Opini

NU dan Krisis Demokrasi Indonesia

NU Online  ·  Senin, 20 Juni 2011 | 04:27 WIB

H As’ad Said Ali


• Meskipun seringkali dianggap cenderung bersikap akomodasionis terhadap kekuasaan politik negara, haruslah selalu diingat bahwa NU adalah sebuah komunitas religio-politik penting di Indonesia. Bukan hanya karena besarnya, tetapi juga karena posisinya yang strategis. Bersama Muhammadiyah, NU adalah salah satu representasi penting golongan Islam moderat di Indonesia.

• Dengan paham keagamaan ahlu sunnah wa jamaah-nya, komunitas ini memiliki tiga peranan sosial-politik yang sudah teruji sebagai: (1) pembela par-excellece stabilitas masyarakat; (2) peneguh NKRI yang menganggap negara-bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai bentuk final negara Indonesia; serta (3) penjaga pluralisme sosial dan toleransi keagamaan.
<>
• Ketiga peranan ini bisa dianggap sebagai fungsi esensial dan ideal keberadaan NU sebagai organisasi ulama dan komunitas jamaahnya. Terutama ini ditegaskan sejak 1985, ketika NU menyatakan diri berada di atas kepentingan-kepentingan politik golongan, dan tekad untuk kembali pada khittah organisasi sebagai organisasi jamiiyah, organisasi kerakyatan, yang disinari oleh panduan Kitab Suci.

• Sekadar untuk refleksi sejarah, NU bukannya tidak lekang dari kepentingan-kepentingan politik. Pada tahun 1950an, NU menjadi sebuah partai politik tersendiri karena kecewa terhadap kelompok politik Islam modernis di bawah Masyumi. Pada 1970an, ia bergabung di dalam PPP sampai berakhirnya era Orde Baru. Pada masa reformasi hingga sekarang, meskipun secara organisatoris tidak terlibat langsung dalam politik, tokoh-tokoh NU banyak terlibat dalam kegiatan politik kepartaian. Terjadi pluralisasi kepentingan politik orang-orang NU. PKB didukung dan difasilitasi oleh PBNU, setelah sebelumnya Abu Hasan yang menjadi rival Gus Dur mendirikan Partai SUNI (Solidaritas Uni Nasional Indonesia). Yusuf Hasyim, paman Gus Dur,  mendirikan PKU (Partai Kebangkitan Umat), dan Syukron Makmun mendirikan PNU (Partai Nahdlatul Ummah). Dari keempat partai orang-orang NU itu, hanya PKB yang masih eksis hingga sekarang. Tapi belakangan pun, PKB mengalami faksionalisasi antara kubu Muhaimin Iskandar dan kubu pro-GusDur.

• Secara positif, faksionalisasi politik internal NU bisa dipandang sebagai bagian dari dinamika organisasi dalam menghadapi gelombang demokratisasi pasca Orde Baru. Walaupun secara resmi tetap menyatakan diri setia pada khittah untuk tidak langsung mengurusi politik, NU termasuk yang percaya pada praktek demokrasi parlementer. Tapi justru di sinilah godaannya: NU mau tak mau harus  menjadi salah satu kekuatan politik parlementer, terlibat dalam kontestasi dengan partai-partai lain.

• Dalam situasi seperti ini, politik lantas lebih dipraktekkan hanya sebagai pertarungan untuk memperjuangkan policy. Ini potensial mendegradasikan peranan esensial sebelumnya yang lebih menempatkan politik sebagai perjuangan untuk kelangsungan polity.

• Apakah risiko degradasi peranan politik dari yang “esensial” menjadi yang “praktikal” ini benar-benar disadari oleh NU? Pertanyaan ini harus kita uji dalam kancah politik demokratisasi. Lebih khusus lagi ketika politik demokratisasi justru sedang mengalami krisis.

• Ada tiga krisis dalam proses politik demokratisasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini. Pertama, terjadinya defisit demokrasi, yakni suatu fenomena paradoksal berupa meluasnya perkembangan hak-hak sipil-politik di satu pihak, yang tidak disertai pemajuan hak-hak sosial dan ekonomi di pihak lain. Defisit demokrasi akhirnya hanya melahirkan liberalisasi politik tanpa disertai meratanya kesejahteraan sosial-ekonomi. Dalam suasana defisit demokratik, politik akhirnya hanya bisa diakses oleh kaum elite yang menguasai sumber-sumber kekuasaan ekonomi-politik. Terjadi monopolisasi politik oleh kaum elite, dan sekaligus marginalisasi politik di kalangan massa-rakyat. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan politik menjadi sangat costly, berbiaya tinggi.

• Kedua, monopolisasi politik oleh kaum elite membawa bencana lain, yakni pembajakan demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjanjikan keterlibatan seluas-luasnya dukungan popular oleh rakyat untuk mengejar kesejahteraan dan mendapatkan hak-hak sosial-ekonominya, akhirnya cenderung ditelikung hanya demi kepentingan kalangan elitenya. Dari pembajakan demokrasi oleh kaum elite, muncul fenomena demokrasi-oligarkis atau oligarki-demokratik. Politik parlementer akhirnya hanya menjadi politik pertarungan kaum oligarkh.

• Ketiga, karena demokratisasi hanya menjadi mainan kaum elite dan hanya berlangsung di lembaga-lembaga politik formal – dengan partai-partai politik yang dikuasai oleh kaum elite sebagai aktor-aktor utamanya, bahkan aktor satu-satunya – maka demokrasi berubah menjadi partokrasi; demokrasi bukan lagi kekuasaan dari-rakyat-oleh-rakyat-untuk-rakyat; tapi kekuasaan dari-partai-oleh-partai-untuk-partai. Demokrasi partokratik telah menjauhkan politik dari rakyat, menjadikan politik teralienasi dari kepentingan-kepentingan kerakyatan. Gejala ini pada akhirnya akan  mengasingkan rakyat dari kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Bukan tidak mungkin ini menjadi jalan menuju anarki, karena rakyat akhirnya tidak akan percaya pada lembaga-lembaga dan otoritas politik apapun, termasuk pada otoritas politik negara.

Refleksi
1. Krisis demokrasi yang tercermin dalam tiga jenis fenomena di atas – defisit demokrasi; oligarki demokratik; dan demokrasi partokratik – sesunguhnya benar-benar menyimpan bahaya serius. Jika rakyat kehilangan kepercayaan pada demokrasi, maka mereka akan lebih percaya pada bentuk kekuasaan kediktaroran dan sistem politik otoritarian.

2. Sikap politik NU yang tidak cukup kritis pada terjadinya krisis demokrasi parlementer partokratik – di mana ia menjadi bagian di dalamnya sebagaimana diwakili PKB – berpotensi menimbulkan persepsi bahwa NU mendukung bentuk kekuasaan oligarkis. Ini hanya akan menjauhkan rakyat dan umat dari elite-elite politik NU.

3 Sudah saatnya NU membangun politik demokrasi yang lebih berorientasi pada kepentingan popular, kepentingan kerakyatan. NU dan PKB harus menjadi pelopor untuk melakukan demokratisasi demokrasi di Indonesia. NU dan PKB harus mempelopori reorientasi politik dari sistem demokrasi liberal ke arah bentuk demokrasi baru yang lebih lebih partisipatoris. Dan itulah adalah demokrasi popular – demokrasi yang berbasis pada gerakan kerakyatan, dengan representasi kerakyatan.

4. Hanya dengan cara inilah NU  bisa memerankan kembali tiga peran politiknya yang esensial sebagaimana disebutkan di atas.

Disampaikan pada Forum Wahid Institute 17 Juni 2011