Opini

Narkotika

NU Online  ·  Sabtu, 8 Maret 2014 | 05:00 WIB

Oleh Isfandiari MD
Di ujung kamar rumah sakit, seorang ibu  khusuk membaca Al-Qur’an. Ia berharap banyak  sang buah hati yang sedang dalam sakratul maut bisa selamat. Usia sang anak belum lagi 25 tahun, terbaring lemah, kurus kering, kulit pucat  juga sulit bernapas.
<>
Sang ibu makin khusyuk berdoa saat dokter mulai naik ke atas tempat tidur dan menekan dada sang anak agar paru-parunya bekerja menghirup oksigen. Sayang sang buah hati menutup mata. Di tempat dan waktu lain, ribuan ibu dan keluarga lain alami hal yang sama. Semua ditinggal anak kesayangan karena narkotika. Sebuah potret buram generasi muda kita.

Keprihatinan menyeruak. Semua lapisan masyarakat mengecam. Kemarin, saya menghadiri seminar tentang Narkoba yang digagas klub motor yang berubah jadi organisasi kepemudaan XTC Bandung (1/3). Petinggi klub ingin life membernya tahu betul bahaya narkotika dan mengundang pihak kepolisian juga Badan Narkotika Nasional Bandung untuk memberi penyuluhan. Mereka share info soal jenis juga bahaya dan dicermati serius semua peserta.

Dalam skala nasional, tv-tv juga gencar sharing dengan berbagai pihak. Paling gres, dibuat TV One lewat Indonesia Lawyer Clubnya. Sentuhan lebih humanis juga dilakoni Metro TV lewat wawancara intens Roger Danuarta yang barusan dicokok karena fly di mobil mewahnya. Roger juga bilang: ”Klise kalau saya katakana jauhi Narkoba!”

Semua sanubari bangsa pastinya serius berantas Narkoba. Sayangnya sanubari saja nggak cukup. Payung hukum soal Narkoba jauh dari ideal. Imej keseriusan runtuh saat cewek Austalia, dibebaskan. Corbi melenggang keluar lapas dan membuka sampagne di hotel mewah. Di saat yang sama, Malaysia menghukum mati pengedar yang tertangkap di wilayah hukumnya.

Hukuman mati buat pengedar, masih sebatas wacana. Tak ada satu pun yang dieksekusi, lain cerita terhadap gembong teroris, beberapa sudah melayang ke alam lain, surga atau neraka? Wallahu alam! Benar kata Prof Sahetapi, pakar hukum, “Saya sulit menentukan nilai buat BNN, tapi untuk Densus 88, nilainya cum laude!” Jadi kita nggak heran kalau Freddy Budiman sang gembong Narkoba masih bisa bilang “Keep smile..” ala Cesar-nya  YKS. Very happy, very entertaining!

Karni Ilyas, bosnya ILC terang-terangan menkritisi DPR sebagai law maker untuk soal Narkoba. Ia berharap aturan-aturan itu dibuat kembali. Walau dalihnya dirancang banyak profesor, hasilnya bukan kelas profesor. Banyak pasal bertentangan, hukuman buat pengedar, definisi pengedar, siapa pengguna? Apalah direhab atau dipenjara? Dan banyak lagi, masih abu-abu dan dimanfaatkan pihak sesuai selera dan keuntunggannya. Wajar jika komedian Gogon, sang pelawak curhat di ILC soal perlakuan tak adil pada dirinya. Ada uang bermain, sogok-menyogok dan lainnya. Wajar juga kalau lapas malah jadi pabrik obat terlarang, ini skenario besar penghancuran atas sebuah peradaban. Siapa pelaku utamanya? Masih misteri!

Idealnya perumus undang-undang atas Narkoba berpikir lebih dalam. Narkoba lebih berbahaya dari terorisme. Mereka mencetak zombie-zombie tak berarti. Insan vegetatif tak punya jiwa. Narkoba juga pemutus mata rantai sebuah peradaban. Lahir insan-insan tak berguna, punya kedaulatan atas wilayah, tapi tak mampu mengelola. Dampaknya bisa ditebak, masuk kekuatan asing yang fresh, bersih dari Narkoba dan mulai mengendalikan. Di sinilah Indonesia diambil alih. Bangsa ini masuk ke alam penjajahan sejati dan sulit lagi memproklamirkan diri jadi bangsa merdeka seperti founding father mereka di waktu lalu.

Kapan ya law maker berpikir di sisi ini?

 

ISFANDIARI MAHBUB DJUNAIDI, warga NU, pegiat klub motor Outsider, penulis sosial budaya.