Opini

NU dan Kemiskinan Anak

NU Online  ·  Kamis, 14 September 2017 | 03:00 WIB

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla

Koran Kompas 25 Juli 2017 lalu memuat opini berjudul Kemiskinan Anak. Penulisnya adalah Iswadi, Kepala Subdirektorat Analisis Statistik BPS. Tulisan itu menarik karena memaparkan data, bahwa hampir dari setengah warga miskin di Indonesia adalah anak-anak. Hal yang mungkin tidak pernah kita sadari sebelumnya. Terlebih bila dikaitkan dengan bonus demografi, persoalan tersebut harus segera diatasi, atau minimal disadari. Karena bagaimana pun, anak adalah harapan bangsa ini di masa mendatang.

Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 sebanyak 27,77 juta orang. Jumlah itu bertambah dari kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang. Nah, dari hampir 28 juta jiwa penduduk miskin pada Maret 2016 itu, sebanyak 40,22 persen adalah anak-anak. Menurut Iswadi, melihat pola pergerakan jumlah dan persentase penduduk miskin, secara kasar, jumlah dan persentase anak miskin pada 2017 tidak jauh berbeda dengan kondisi pada Maret 2016.

Dijelaskan oleh Iswadi, bahwa kemiskinan anak merupakan masalah multidimensional mengingat banyak faktor penyebab anak menjadi miskin. Kondisi rumah tangga merupakan penentu utama kemiskinan anak, baik dilihat dari pendekatan moneter dan nonmoneter. Penelitian menunjukkan anak miskin lebih banyak ditemukan dalam rumah tangga yang dikepalai perempuan, jumlah anggota rumah tangga lebih dari tujuh orang, dan kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah.

Anak miskin secara moneter adalah anak berusia 0-17 tahun yang tinggal di rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan anak moneter dihitung dengan menggunakan metode yang sama dengan perhitungan kemiskinan penduduk secara umum. Bila nilai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan suatu rumah tangga berada di bawah garis kemiskinan, maka seluruh anggota rumah tangga merupakan penduduk miskin.

Dalam kemiskinan moneter itu, seorang anak akan sangat rentan menghadapi terampasnya (deprivasi) hak-hak dasarnya. Unicef mengembangkan multiple overlapping deprivation analysis (MODA) yang merupakan suatu ukuran komprehensif tingkat terampasnya hak-hak dasar anak secara multidimensi. Menurut Unicef, anak yang terdeprivasi adalah mereka yang hidup dalam kemiskinan sehingga terampas hak-haknya secara materiel, spiritual, dan emosional dalam memenuhi kebutuhan bertahan hidup dan berkembang. 

MODA membedakan konsep deprivasi untuk anak umur 0-4 tahun dan anak umur 5-17 tahun. Untuk usia 0-4 tahun, hak dasar seorang anak terampas jika ia tak mendapat ASI hingga umur 23 bulan, tidak mendapat imunisasi DPT, dan kelahirannya tidak dibantu oleh kesehatan terlatih. Selain itu, dianggap terampas hak-hak dasarnya jika tidak memiliki akses terhadap sumber air berkualitas, jauh dari sumber air, tidak mempunyai akses terhadap sanitasi yang berkualitas, tinggal di ruang tempat tinggal yang terlalu sempit dan tidak layak, serta mendapat perlakuan kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara itu, untuk anak umur 5-17 tahun, hak dasar anak terampas jika ia tidak mengikuti program wajib belajar, tidak memiliki akses terhadap fasilitas pencarian informasi, tidak memiliki akses terhadap air berkualitas, tinggal di tempat tinggal dengan ruang yang terlalu sempit, materi lantai dan atap yang tidak layak, serta mendapat kekerasan dalam rumah tangga.

Di Indonesia, bekerjasama dengan Unicef, BPS melakukan penyesuaian indikator dalam mengidentifikasi terampasnya hak-hak dasar anak. Yaitu, jika luas lantai tempat tinggal per kapita kurang dari 7,3 meter persegi, tak memiliki sanitasi serta akses sumber air minum layak, rumah tangga memasak menggunakan bahan bakar alami, tak diberikan ASI eksklusif atau makanan tambahan, konsumsi kalori kurang dari minimum dietary energy requirement (MDER), proporsi lemak pada makanan yang dikonsumsi lebih dari 35 persen, tak bersekolah sesuai umur, tak memiliki akta kelahiran, menjadi pekerja anak, dan pernah atau sedang berstatus kawin.

Peran NU

Sebagai gambaran awal, pada 2015, sebanyak 5,99 persen dari 36,8 juta orang penduduk usia 10-17 tahun di Indonesia tercatat sebagai pekerja anak. Yang memprihatinkan, sebanyak 204.530 orang masih berumur 10-12 tahun dan 356.490 berumur 13-14 tahun. Padahal, mereka merupakan anak dalam usia wajib belajar. Selain itu, data juga menunjukkan, hampir 8 persen anak Indonesia yang lahir tidak ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Karena itu, edukasi dan sosialisasi proses melahirkan yang aman masih harus digiatkan. 

Sebanyak 95,04 persen bayi di bawah dua tahun pernah dikasih ASI. Namun rata-rata lama memperoleh ASI saja hanya 4,03 bulan, sedang rata-rata lama pemberian ASI dengan makanan pendamping 6,23 bulan. Rata-rata tersebut tentu masih jauh dari 23 bulan, sebagaimama ukuran yang ditentukan MODA. Padahal, perkembangan anak pada usia itu sangat berpengaruh pada daya tahan fisik saat dewasa serta perkembangan otak seorang anak.

Sebanyak 1,53 persen anak perempuan usia 10-17 tahun berstatus kawin dan 0,11 persen berstatus cerai (Iswadi, Kemiskinan Anak, Kompas, 25 Juli 2017). Sedang penelitian BKKBN pada tahun 2014, 46 persen atau setara dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi setiap tahun di Indonesia mempelai perempuannya berusia antara 15 sampai 19 tahun (CNN Indonesia, 22 Maret 2016). Indonesia bahkan menjadi salah satu negara tertinggi di Asia Timur dan Pasifik untuk jumlah angka perkawinan usia anak. Tidak heran bila kondisi pernikahan anak di Indonesia sudah masuk dalam kategori darurat. 

Menariknya, Jawa Timur yang merupakan basis Nahdlatul Ulama menjadi daerah dengan jumlah perkawinan anak tertinggi se-Indonesia (Kompas, 24 Juli 2017). Jumlahnya mencapai 35 persen dari jumlah perkawinan. Maka, harus menjadi perhatian penanggung jawab terkait, termasuk NU melalui Fatayat dan Muslimat NU, untuk melakukan edukasi yang lebih gencar kepada orangtua sebagai filter utama pencegahan perkawinan anak. UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, orang tua bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan anak usia dini.

Oleh sebab itu, edukasi dan sosialisasi melalui organisasi masyarakat menjadi sangat relevan. Pemerintah tidak akan dapat berjalan sendiri mengatasi persoalan kemiskinan anak tersebut. Kesadaran masyarakar perlu dibangun, dan untuk membangunnya, peran organisasi masyarakat seperti NU sangat dibutuhkan. Terlebih, mengatasi persoalan itu tidak hanya menjadi kepentingan negara, melainkan kepentingan bersama, termasuk NU sendiri yang sedikit banyak warganya dihadapkan pada persoalan kemiskinan.

Berdasarkan data BPS pada September 2016, angka kemiskinan di kota mencapai 7,73 persen dan di desa 13,96 persen. Perbandingan ini tidak banyak berubah dibandingkan dengan September 2015, di mana kemiskinan di kota mencapai 8,22 persen dan di desa 14,09 persen. Artinya, disparitas jumlah masyarakat miskin yang tinggal di perdesaan dengan perkotaan masih sangat tinggi, yakni hampir dua kali lipat. Sedangkan sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebagian besar massa NU berbasis di perdesaan. 

Isu kemiskinan telah menjadi perhatian Muslimat NU pada rapimnas Maret lalu. Muslimat NU pun telah bertekad untuk mengatasi persoalan kemiskinan di perdesaan. Bahkan mengajak beberapa pihak bekerjasama, di antaranya Kementerian Desa. Tekad Muslimat NU tersebut tentu harus didukung, dan harus diseiringkan dalam kerangka mengatasi persoalan kemiskinan anak. Muslimat NU diharapkan dapat menjadi banom yang terdepan dalam mengatasi persoalan kemiskinan anak tersebut.

Pengajian dan kegiatan rutin yang diadakan, harus mulai disisipi edukasi tentang pemenuhan hak-hak dasar anak. Tekad Muslimat NU dalam pengentasan kemiskinan tentu harus dibarengi dengan pembangunan kualitas SDM, terutama SDM anak yang merupakan aset bangsa di masa mendatang.

Sebaliknya, mengatasi persoalan kemiskinan anak tentu tidak cukup bila hanya disandarkan pada kesadaran disertai edukasi belaka, melainkan harus disertai upaya konkret untuk mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Dengan begitu, anak dapat mencapai potensi diri atau berpartisipasi secara penuh dan setara dalam lingkup sosial.

Penulis adalah Pelajar NU Gresik, aktif di Sekolah Bangun Desa SoeKa Institute Gresik.