Hajatan strategis organisasi kaum sarungan yang mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok sosial -tradisional yaitu organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sedianya diselenggarakan di Pesantren Krapyak Jogjakarta, pada tanggal 27-28 Maret 2011. Sebagai hajatan internal, mekanisme Pleno sesungguhnya hal biasa dalam kultur organisasi. Yang membedakan kenapa rapat Pleno PBNU kali ini terbilang strategis, menurut hemat saya, mungkin dapat dipotret dari tiga sudut:
Pertama, Pleno diselenggarakan di luar kantor resmi (di Pusat Ibukota), namun lebih mengambil setting Pesantren (Krapyak Yogjakarta) sebagai penjelas dari titik krusial agenda yang sedang dibahas dan dirumuskan. Apalagi, sejak muktamar di Makassar tahun lalu, NU ingin mengkonsentrasikan gerakan pemberdayaannya kembali ke simpul-simpul pesantren. Karena, hampir diyakini, bahwa untuk merubah setting social pedesaan, diperlukan peran dan intervensi pesantren, yang secara kultur mampu mengadaptasi dengan baik.
<>
Kedua, Pleno diselenggarakan dalam “situasi” dan masa-masa dimana ekonomi kerakyatan betul-betul mengalami ancaman. Melalui khittah ekonominya, diharapkan di sektor ekonomi terjadi harapan perubahan kebijakan. Sebagai warga NU, secara pribadi, prinsip-prinsip yang digelorakan para ulama terdahulu NU dengan konsep Nahdlatut Tujjarnya ketika itu benar-benar terpatri dan menjadi satu inspirasi kesadaran perlawanan kaum pedagang kecil terhadap hegemoni dan koloni pedagang besar yang bersekongkol dengan pemerintah Hindia Belanda. Bagi para pengambil kebijakan strategis di sector niaga waktu itu, pedagang kecil dianggap sebagai penghambat bagi kelancaran perpuataran perniagaan.
Semangat para ulama yang tergabung dalam gerakan Nahdlatut Tujjar membuat nuansa yang beberda. Penegakan keadilan dalam bidang ekonomi yang dijiwai semangat pemerataan dan etos yang tinggi, dan persatuan petani/pedagang untuk membela hak-haknya yang dimonopoli membuat kalangkabut para pengepul bahan-bahan pertanian, dan juga para pengawas peredaran barang. Kini, selain aturan yang belum peka keadilan, maraknya praktik monopoli, ancaman perubahan lingkungan hidup yang ekstrim juga perlu mendapat perhatian PBNU.
Ketiga, saya meyakini, bahwa instrument Pleno kali ini sesungguhnya mampu dijadikan titik awal sebuah refleksi sosial-politik gerakan organisasi massa terbesar di tanah air ini. Sama ketika NU menyatakan dirinya menarik dalam pusaran politik prakis yang dimulai pada tahun 1984, menurut saya, Pleno kali ini bisa ditarik menjadi kesadaran elite organisasi untuk menata sisi kukltural-sosial NU yang semenjak angin reformasi berhembus, mobilitas energy NU banyak terbuang di sektor politik kebangsaan, yang sesungguhnya tenaga itu juga secara substansi tidak berseberangan dengan hakikat menegakkan urusan internasional (seperti demokrasi dan perdamaian), dan di sisi yang lain, nafas NU itu juga didedikasikan untuk tujuan membangun karakter benegara dengan baik.
Peran Ganda NU
Pesantren harus kita akui sebagai kekuatan sosial yang dapat dijadikan jangkar bagi pembentuk karakter social masyarakat, meski kita juga tak bisa menafikan ada sisi nilai dan pesona kultur yang menjadi hambatan dan kendala. Tanpa mengurangi peran dan sepak terjangnya dalam lintasan sejarah pergerakan sosial di tanah air, Pesantren belum mengalami kontektualisasi gerakan dengan baik, dan di sisi yang lain kenyataan ini kemudian berakibat pada tingkat kepercayaan masyarakat yang mulai kurang terhadap istitusi ini. Pada level ini, perlu ada konsolidasi ulang, bagaimana mengelola modal sosial yang diberikan masyarakat sembari memofikasi nilai dan personifikasi simboliknya bagi peneguhan eksistensinya sebagai sarana pembentuk ruang produksi bagi terselenggaranya peradaban bangsa.
Di tengah arus informasi dan hadirnya piranti teknologi yang begitu massif dan cepat, komunitas pesantren dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perubahan setting seperti ini. Karena, bagaimanapun pendorong bagi upaya menuju masyarakat yang beradab diantaranya adalah melalui tahapan melek teknologi dan informasi.
Dengan berbekal atas tantangan di depan mata ini misalnya, mestinya komunitas pesantren bisa menyiapkan diri secara untuk mensiasati arus perubahan ini, agar wahana ini tidak menjadi ‘penghambat” bagi proses pembentukan komodifikasi dan agenda restrukturisasi simbolisme pesantren yang tetap menancap kuat di dalamnya watak dan karakter agama beserta prinsip nilainya, utamanya ketika di level ruang publik, perebutan pengaruh telah dimasuki banyak kontestasi dengan beragam metodologi.
Mengemukanya ruang-ruang kontestasi sosial yang mulai kian terbuka dan di dalamnya dipenuhi dengan aktor menandaskan bahwa system sosial tidak lagi berkutat pada perjumpaan-perjumpaan yang tersebar sepanjang waktu sebagai wujud organisasi yang menandakan adanya praktik-praktik sosial rutin. Bisa jadi, sistem sosial baru harus ditempatkan dalam kerangka melampaui dari prakti-praktik sosial rutin. Artinya, praktik-praktik lama di dalam organisasi social secara reproduksi harus kontektual dan tak boleh menengok ke belakang. Urusan sejarah biarlah para intelektual yang akan mencatatnya. Dalam kontek ini, gerakan sosial dan subkulturnya tak boleh terjebak dalam kebesarannya.
Untuk menjawab jebakan romantisme ini, NU dan jaringan kerjanya harus membenturkan diri dan jika perlu melakukan secara “bunuh diri” kelas. Tentu bukan bunuh diri dalam artian “membunuh organisasi dan kulturnya”, melainkan sebagai organisasi keagamaan dan sosial yang bersentuhan dengan akar rumput, NU sebaiknya merekonstruksi peran sosialnya:
Pertama, sebagai agen perubahan masyarakat, yang dalam watak kodratinya harus selalu menjauh dari ruang-ruang politik praktis dan jika perlu menarik diri dalam lingkungan kekuasaan, karena ini disinyalir akan memberi efek bagi pemanjaan daya juang dan kretifitas sosial organisasi ini. Di peran ini, jelas para aktor yang bergulat lama di kancah pesantren memiliki andil dan diberikan ruang kreasi seluas-luasnya untuk menentukan orientasi dan metodologinya, sembari secara structural NU melakukan intervensi yang sifatnya supervisi di dalam menentukan “warna” pesantren di era yang terus berubah.
Kedua, sebagai agen keagamaan, kesadaran diskursif dan praksis harus dijadikan pelopor bagi pembangunan budaya politik dan demokrasi bangsa. Watak progresifitas dari ranah keagamaan memberikan kekuatan tersendiri bagi upaya membumikan kesadaran demokratik yang dapat diarahkan pada pribadi-pribadi yang tanggung jawab, jujur dan menghargai satu dengan lainnya. Mobilisasi keagamaan ini bisa diwujudkan yang lebih konkrit lagi dalam bentuk peneguhan komitmen-komitmen demokrasi sebagai kebutuhan bangsa. Sebagai agen keagamaan, NU seperti halnya Muhammadiyah, perlu menyiapkan diri infrastuktur demokrasi, melalui kualitas pembangunan politik berbasis partai.
Kedua peran ini sesungguhnya telah menggelayut menjadi kekuatan penopang utama gerakan cultural-struktural organisasi NU, utamanya dihadapkan pada ujian-ujian masa sulit menegakkan prinsip keislaman, kebangsaan dan kenegaraan yang satu dengan lainnya sesungguhnya saling beririsan.
Inilah sesungguhnya sumbangan nyata historisisme pesantren terhadap NU.
* Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren At-Taslim, Kracaan, Demak
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua