tiga orang, serta pembakaran gereja dan sekolah Kristen di Temanggung, Jawa Tengah, diduga kuat dilakukan oleh kelompok-kelompok Muslim “garis keras”. KH Hasyim Muzadi menyebut mereka sebagai ormas muslim yang mengusung ideologi Islam transnasional yang tidak cocok dengan bangsa Indonesia.  

Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut bukan hanya mengancam kerukunan umat beragama tetapi juga dapat merusak citra Indonesia sebagai bangsa yang santun, damai dan menghargai keragaman. Inilah tantangan NU ke depan. NU dituntut untuk terus meningkatkan perannya dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara sehingga benar-benar terbentuk wajah Islam Indonesia yang cerdas, ramah, santun, dan damai.

Dialog merupakan salah satu jalan terbaik untuk mencapainya. Maka dari itu, NU dituntut untuk menularkan “virus dialog” kepada siapa saja, terutama kepada ormas-ormas anarkis yang sering mengedepankan pentungan daripada logika. Dengan dialog akan muncul saling memberi dan menerima, saling mendengarkan dan sekaligus saling mengingatkan.

Dalam dialog, target yang hendak dicapai adalah diperolehnya kesepahaman, bukan saling mengalahkan. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Dialog diupayakan untuk mencari titik temu (kalimatun sawaa’) untuk merajut komitmen kolektif di antara berbagai perbedaaan dan keragaman yang ada.

Tentu saja disadari bahwa untuk membudayaan dialog bukan pekerjaan mudah. Diperlukan keberanian dari semua pihak untuk berdialog secara sungguh-sungguh. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing partisipan tidak ada kesediaan untuk membuka diri, serta ketulusan untuk saling memberi dan menerima. Inilah makna ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal (QS. al-Hujurat: 13).

Nabi Muhammad juga mengajarkan pentingnya dialog. Diriwayatkan, ketika datang rombongan Nasrani Najran berjumlah 15 orang yang dipimpin oleh Abu al-Harits, Rasulullah berdialog dengan mereka dan mempersilahkan mereka untuk beribadah di Masjid Nabawi, sedangkan Rasulullah beserta sahabat shalat di bagian lain. Pada kesempatan lain, Nabi bersabda, “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang”. Kedua hadits ini memberikan dasar bagi terwujudnya masyarakat yang toleran, inklusif dan damai. Semoga!

* Dosen STAIN dan Ketua LTN NU Jember