Opini

NU dan Banjir Bengawan Solo

NU Online  ·  Jumat, 23 Desember 2016 | 02:01 WIB

NU dan Banjir Bengawan Solo

Gambar: Sindo.com

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla

Koran Kompas minggu lalu (10/12) memuat opini berjudul Dampak Sosial Banjir Bengawan Solo. Penulisnya, Bagong Suyanto, merupakan dosen Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya. Ia meneliti dampak bencana banjir di kalangan masyarakat miskin di daerah aliran sungai Bengawan Solo. Terutama daerah langganan banjir di Provinsi Jawa Timur, mulai dari Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. 

Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa bencana banjir yang melanda daerah-daerah tersebut menyebabkan keluarga miskin gagal panen, kehilangan aset produksi, dan terganggu kehidupannya sehari-hari karena genangan air yang tak kunjung surut. Sawah-sawah mereka hancur, banyak rumah rusak, dan penyakit bermunculan. Akibatnya, para keluarga miskin tersebut mengalami proses pendalaman kemiskinan.

Dari 100 keluarga miskin yang diteliti, sebagian besar rumahnya bisa terendam air 1-2 hari, bahkan sampai berhari-hari. Sebanyak 27 persen mengaku rumahnya terendam hinga lebih dari 10 hari, 10 persen rumahnya terendam 10-12 hari, dan 17 persen terendam 13-15 hari. Selain rumah, sawah dan lahan mereka juga terendam. Sebanyak 24 responden mengaku sawahnya terendam 10-12 hari, bahkan sebanyak 9 persen hingga 13-15 hari. Namun ada 21 persen responden mengaku hanya terendam 1-3 hari. 

Bagi keluarga miskin, dampak yang ditimbulkan pasca banjir bermacam-macam. Namun yang paling terasa adalah pendalaman kemiskinan. Mereka merupakan masyarakat miskin yang kehidupan sehari-harinya sudah menghadapi berbagai kesulitan. Ketika banjir menerjang, aset produksi mereka rusak, pun lahan garapan, bahan baku mereka hilang, ditambah berbagai persoalan lain. Maka, seluruh investasi yang ditanamkan tak membuahkan hasil. Sebaliknya, justru merugi dan utang meningkat. 

Mereka tentu membutuhkan modal untuk memulai usahanya kembali. Dari 100 keluarga miskin yang diwawancarai, hanya 12 persen yang bisa membiayai sendiri kebutuhan modal usahanya. Sebagian besar lainnya menyatakan menggatungkan diri pada bantuan pemerintah  (18 persen), bantuan dari kerabat (29 persen), atau terpaksa meminjam lembaga kredit formal (20 persen) dan lembaga kredit informal (21 persen).

Memahami Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan, kegiatan pencegahan, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Hal itu diatur dalam UU No 24 Tahun 2007. Ada tiga tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana, yakni prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Tahap prabencana meliputi pencegahan, pengurangan risiko bencana (mitigasi), termasuk penataan ruang, pengaturan infrastruktur, serta pendidikan dan penyuluhan tentang kebencanaan. 

Sedangkan tahap tanggap darurat meliputi penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, pengerahan logistik, termasuk pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Adapun tahap pascabencana meliputi rehabilitasi, rekontruksi, perbaikan lingkungan daerah bencana, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pelayanan kesehatan, pemulihan sosial ekonomi budaya, serta penerapan rancang bangun yang tahan bencana.

Praktiknya, tentu Pemerintah telah berupaya melakukan penanggulangan bencana di daerah terkena banjir tersebut. Namun dalam pengamatan penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dievaluasi. Sistem dan pengorganisasian penanggulangan bencana belum benar-benar terpadu. Berdasarkan hasil penelitian di atas, hemat penulis, penanggulangan bencana banjir masih terkesan bersifat a posteriori, yakni terbatas menjangkau tahap tanggap darurat dan pascabencana. Itu pun masih terdapat beberapa catatan, terutama pada tahap pascabencana.

Data Bagong Suyanto menunjukkan bahwa 40 persen keluarga miskin yang diteliti menyatakan kehidupan mereka menjadi lebih buruk pasca bencana banjir. Bagi keluarga miskin yang setiap tahun menjadi langganan korban banjir, belum usai berbenah untuk bangkit kembali dari bencana yang dialami tahun lalu, mereka sudah kembali tertimpa bencana. Artinya, penanganan masyarakat korban bencana belum maksimal dilakukan.

Peran Masyarakat, Peran NU
Penting dipahami bersama, upaya penanggulangan bencana bukanlah tanggung jawab Pemerintah semata. Dalam UU No 27 Tahun 2014, salah satu asas penanggulangan bencana ialah kebersamaan. Hal itu dipertegas dalam Pasal 26 dan 27 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Selama ini, upaya penanggulangan bencana minim mendapat dukungan dan peran masyarakat karena adanya anggapan bahwa penanggulangan bencana adalah wujud dari salah satu fungsi pemerintah dalam perlindungan masyarakat.

Daerah aliran sungai Bengawan Solo yang terkena banjir tersebut dapat diasumsikan merupakan basis-basis warga NU. Bahkan di sana, terdapat beberapa pondok pesantren NU yang sangat terkenal, seperti Langitan (Tuban), Qomarudin (Gresik), Ihyaul Ulum (Gresik), dan Al Karimi Tebuwung (Gresik). Juga, banyak madrasah NU berdiri tidak jauh dari aliran sungai tersebut. Terlebih, pihak yang sangat dirugikan ialah para petani dan keluarga miskin. Karena itu secara sosiologis, NU punya tanggung jawab untuk mengisi dan menguatkan peran masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana tersebut. 

Dengan demikian, dibutuhkan penanganan terpadu untuk mengatasi persoalan banjir tersebut. Ada dua hal yang harus dimengerti dari kata terpadu tersebut. Pertama, penanggulangan banjir haruslah bersifat menyeluruh, dimulai dari tahap prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Semua penanganan dalam kesemua tahap tersebut harus tepat guna dan hasil guna. Nyatanya, setiap tahun banjir selalu datang dan membawa berbagai persoalan yang sama, terutama bagi masyarakat miskin. 

Sebagai catatan, bencana datang selain karena faktor iklim, juga faktor antropogenik. Ulah manusia juga menjadi pemicu bencana di tanah air. Karena itu, pengurangan risiko atau bahkan pencegahan bencana juga bergantung pada manusia. Dapat dimengerti, bahwa penanggulangan bencana tidak boleh sekedar bersifat a posteriori, yakni bertindak ketika banjir datang dan sesudahnya. Padahal jelas-jelas banjir datang setiap tahun. Pendekatan a priori juga harus diperhatikan, melalui perencanaan pembangunan, penataan ruang, pengaturan pembangunan, pencegahan dan pengurangan resiko. 

Kedua, penanggulangan bencana hendaknya tidak dipahami semata fungi Pemerintah. Prinsip kebersamaan jelas merupakan salah satu prinsip penanggulangan bencana. Hal itu harus dipahami bersama. Peran dan dukungan masyarakat dapat dilibatkan sejak fase prabencana sampai pascabencana. Dalam hal ini, NU misal, dapat mendorong pemerintah untuk memperhatikan perencanaan pembangunan yang terpadu, atau upaya-upaya lain pada fase pencegahan dan mitigasi.

Selain itu, ialah peran NU pada tahap pascabencana. Pada tahap inilah, bila mengacu pada hasil penelitian di atas, memerlukan perhatian lebih. Dukungan dari berbagai pihak selama ini masih didominasi bantuan logistik dan kebutuhan dasar, atau upaya lainnya di lingkup tanggap darurat. Seharusnya tidak berhenti di situ. Para korban, terutama keluarga miskin, memerlukan bangkit dan dipulihkan keadaan ekonomi, sosial, dan psikologinya pasca bencana. Masalah pendalaman kemiskinan, kesehatan, dan lingkungan yang rusak harus diperhatikan secara serius. NU harus bersinergi dengan pemerintah dan unsur masyarakat lain untuk mengatasi hal itu. Dengan begitu, penanggulangan bencana mencapai sasaran yang diharapkan.